Chapter 1

75 1 0
                                    

Ruangan beraroma obat-obatan itu dipenuhi dengan aroma wangi bunga melati. Di atas ranjang, Ayah Amar terbaring lemah, wajahnya pucat pasi. Keringat dingin membasahi keningnya. Di sampingnya, Ibu Ayu setia mengusap keringat sang suami dengan lembut.

Di sekeliling ranjang, keluarga Ustadz Abdullah berkumpul. Ustadz Azmi, adik Rayyan, duduk termenung, raut wajahnya tampak muram. Aisyah, kakaknya Nazira, mengusap air mata yang menetes pelan dari sudut matanya.

Nazira, dengan wajah polosnya, sibuk menggoda sang kakak.

“Ciye, yang mau nikah,” canda Nazira, suaranya berbisik namun ceria.

“Apa sih, Dek!” jawab Aisyah sambil mencubit pelan hidung Nazira di balik cadar.

“Hehe, Nazira di tinggal sendirian dong kalau Kakak Ais menikah,” ucap Nazira dengan nada polos.

Aisyah hanya menggeleng. “Iya, Kakak akan meninggalkan gadis nakal kaya kamu.”

Tatapan Nazira beradu dengan tatapan Ustadz Rayyan.  Jantungnya berdebar kencang.  Pandangan Rayyan tajam, penuh wibawa,  dan...entah mengapa  Nazira  merasa  ada  sesuatu  yang  menarik  di  balik  tatapan  itu.

“Dih, tumben diem itu anak ya bu,” seru Aisyah.

“Iya sayang, dia paling heboh,” jawab Ibu Ayu.

Nazira menundukkan kepalanya, tak berani menatap  Rayyan  lagi.  Ia  merasa  malu  dan  canggung.

Suasana hening sesaat,  lalu dipecahkan oleh  suara Ustadz Azmi yang  mendadak  menggelegar  di  ruangan.

“Maaf, Abi. Azmi tidak bisa menikahi Aisyah sekarang.”

Semua orang terkejut. Ibu Ayu langsung  mengenggam  tangan  Aisyah,  sedangkan  Aisyah  menunduk  menahan  tangis.

“Kenapa? Apa ada masalah yang Abi tidak ketahui?” tanya Abi Abdullah, ayah Azmi,  dengan  nada  cemas.

Rayyan menggeleng. “Tidak, Abi. Azmi  tak  enak  hati  karena  harus  mendahului  Abang  Rayyan  menikah.”

“Aku  tidak  apa-apa,  Azmi,”  jawab  Rayyan,  suaranya  tenang  namun  tegas.

“Tapi  aku  sudah  memutuskan  hal  ini.  Aku  menghormati  Abang,” ucap Azmi.

“Baiklah, kalau begitu saya juga akan menikah,” ujar Rayyan tiba-tiba. Semua orang semakin terkejut.

“Apa  kamu  sudah  punya  calon, Rayyan?” tanya Abi Abdullah.

Rayyan  menggeleng. “Rayyan  akan  menikah  adiknya  Ustadzah  Aisyah  kalau  di  izinkan, Abi.”

Hening seketika.  Nazira, gadis  berusia  tujuh  belas  tahun,  yang  ingin  menyaksikan  akad  sang  kakak,  terkejut.

“Kenapa  harus  sama  Zira, Ustadz?” tanya Nazira polos,  menundukkan  kepalanya.

“Jika  kamu  mengizinkan,  saya  akan  menikahi  kamu  bersamaan  sama  mereka  hari  ini  juga,” ucap Rayyan,  tatapannya  menatap  Nazira  dengan  tegas.

“Ya Allah, Zira  gak  mau  menikah  sama  Ustadz  Rayyan  yang  menakutkan  itu,” gumam Nazira pelan.

“Bagaimana  sayang!!  Apa  kamu  mau  menikah  dengan  Ustadz  Rayyan?” tanya Ayah Amar,  ayahnya  Nazira,  dengan  nada  cemas.

Nazira  menatap  kedua  orang  tuanya.  Lalu  beralih  menatap  Aisyah,  kakaknya,  yang  sudah  terisak  pilu.

"Ayah, Zira masih sekolah. Terus, Ustadz Rayyan guru Zira di pasantren ayah," jawab Nazira, suaranya bergetar menahan tangis. "Zira  gak  mau  menikah  sekarang."

"Zira mau menerima pernikahan putra pertama ummi," ucap Ummi Maryam, ibunya ustadz Rayyan dan ustadz Azmi, dengan tegas.

Nazira menatap kedua orang tuanya,  rasa  kecewa  dan  ketakutan  bercampur  jadi  satu.  Ia  merasa  terjebak  dalam  situasi  yang  tidak  dia  inginkan.

"Nak, bagaimana?  Ini permintaan ayah sayang, ayah gak minta kamu nak yang lain, hanya saja kamu mau kan menerima Ustadz Rayyan sebagai suami kamu. Apa ayah harus meninggal dulu baru kamu mau," ucap Ayah Amar,  suaranya  bergetar  karena  sakit.

"Ayah, jangan berkata seperti itu. Zira akan menerima pernikahan ini demi kalian, agar Kakak bisa menikah dengan Ustadz Azmi," jawab Nazira,  menundukkan  kepalanya.

"Alhamdulillah," ucap semua orang serempak.

Suasana  rumah  sakit  itu  berubah  mendadak.  Dari  suasana  sedih,  beralih  menjadi  suasana  sibuk  menyiapkan  pernikahan  mendadak.  Semua  berlangsung  cepat  dan  sederhana,  sesuai  permintaan  Nazira.

Acara ijab qobul berlangsung bergantian, pertama Ustadz Rayyan,  lalu  disusul  Ustadz Azmi.  Semua  pasangan  pengantin  diboyong  ke  rumah  Ustadz Abdullah.

Di tengah hiruk pikuk  persiapan  resepsi,  Nazira  menarik  napas  dalam-dalam.  Ia  berusaha  menenangkan  diri,  mencoba  menerima  takdir  yang  tiba-tiba  menimpanya.

Di  suasana  resepsi  yang  meriah,  Nazira  berusaha  menikmati  setiap  detik  yang  berlalu.  Namun,  ia  tak  bisa  menghilangkan  rasa  cemas  dan  sedih  yang  menyergap  hatinya.  Ia  masih  tak  percaya  bahwa  ia  sudah  menjadi  istri  dari  guru  yang  selalu  ia  hormati  di  pasantren.

"Zira, kamu kenapa?" tanya Ustadz Rayyan.

Nazira  menunduk,  tak  berani  menatap  suaminya.  "Tidak  apa-apa, Ustadz," jawabnya  dengan  suara  gemetar.

"Jawab  jangan  bohong,"  ucap  Rayyan,  suaranya  tegas.

Nazira  menelan  ludah.  Ia  tak  berani  berbohong  pada  suaminya.  "Zira  merasa  sedih,  Ustadz,"  jawabnya  jujur.

Rayyan  menatap  istrinya  dengan  perhatian.  Ia  tahu  bahwa  Nazira  belum  siap  menjadi  istrinya.  Namun,  ia  bertekad  untuk  membahagiakan  Nazira  dan  menunjukkan  bahwa  pernikahan  ini  bukan  kesalahan.

"Zira,  jangan  sedih.  Ini  takdir  kita.  Kita  harus  menerimanya  dengan  ikhlas," ucap Rayyan,  suaranya  lembut  menenangkan.

Nazira  menatap  Rayyan  dengan  mata  berbinar.  Ia  merasa  terharu  dengan  kata-kata  suaminya.  Ia  tahu  bahwa  Rayyan  akan  selalu  ada  untuknya.

"Ustadz,"  panggil  Nazira,  suaranya  gemetar.  "Kenapa  Zira  harus  menikah  dengan  Ustadz?"

Rayyan  menatap  istrinya  dengan  serius.  "Zira,  ini  bukan  soal  mau  atau  tidak.  Ini  soal  kewajiban  dan  kepatuhan  pada  orang  tua.  Dan  selain  itu,  aku  ingin  melindungi  kamu,  Zira.  Aku  ingin  kamu  bahagia  bersamaku."

Nazira  menatap  Rayyan  dalam-dalam.  Ia  merasa  terharu  dengan  kata-kata  suaminya.  Meskipun  pernikahan  ini  terjadi  secara  mendadak  dan  tidak  sesuai  dengan  keinginannya,  ia  merasa  ada  sesuatu  yang  menarik  dari  Rayyan.

"Zira  percaya  pada  Ustadz,"  ucap  Nazira  dengan  suara  yang  sangat  lembut.  "Zira  akan  berusaha  menjalani  kehidupan  baru  ini  dengan  ikhlas."

Rayyan  tersenyum  hangat  menatap  istrinya.  "Aku  senang  mendengarnya,  Zira.  Aku  akan  selalu  ada  untukmu."

**Di  sisi  lain,  Amelia  berdiri  sendiri  di  sudut  ruangan.  Tatapannya  menatap  Rayyan  dan  Nazira  yang  sedang  berbincang  mesra.  Rasa  sakit  menyerang  hatinya.  Ia  masih  mencintai  Rayyan,  meskipun  hubungan  mereka  sudah  berakhir.

"Kenapa  harus  dia?"  gumam  Amelia  dengan  suara  gemetar.  "Kenapa  harus  dia  yang  mendapatkan  Rayyan?"

Amelia  menunduk,  menahan  air  mata  yang  menetes  pelan.  Ia  merasa  terluka  dan  kecewa.  Namun,  ia  tahu  bahwa  ia  harus  menerima  kenyataan  ini.  Rayyan  sudah  menjadi  milik  Nazira.

"Aku  harus  kuat,  Amelia,"  gumamnya  menenangkan  diri.  "Aku  harus  melupakan  Rayyan  dan  mencari  kebahagiaan  ku  sendiri."

Amelia  menghapus  air  matanya  dengan  lembut.  Ia  bertekad  untuk  tetap  kuat  dan  menjalani  hidupnya  tanpa  Rayyan.

**Di  sisi  lain,  Aisyah  menatap  adiknya  dengan  cem cemas.  Ia  merasa  takut  jika  Nazira  akan  terluka  dalam  pernikahan  ini.  Rayyan  adalah  seorang  ustadz  yang  berwibawa  dan  memiliki  banyak  penggemar.  Aisyah  takut  jika  Nazira  akan  menjadi  korban  dari  perasaan  Rayyan  yang  mungkin  tak  terungkap.

"Dek,"  panggil  Aisyah,  suaranya  gemetar.

"Iya,  Kakak,"  jawab  Nazira.  "Ada  apa?"

"Kamu  yakin  dengan  keputusanmu  ini,  Dek?"  tanya  Aisyah,  suaranya  penuh  kekhawatiran.

Nazira  tersenyum  sedikit.  "Insya  Allah,  Kak.  Zira  akan  berusaha  bahagia  dengan  Ustadz  Rayyan."

Aisyah  menatap  adiknya  dengan  mata  memperhatikan.  Ia  takut  jika  adiknya  akan  terluka  dalam  pernikahan  ini.  Namun,  ia  tak  berani  menentang  keputusan  orang  tuanya.

"Dek,"  ucap  Aisyah  lagi.  "Kakak  cuma  ingin  mengatakan  bahwa  Kakak  selalu  ada  untukmu.  Jika  kamu  terluka,  kamu  bisa  bercerita  pada  Kakak."

Nazira  menatap  kakaknya  dengan  mata  berbinar.  "Terima  kasih,  Kakak.  Zira  tahu  bahwa  Kakak  selalu  menyayangi  Zira."

Di  sisi  lain,  Azmi  berbisik  pada  Rayyan.  "Abang,  aku  tahu  bahwa  Abang  masih  mencintai  Amelia.  Kenapa  Abang  harus  menikahi  Zira?"

Rayyan menatap adiknya dengan tatapan yang dalam. "Azmi, ini bukan tentang cinta. Ini tentang tanggung jawab dan kehormatan keluarga.  Aku tidak bisa membiarkan  Abi  menanggung  rasa  salah  karena  pernikahan  ini  gagal.  Dan  aku  juga  tidak  ingin  menyakiti  hati  Nazira."

"Tapi,  Abang,"  ucap  Azmi,  suaranya  penuh  kecemasan.  "Apakah  Abang  yakin  bisa  membahagiakan  Nazira?  Abang  masih  mencintai  Amelia."

Rayyan  menarik  napas  dalam-dalam.  "Aku  tidak  tahu  apa  yang  akan  terjadi  di  masa  depan.  Tapi  aku  akan  berusaha  untuk  mencintai  Nazira  sepenuh  hati.  Aku  akan  memberikan  semua  yang  terbaik  untuknya."

"Abang,"  ucap  Azmi  lagi.  "Aku  takut  jika  Abang  akan  menyakiti  hati  Nazira.  Dia  masih  muda  dan  polos.  Ia  tidak  layak  menanggung  beban  ini."

Rayyan  menatap  adiknya  dengan  mata  yang  lembut.  "Aku  mengerti  kekhawatiranmu,  Azmi.  Tapi  aku  berjanji  akan  melindungi  Nazira.  Aku  akan  menjaganya  sepanjang  hidupku."

"Semoga  Allah  SWT  memberikan  kebahagiaan  untukmu,  Abang,"  ucap  Azmi,  suaranya  penuh  keharuan.

"Amin,"  jawab  Rayyan,  suaranya  gemetar.

Suasana  di  rumah  Ustadz Abdullah  semakin  meriah.  Namun,  di  balik  keramaian  itu,  tersimpan  sejuta  rasa  yang  bercampur  baur  dalam  hati  setiap  orang.  Ada  kebahagiaan,  sedih,  cemas,  dan  juga  ketakutan.  Semua  terkait  dengan  pernikahan  mendadak  ini,  pernikahan  yang  ditakdirkan  oleh  Allah SWT.

ISTRI DADAKAN USTADZWhere stories live. Discover now