16 || Misteri yang Hilang.

112 91 4
                                    

Happy Reading.

***

"APA MAKSUD BAPAK?!"

Suara Aleza meledak, memenuhi ruangan yang sunyi. Nada suaranya tajam, memantul di dinding, menggema seperti dentuman palu yang menghantam baja. Tangannya mengepal, tubuhnya menegang, dan matanya menyala penuh kemarahan.

Pria di hadapannya terkejut sejenak. Jemarinya yang memegang sebungkus makanan mendadak melemah, dan tanpa sadar, ia menjatuhkannya ke lantai. Kantong plastik itu robek, isinya berhamburan, menimbulkan suara kecil yang terdengar nyaring di tengah ketegangan.

"JANGAN TINGGIKAN NADA SUARAMU DI HADAPAN SAYA, ALEZA!"

Pria itu membentak lebih keras, suaranya bergetar karena amarah. Napasnya memburu, dadanya naik turun. Urat-urat di lehernya menegang, nyaris keluar dari kulit.

Tapi Aleza tak bergeming.

Ia tak peduli dengan sorot mata tajam yang mengarah kepadanya, tak peduli dengan ancaman yang jelas terasa di udara. Ia hanya ingin satu jawaban.

"Saya hanya ingin tahu apa maksud Bapak. Itu saja!"

Suasana semakin menegang. Ruangan kecil itu terasa semakin menyempit, seolah-olah dindingnya bergerak mendekat, menciptakan tekanan yang mencekik.

Pria itu menyipitkan matanya. Wajahnya dingin, seperti patung batu yang tak memiliki emosi. Ia menarik napas dalam, sebelum mengeluarkan kata-kata yang menusuk langsung ke hati Aleza.

"Dia tidak pantas di sini. Korbannya masih banyak. Kamu terlalu bodoh untuk menyadarinya."

Seketika, dunia Aleza seolah runtuh.

Matanya membelalak, bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada kata yang keluar.

Darahnya berdesir, seakan beku dalam sekejap.

Lalu—

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipinya. Keras. Menggelegar.

Tubuhnya terdorong ke belakang, hampir terjatuh. Pipinya panas, nyeri membakar. Rasa logam memenuhi mulutnya, dan saat ia mengangkat tangan untuk menyentuh sudut bibirnya, warna merah pekat menyambutnya. Darah.

Aleza menunduk. Tangannya bergetar.

Ia menghela napas, mencoba menahan amarah yang semakin membara dalam dadanya. Kemudian, ia mendongak. Matanya tajam, penuh kemarahan, sekaligus kepedihan.

"Bapak keterlaluan… Kaila itu sahabat saya, Pak!" suaranya bergetar, tapi tegas.

Pria itu tidak tergerak.

Sebaliknya, ekspresinya semakin dingin. Sorot matanya penuh penghinaan, seolah menertawakan kepolosan Aleza.

"SAYA BILANG, JANGAN MEMBENTAK SAYA, ALEZA MARONIANA!"

Ia menggerakkan tangannya. Gerakan yang cepat, tegas, dan penuh kuasa.

Lalu, terdengar suara klik—

Mystro {On Going-Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang