Prolog
__________"Jo, tolong benerin lampu dulu, dong! OB gak tau pada kemana. Ruangan gua gelap banget, nih!" seru mas-mas dari ambang pintu.
Aura wajahnya sudah semerawut dengan rambut yang sudah gak serapi pagi tadi. Musim hujan baru dimulai. Langit Jakarta belakangan seringkali meredup. Sialnya, lampu ruangan divisinya mati dan membuat ruangan jadi gelap.
Sanjo yang tadi dipanggil menghela napas lelah. Kerja di mantan ibukota seringkali mengerjakan sesuatu di luar jobdesk. Ganti lampu gini contohnya. Mentang-mentang badannya paling jangkung, gak jarang dia diminta tolong untuk membetulkan lampu, listrik, ataupun sekedar membersihkan sarang laba-laba di langit-langit ruangan. Dalihnya, sih, karena langit-langit gedungnya terlalu tinggi. Sudah naik kursi pun tinggi orang dewasa rata-rata gak sampai untuk menjangkaunya.
Begitu Sanjo keluar, Indra masih berdiri di ambang pintu. Matanya gak sengaja melirik layar desktop komputer Sanjo. Lantas badannya mendekat untuk melihat lebih jelas. "Idih, Si Bulol! Udah bertahun-tahun masih aja stalking cewek yang sama."
Sanjo berhenti di depan pintu ruang divisi Indra begitu mendengar ledekan Indra. "Keluar atau gua copotin semua lampu di ruangan lu?"
Indra langsung panik begitu Sanjo mengancam. Buru-buru dia menjauh dari komputer Sanjo. "Marah-marah mulu. Lagi mens lu?"
***
"CAPEK BANGET WFH!" teriak Sol dari dalam kamar. Jam 12 siang, belum mandi, dan rambutnya masih acak-acakan. Dia duduk di depan laptop ngerjain line art yang dari kemarin belum selesai di revisi.
"Bukannya enakan WFH, ya? Gue kalau bisa WFH, mending WFH," balas seseorang dari dalam ponsel. "Eh, by the way kantin kantor gue hari ini masak teriyaki. Enak."
Sol cemberut. Wajahnya gusar petanda iri. Dia iri dengan Hana, temannya, yang punya pekerjaan tetap di kantor gedung bertingkat di pusat kota. "Lo kalo makan jangan nyiplak!" lontar Sol. "Soalnya kalau WFH gue juga kudu ngerjain kerjaan rumah, ngurusin bokap gue, ngurusin ponakan gue. Kan, lo, tau, kakak ipar gue lagi hamil gede. Lebih capek WFH, lah!"
"Iya, sih. Sekarang aja gue yakin lo belum mandi," balas Hana mengiyakan.
Sol makin cemberut. Tangannya tetap berusaha menggambar di pen tab-nya meskipun dalam kondisi gak mood. "Capek kerja! Mau nikah aja!"
Dari seberang telepon sana, Hana terbahak-bahak. "Gaya lo mau nikah! Masak aja gak bisa! Wkwkwkwkwk!" ledek Hana.
"Topan mantan gue dulu masih mau sama gue gak, ya, kalau gue ajak balikan?"
Hana terdengar tersedak makanannya sendiri. "Ngaco lo! Lo aja udah berapa tahun gak kontakan sama dia. Lagian lo dulu dipacarin cuma jadi mainannya dia aja. Emang lo masih tertarik sama modelan bastard kaya gitu?"
"Ya, abis? Sejak wisuda gue gak punya kenalan cowok lagi. Temen kuliah dulu juga sekarang sibuk masing-masing. Sekarang WFH gini, gue cuma bergaul sama lo doang," tutur Sol.
Hana diam sejenak. "Lo masih inget cowok yang katanya naksir lo dulu gak, sih?"
"Siapa?"
"Ah, lo dari dulu cuma ngeliat Topan doang. Yang lain burem. Itu, loh, yang anak FEB. Dulu dia juga lumayan terkenal karena ikut Olimpic."
"Siapa, sih?"
"Aduh, anjir, gue lupa namanya siapa. Kaya nama Jepang gitu. Siapa, ya?" Hana terdengar antusias sembari mengingat-ingat satu nama pria yang dulu pernah naksir Sol. "Itu, loh, Sol! Hero Mobile Legend!"
Sol ikut berpikir menebak-nebak. "Hah? Mobile Legend? Siapa?" Dia ikut bingung. "Kagura? Hayabusa? Hanabi?"
"HANABI! Sanjo!" sebut Hana antusias.
Sol sedikit kaget. "Yang naksir gue cewek? Dia lesbi?"
