Bersama Untuk Kesepian

6 3 0
                                    

Siapa yang menyangka bahwa kita akan terus bersama hingga detik ini. Kau yang tak lain adalah musuh bebuyutanku tatkala SMA, justru menjadi orang yang selalu ada dalam setiap langkah. Yah kau, itulah dirimu, Kay!

Pigura di dinding kamar ini mengingatkanku padamu. Lebih tepatnya tatkala kita pertama kali berbincang. Itu terjadi pada tahun kedua kita di masa putih abu-abu. Semua warga jelas mengenalmu. Kau yang berpoles cantik dan gila akan prestasi. Kau juga terkenal akan keberanianmu dalam memberikan suara pada media sekolah dan berbagai acara. Kau laksana seorang bintang, sedang aku hanyalah butiran debu. 

Kita sedari awal adalah teman sekelas, akan tetapi baru hari itulah kita berbincang. 

"Woi orang gila! Tempat lo tuh seharusnya bukan di sini, tapi di sana!" ujarku sambil menunjuk ke arah Barat. Beberapa kilo dari sekolah, ada sebuah rumah sakit jiwa, dan jari telunjuk kiriku tepat mengarah ke sana.

Jika dipikir, aksiku hari itu cukup berani. Gara-gara tantangan si Arab yang menjanjikan akan membelikan makan siang gratis jika berani mengejekmu. Namun, saat itu aku tak berpikir panjang. Dan sebagaimana yang kau tahu, selepas kejadian tersebut aku malah terkucilkan. Tatapan orang-orang seakan mengisyaratkan bahwa "Kau telah menghina kesayangan kami!"

Cukup lucu yah pertemuan kita. Setidaknya masih bisa menghibur kedua putramu serta anak-anak mereka. Apakah kau memerhatikan wajah sumringah mereka pada makan malam tadi? Sungguh menggemaskan bukan?

Ah iya, aku teringat pertanyaan Riko tadi. Cucu termuda kita itu sudah memasuki remaja sekarang. "Mengapa bisa Oma Kay dan Opa bisa berkencan? Bukankah kalian saling bermusuhan?"

Pertanyaan tersebut mendapat tatapan tajam dari Aan, ayahnya. Aku hanya tersenyum. Memberi isyarat agar ia tak marah. "Biarkan aku menjawabnya!"

Meski kami kerap dicap sebagai musuh di sekolah, sebenarnya kami adalah tetangga. Rumahku terletak tepat di hadapan rumah Kay. Orang tua kami saja yang biasa berjumpa, sedangkan kami sibuk dengan urusan masing-masing. Hingga suatu hari, aku yang memiliki otak pas-pasan ini disuruh Mama untuk belajar bersamanya sepulang sekolah.

Apakah segalanya serta merta berjalan damai? Tentunya tidak! Hari pertama bahkan kami enggan untuk saling pandang. Ibu Kay duduk tepat di sofa, sedang kami berdua bersimpuh di atas karpet bulu. Ruang tamu menjadi saksi kami.

"Bagaimana hari kalian, nak?" tanya Ibu Kay setiap hari sambil menyambut perpulangan kami. Kay yang lebih sering menjawab, itu pun dengan jawaban seadanya. "Apakah kalian di sekolah saling menyayangi layaknya sepasang teman?" Kompak, aku dan Kay saling tatap. Lantas mengangguk. "Orang-orang rumah tak perlu tahu apa yang terjadi di sekolah," cetuk Kay setelah Ibunya beralih ke dapur.

Siapa yang sangka, semenjak rutinitas belajar bersama sepulang sekolah itu, kami kian akrab. Hingga pada malam kelulusan, sebagaimana laki-laki sejati, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan rasa terlebih dahulu. Lantas dijawab pada pekan berikutnya. Tepat hari itulah kami resmi bersama.

Malam ini, perayaan hari pernikahan kita yang ke-40 tahun. Di hadapanmu, kami bersepuluh bersantap bersama. Meski pada perayaan ini kau tiada, akan tetapi kehadiranmu tetap terasa. Pada masa sepi ini aku akhirnya sadar bahwa inilah definisi bersama. Rasa yang tetap hidup meski kau telah tiada.

-Selesai-

Bersama Untuk KesepianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang