Williem Alaska Kasandra , Anak seni yang berpindah dari ributnya ibu kota ke pendesaan yang penuh dengan namanya kedamaian. Awalnya dia mengira bakal biasa saja dan siapa sangka perpindahan tanpa kerelaannya ini ternyata menjadi memori istimewa dala...
Malam ini malam yang tidak akan aku lupakan, aku seperti menemu tamatnya, akhir dari semua yang kupertanyakan itu disini.
Tetesan hujan terus turun membasahi diri yang sudah kaku terbaring digenangan air tanah, langit seakan ikut menangisi diri yang lemah ini, yang bodoh, yang malang.
Bayangan wajahnya muncul dalam derasnya hujan malam itu, samar-samar ku lihat didalam kaburnya hujan yang terus turun tanpa ada tanda mahu berhenti, dia tersenyum manis seperti biasanya, anehnya dia tersenyum melihat aku yang tidak berdaya. Sudah lama aku tidak melihat senyuman itu, aku sedikit gembira.
" Reon... "
Nafas sudah sulit untuk diajak kerjasama, aku tidak dapat menemu titik tenangnya, mungkin kali ini aku disuruh menyerah, tidak selamanya aku mempunyai hak untuk bertahan pada sesuatu yang kosong, sesuatu yang tiada maknanya.
Tangisan Alice kembali terdengar berbaur dengan bunyi hujan pada malam itu, suaranya menjerit memanggil namaku sambil menangis sejadi-jadinya, terasa tubuhku di goncang kuat olehnya.
" Maafkan aku Alice " batinku. Untuk menuturkannya saja aku sudah tidak mampu yang ku mampu hanya membiarkan air mata ini terus turun bersama hujan malam itu, berlindung dibalik kacaunya langit.
Alice terus berusaha memohon reaksi dariku yang hanya bisa diam, mahuku memeluknya, menenangkannya, memberitahunya bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan aku tidak mahu dia terlihat ketakutan seperti ini.
Raungan Alice bersaing dengan bunyi hujan, diselangi dengan suara seseorang memanggil-manggil namaku tapi aku tahu itu bukan Alice, terasa tubuhku yang tadinya terbaring dibumi berada dalam dakapan seseorang sebelum akhirnya pandanganku menjadi gelap , aku hilang kesadaran.
-
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku mengedipkan mata, mengatur kembali nafas yang setengah tercungap, agak sedikit kaget entah kenapa mungkin karena hal semalam. Ponsel aku matikan, belum waktunya harus merespon pesannya.
Aku bangun dari sofa diruang tengah, langkah ku bawa kelantai 2, ke kamar ibu. Pintu perlahan terbuka, takut membangunkan mereka yang keliatan masih tertidur nyenyak, aku melihat kearah jendela. Syukurlah keadaan diluar sudah semakin mereda, hujan yang tadinya bagai mengamuk kini sudah semakin tenang.
Aku mendapatkan dia disamping kiri kasur, manakala sebelah kanan Alice tertidur sambil membungkus diri dengan selimut, sepertinya dia begitu kedinginan.
Perlahan aku duduk dijubir kasur, saja mahu melihat kondisinya, selepas apa yang terjadi semalam aku pasti dia masih butuh pantauan. Selimut yang sudah turun setengah ku tarik naik keatas hingga paras bahu. Entah jahil apa tangan ini seakan penasaran, perlahan aku menyelak rambut yang menutupi wajah itu, wajah gadis yang baru ku selamatkan beberapa jam yang lalu.
Kali ini aku dapat melihat wajahnya dengan jelas dia mirip dengan Alice, mereka saudara jadi wajar saja.
Aku sedikit merasa bersalah, setelah ku ingat-ingat mungkin Fyeen memakan coklat yang ku berikan kepada Alice beberapa hari yang lalu, coklat berbentuk segi tiga yang kalau dilihat tidak menunjukkan itu adalah sejenis coklat, aku membawanya dari kota ku berikan kepada Alice sebagai ole-ole untuknya. Ah, apakah semua yang terjadi semalam berpunca dari aku?
Dari cerita Alice, Fyeen kakaknya alergi dengan coklat dan punya riwayat asthenia yang lumayan serius. Entah bagaimana malam semalam semua itu menyerang dalam masa yang sama ketika Fyeen dalam perjalanan pulang dari toko buku. Ya, Alice baru menceritakan semalam mereka mempunyai toko buku warisan dari keluarganya dan disanalah Fyeen lebih banyak menghabiskan waktu.
" Reon.. "
Tenungan ku terhenti, Fyeen mengingau dalam tidurnya. Aku kurang mendengar jelas apa yang dikatakannya yang ku tahu aku harus buru-buru pergi sebelum Fyeen menyedari kehadiranku yang sejak tadi menatapnya.
Entah kenapa, aku nyaman melakukan itu.
_
" Bagaimana keadaan kakak kamu Alice? " tanyaku sambil menyuap roti yang sudah selesai ku bakar.
" Sudah mendingan, dan sekarang dia mau pulang " Alice mengambil duduk didepanku. Kopi yang sudah tersedia didalam teko di tuang ke gelas.
" Terima kasih banyak " Ucap Alice sambil menghirup kopi yang baru dituangnya.
" No need to worry "
" Aku benar-benar hilang arah semalam, aku tidak tau harus minta tolong kesiapa waktu itu. kebetulan rumah kamu paling dekat "
Benar, kejadian semalam masih terjadi didalam area lahannya rumah ibu. Syukur saja Alice cepat bertindak kata perawat yang semalam dipanggil kerumah jika terlambat Fyeen bisa saja kehilangan nyawanya, hal itu yang membuat aku merasa semakin bersalah.
" Alice, pulang "
Perbualan aku dan Alice terhenti, Fyeen berdiri dianak tangga. Raut wajahnya datar. Terlihat jelas bibirnya yang masih pucat.
" Fyeen, kau masih lemah jangan khawatir sebentar lagi kita pulang lagian diluar masih dingin " Ujar Alice yang sama sekali tidak diendahkan Fyeen sepertinya gadis yang lumayan keras kepala.
Dengan keadaan diri yang masih lemah dia berjalan layu kearah pintu depan lalu berhenti dan menoleh menatap Alice datar dan tajam, Alice sudah menayang muka jengkelnya mahu tidak mahu dia harus menuruti kehendak Fyeen walaupun kondisinya seperti itu.
" akan aku ambil pakaianmu diatas, tunggu sebentar " jelas Alice menghentikan sarapan kopinya dan kembali naik ke lantai 2
dan
tinggalah kami berdua diruangan itu.
" hey, bagaimana keadaanmu? "
Aku cuba membuka perbicaraan, ya ini pertama kalinya aku berbicara dengan Fyeen.
dan pertama kali juga aku bersua muka dengannya dalam keadaan sepenuhnya sadar.
Tapi sepertinya perbualan pertama kami kurang baik, aku sama sekali tidak direspon olehnya. Dia hanya berdiri membelakangiku. Diam.
Kopi panas tadi kembali ku hirup guna menyingkirkan rasa canggung ini.
" Terima kasih "
Perlahan tapi bisa ku dengar.
" Sama-sama " balasku tersenyum. Juga perlahan, entah dia mendengarkan itu atau tidak.
" By the way terima kasih ya untuk makanannya selama ini, enak. Aku suka " aku coba memulai sekali lagi perbualan yang penuh kecangguan ini.
Sebetulnya ini cuma rasa penasaranku terhadap sikap dinginnya.
Sepertinya direspon dengan baik, dia menoleh memandang kearahku.
" masakan?? " soalnya dengan kerutan didahi.
" yup, masakan yang selalu kamu bikin buat aku "
Wajahnya semakin kebingungan, seakan dia tidak tahu menahu tentang masakanya yang selama ini menjadi bahagian yang paling aku nantikan setiap hari, sepertinya ada yang tidak beres disini.
" Alice sering -- "
" hahaha apa-apaan ini bawa-bawa nama saya, kamu kalau mau gombalin kakak saya jangan begitu dong.. " Bahuku ditepuk kasar oleh Alice yang muncul secara tiba-tiba.
Dia menatap aku sambil tertawa atau lebih tepatnya berpura-pura tertawa, matanya memberi isyarat untuk aku tetap diam dan diam.
'Diam, atau kita berdua kelar'
Aku turut kebingungan, sama Fyeen juga dia lebih terlihat bingung, bingung dan marah sebetulnya.