"Bukan, anjay!" seru Hana. "Sanjo. Namanya Sanjo. Yang dulu atlet renang menang gold medal Olimpic. Masa lo gak inget sama sekali?"
"Enggak."
Dari seberang sana, helaan napas kesal Hana terdengar. Sol cuma tertawa kecil karena dia benar-benar gak ingat siapa Sanjo yang disebut Hana. Tapi kalau dikasih lihat foto orangnya, mungkin Sol ingat. Dia gak begitu ingat nama orang yang gak punya hubungan dekat dengannya. Belum sempat menyambung pembicaraan, mamanya memanggil namanya dari luar kamar.
"Udah dulu, ya. Gue dipanggil nyokap gue. Disuruh nyuapin bokap makan siang," bilang Sol pada Hana di ponselnya. "Lo makan yang banyak. Biar sehat terus, kerjanya rajin, terus ajak gue liburan ke Bajo. Hahahahaha.."
"Lo kalo perhatian sama gue selalu ada maunya. Ya udah, gue matiin, ya, teleponnya. Selamat kembali menjadi nanny. Hahahaha.."
"Jelek ledekan lo!" kata Sol sebelum sambungan telepon terputus.
Sol segera ke dapur untuk mengambil makanan untuk ayahnya makan. Sudah dua tahun ini, kondisi kesehatan ayahnya memburuk. Penyakit paru-paru menggerogoti paru-parunya. Seringkali Sol meruntuki kebiasaan merokok ayahnya dulu karena sekarang, hidup sekeluarga jadi susah. Keluarga mereka kehilangan tulang punggung keluarga. Abangnya pun cuma kerja di perusahaan barang elektronik bergaji kecil, cuma mampu menghidupi keluarganya sendiri. Sol yang menggantikan mencari rezeki untuk keluarganya. Ayahnya untuk sekedar jalan kaki atau bahkan makan sendiri pun sudah gak sanggup.
Sambil menyuapi sang ayah, Sol kepikiran satu nama yang tadi dibicarakan Hana. Sanjo. Sol gak asing dengan nama itu. Tapi berkali-kali diingat pun dia tetap gak ingat perawakan pria yang disebut-sebut pernah naksir dia jaman kuliah dulu.
"Mikirin apa?" tanya ayahnya tiba-tiba, melihat Sol sedang melamun.
Sol sedikit tersentak, lamunannya buyar. "Itu, Sanjo. Tadi habis ngobrolin temen kuliahku dulu sama Hana."
"Sanjo yang pernah anter kamu pulang dulu?"
Dahi Sol mengerut. "Loh, ayah kenal?"
"Loh, kan, temenmu dulu."
Sol nampak makin kebingungan. "Loh, iya? Kok, aku gak inget, ya?"
Ayah Sol ikut bingung melihat anaknya. Padahal yang sudah tua ayahnya, tapi kenapa Sol yang pikun duluan?
"Iya. Yang dulu dia anter kamu pulang. Padahal kamu bilang temen-temen cowok kamu gak ada yang berani anter sampe depan rumah karena takut sama ayah. Cuma dia yang berani anter sampe depan rumah. Masa gak inget?" jelas sang ayah. "Ayah inget betul waktu itu hujan. Terus ayah ledekin 'kok, ke rumah cewek gak bawa martabak?', terus dia langsung cari martabak hujan-hujanan. Lucu temenmu itu."
Sol ikut tertawa mendengar cerita ayahnya. Sejujurnya dia gak ingat yang mana Sanjo. Dulu Sol cukup pandai bergaul dan punya banyak teman. Sayangnya, karena terlalu banyak, Sol gak begitu ingat beberapa dari mereka. Termasuk cowok bernama Sanjo.
"Emang iya, ya?"
"Emang iya, emang iya. Ya, iya!"
Sol kembali menyendokkan sesuap nasi ke mulut ayahnya. "Abis ayah nyeremin. Masa liat cowok bajunya gak rapi dikit aja disangka preman. Siapa yang gak takut sama mantan tentara yang suka nodongin senapan, biarpun senapannya kosongan?"
"Ada," jawab Ayahnya setelah menelan makanannya. "Sanjo."
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Opera van Jakarta
Fanfictiona Lovely Runner Alternate Universe Hidup di Jakarta, ya.. gitu-gitu aja. Kerja 9 to 5, gaji UMR, habis bulan bayar cicilan, deh. Biarpun WFH dan gak perlu melawan kemacetan Jakarta, Sol capek kerja. Tiap hari dia nyeletuk pingin nikah aja, biar ada...