Titik Terendah

0 0 0
                                    

Part 4: Titik Terendah

Judul: Titik Terendah

---

Malam itu, hujan turun deras, mengiringi suasana hati Alex yang semakin kelam. Ia duduk di ruang tamunya yang sepi, mendengarkan suara hujan yang jatuh di atap apartemennya. Rasa putus asa dan kesepian semakin menghimpit. Pikirannya terus berpacu, memikirkan bagaimana hidupnya berubah begitu drastis.

Ponselnya bergetar, sebuah pesan masuk. Alex melirik layar dan melihat nama sahabatnya, Ryan, muncul di layar. Ryan adalah salah satu dari sedikit teman yang masih berusaha menjaga hubungan dengannya.

"Bro, lama tidak bertemu. Bagaimana kalau kita ketemuan akhir pekan ini? Minum kopi dan ngobrol?" tulis Ryan.

Alex menatap pesan itu lama, merasa ragu. Ia tahu bahwa bertemu Ryan mungkin akan membuatnya merasa lebih baik, tetapi ada perasaan malu dan takut yang membuatnya ragu untuk keluar dari isolasinya. Ia akhirnya memutuskan untuk tidak menjawab pesan itu, menenggelamkan dirinya dalam dunia maya yang semakin membuatnya terasing.

Keesokan harinya, Alex terbangun dengan kepala berat dan tubuh lelah. Semalaman ia tidak bisa tidur, pikirannya dipenuhi oleh kecemasan dan rasa bersalah. Di kantor, kondisinya semakin memburuk. Tugas-tugas menumpuk, dan ia merasa tidak mampu mengatasinya. Mr. Johnson, yang biasanya sabar, mulai menunjukkan tanda-tanda frustrasi.

"Alex, saya butuh hasil dari proyek ini hari ini. Klien sudah menunggu," kata Mr. Johnson dengan nada tegas.

Alex hanya bisa mengangguk lemah, berusaha menyelesaikan tugasnya meskipun pikirannya tidak bisa fokus. Setiap kali ia mencoba bekerja, pikirannya kembali melayang ke dunia maya yang seolah-olah memberinya pelarian sementara dari kenyataan.

Sore harinya, setelah berjuang sepanjang hari, Alex pulang ke rumah dengan perasaan yang semakin hancur. Di apartemennya yang sepi, ia duduk di sofa, merasakan kehampaan yang semakin dalam. Suara-suara dari luar apartemen terdengar samar, tetapi Alex merasa terputus dari semua itu. Ia merasa seperti hidup dalam gelembung yang tak bisa ia tembus.

Tengah malam, Alex menerima panggilan dari ibunya. Ia merasa ragu untuk menjawab, tetapi akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu.

"Alex, ada apa denganmu? Ibu sangat khawatir," suara ibunya terdengar penuh kekhawatiran.

Alex terdiam sejenak, merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. "Ibu, aku... aku tidak tahu harus bagaimana," katanya dengan suara gemetar.

"Sayang, kamu bisa cerita ke ibu. Apa yang membuatmu seperti ini?" tanya ibunya dengan lembut.

Dengan suara terputus-putus, Alex mulai menceritakan semuanya. Tentang kecanduannya, tentang bagaimana itu mempengaruhi hidupnya, pekerjaannya, dan hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya. Ibunya mendengarkan dengan sabar, memberikan kata-kata penghiburan dan dorongan.

"Kamu harus mencari bantuan, Alex. Ibu akan selalu ada untukmu, tetapi kamu harus mengambil langkah pertama," kata ibunya dengan tegas namun penuh kasih.

Setelah percakapan itu, Alex merasa sedikit lega, meskipun masalahnya masih ada. Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu. Keesokan harinya, dengan tekad yang masih rapuh, ia mencari informasi tentang terapi dan dukungan untuk kecanduan. Ia menemukan sebuah kelompok dukungan di kotanya dan memutuskan untuk mencoba menghadiri pertemuan mereka.

Hari pertama di kelompok dukungan adalah pengalaman yang mengubah hidup. Alex mendengar cerita-cerita dari orang-orang yang mengalami hal serupa, merasakan dukungan dan empati yang tulus. Ia menyadari bahwa ia tidak sendirian, bahwa ada harapan untuk pemulihan.

Malam itu, ketika ia pulang dari pertemuan, Alex merasa sedikit lebih ringan. Ia tahu bahwa jalan menuju pemulihan akan panjang dan sulit, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada secercah harapan.

---

Akan Bersambung di Part 5: Mencari Bantuan

MENUJU JALAN YANG LEBIH BAIK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang