9

588 129 3
                                        

Menyenangkan. Aku suka menghabiskan waktu bersama Danu, meskipun ada beberapa hal baru mengenai cara menikmati potongan rambut keren. Makanan belum pernah terasa nikmat di lidahku selama aku hidup. Mungkin karena kali ini diriku menikmati makanan gratis dari orang yang tepat. Bukan seseorang yang akan menuntut sesuatu dariku atau mengungkit-ungkit kebaikan yang ia perbuat terhadapku. Aku yakin Danu jauh dari hal semacam itu.

“Jadi manusia nggak terlalu buruk, ‘kan?”

Aku mengangguk, sedikit mengiakan opini Danu.

“Ayo pilih baju,” Danu menyarankan, sembari membimbingku masuk ke salah satu distro pakaian.

“Bukannya sudah ada hmmm ini,” tunjukku kepada diriku sendiri.

Danu menyunggingkan senyum khas orangtua yang membuatku merasa dia bertambah tua lima puluh tahun. “Beda dong. Kali ini kamu harus berusaha menyenangkan diri sendiri. Kapan terakhir kali, sewaktu masih hidup, kamu pernah belanja pakaian kesukaanmu?”

Coba kuingat. “Nggak pernah. Orang miskin kalau bajunya robek, seperti pakaianku, ya akan kujahit sendiri. Beli baju baru itu mahal.”

“Nah berhubung aku punya banyak uang,” dia menyombongkan diri sendiri. “Kamu bebas beli baju sesuai kebutuhan. Ingat, ya? Beli yang kamu butuhkan.”

“O ... oke.”

Danu langsung menarikku ikut masuk ke distro. Dia bilang aku boleh memilih sendiri pakaian yang kuinginkan. Namun, saat dihadapkan dengan berbagai pilihan bagus ... hmm mendadak aku kehilangan semangat. Rasanya cukup memandangi saja tanpa beli. Hatiku sudah puas. Damai sekali jiwa ini.

Pada akhirnya Danu meminta bantuan pramuniaga agar memilihkan beberapa potong pakaian yang sesuai denganku. Tidak tanggung-tanggung, belanjaan kami (tepatnya barang yang dibeli Danu untukku) totalnya sekitar-oke, aku tidak akan sebut nominal. Terlalu sakit hati diriku menyaksikan betapa mudah bagi orang lain belanja tanpa menangis di belakang. Iya, karena dia masih memiliki tabungan gendut.

“Gimana, sih? Kamu nggak milih satu baju pun.”

Aku mengedikkan bahu. “Nggak bisa. Terlalu banyak pilihan, jadinya bingung.”

Sedari dulu minatku sebatas memandangi baju dan ketika tahu harganya, mundur teratur. Balik kanan, bubar jalan!

“Ya, udah. Kita jemput Tasya, ya?”

Hohoho akhirnya bisa ketemu si bocah. Pasti dia sibuk menikmati asyiknya belajar bersama teman-teman....

“Siapa ini? Pacar, ya?”

“...” Heh? Siapa ibu-ibu berbedak tebal dan bergincu merah darah ini? Beraninya dia mempertanyakan status Danu?

Oke, akan kujelaskan. Begitu kami sampai di sekolah, turun dari mobil, dan hendak menengok Tasya. Iya, mendadak ibu-ibu aneh menghampiri Danu. Dia tersenyum manis, semanis glukosa, dan melirikku penuh arti. Jenis tatapan menilai yang barangkali tengah mempertimbangkan diriku sebagai saingan atau bukan.

“Mas Danu sekalinya muncul bawa pasangan,” kata si ibu sembari centil. Apa dia tidak sadar sedari tadi anaknya atau cucunya menarik-narik roknya? Semoga saja tidak melorot. Bahaya.

Tasya yang berada dalam gendongan Danu pun hanya mengerutkan kening. Kebiasaan yang ternyata dimiliki bukan hanya oleh Danu, melainkan keponakan.

“Padahal Tante pengin ngenalin kamu ke anak Tante. Dia masih kuliah. Jurusan pendidikan. Apa nggak sayang, nih, diabaikan begitu saja?”

Hoooooo pantas! Aku dianggap batu kerikil. Saingan.

“Namanya Indah,” si ibu tidak mau menyerah. “Kalian pasti cocok. Sangat serasi sampai membuat siapa pun cemburu.”

Danu dan Tasya saling lirik. Mungkin sedang bertukar sandi morse. Tiiiiiit tiriiiiit tiiiiiit. Tit.

“Begini, Tante,” kata Danu dengan segenap kesopanan yang ia miliki, “perkenalkan pacar saya. Namanya Kunti.” Kependekan dari kuntilanak hihihi.

Si ibu mencebik, memberiku tatapan sinis khas ibu-ibu sinetron minta digebuk. “Kunti? Emang masih zaman pakai nama semacam itu?”

Jahanam sekali Anda. “Kunti merupakan ibu dari Pandawa,” kataku berusaha menyuarakan pendapat. “Apa itu nggak ada artinya?”

“Danu, kamu nggak pengin nengokin anak Tante?”

“...” Lah? Aku dicuekin? Percuma dong tadi bicara yang menurutku isinya daging banget.

Danu terkekeh. Dia melingkarkan lengannya kepadaku tanpa kesulitan sama sekali. Secara, dia sedang menggendong Tasya. Ohooo kekar juga, ya? “Tante, pacar saya bisa ngambek nanti. Susah saya kalau dia ngambek. Lagi pula, anaknya Tante pasti nggak suka dijodohin begini, ‘kan?”

“Dih kata siapa, Danu? Putrinya Tante cantik, pintar, sayang anak. Rugi kamu kalau nggak mau kenalan. Kan nggak ada larangan punya pacar, tapi kenalan dengan cewek baru.”

Minta kutampol! Hasrat hati ingin memukul, tapi ingat norma manusia. Bisa-bisa aku kena undang-undang penganiayaan atau apalah.

“Ya, Danu? Sekali saja. Kenalan dengan putri Tante. Dia cantik. Banyak yang pengin ngelamar. Tentara, polisi, pegawai kantor. Tante tolak demi kamu lho ini.”

Idih! Idih! Idih! Darahku yang baru saja hidup dan mengandung oksigen ini langsung mendidih.

“Permisi, Tante. Kami mau kencan bersama Tasya dulu.”

Danu langsung mengajakku dan Tasya kabur secepat kilat. Sungguh aneh, tapi nyata. Kami lari seolah dikejar penagih utang. Beginikah perasaan Timun Emas saat dikejar Buto Ijo? Ngeri.

“Om, Tasya nggak suka!” Tasya langsung cemberut. Bibirnya bisa saja makin mirip bibir bebek kalau dia masih saja mengomel seperti itu. “Jauh lebih menyeramkan daripada Tante Genit!”

Danu membuka pintu mobil, menyuruhku masuk bersama Tasya. Kami berdua duduk di jok belakang, sementara Danu di depan. “Om, kan, nggak bisa berbuat nggak sopan kepada orang tua, Sayang.”

‘Terus ngaku-ngaku pacarku itu boleh?’ rutukku dalam hati.

Tasya langsung memelukku, membenamkan wajah di pakaian baruku. “Jelek banget si Om.”

“Iya,” aku setuju, “jelek.”

“Kalian nggak bisa bersimpati sedikit, ya?” Danu pura-pura terluka. Dia mulai mengemudikan mobil, keluar dari area sekolah.

Sesekali kutengok ruko-ruko berisi penjual pakaian, aksesoris, maupun makanan. Dulu aku bisa melayang ke sana, memperhatikan pengunjung, dan kadang bertemu beberapa hantu. Sebagian hantu mudah diajak bicara. Yang lain kosong; sulit berkomunikasi, hanya berdiam di satu tempat, dan tidak mau bicara. Barangkali mereka sedang terjebak di satu masa, momen, yang sulit dienyahkan dalam diri mereka.

“Tasya, mau langsung pulang atau mampir?” Danu menawarkan. Mungkin merasa sedikit bersalah karena sedari tadi Tasya tidak menyahut sama sekali. “Om nggak akan ngomong ke papamu kok kalau kita main.”

Tasya mendongak, melihatku. “Mbak Kun, mau main?”

“Nggak,” jawabku dengan tegas. Aku mau duduk di atas lemari atau meringkuk di sudut rumah. Menjadi manusia sungguh melelahkan dan aku ingin mengundurkan diri!

“Ya udah,” kata Tasya kepada Danu. “Kita pulang, Om.”

“Roger,” sahut Danu dengan kekehan.

Mereka aneh.

Keluarga ini aneh.

Semua orang aneh.

Aku saja yang tidak aneh!

***
Selesai ditulis pada 16 Juni 2024.

***
Ampun. Hari ini kepala saya kumat. Sakit banget gara-gara pilek yang nggak ada ingus. Itu bikin kepala pusing. Enakan pilek yang ada ingus. Nggak pusing di kepala! :”( Ini gara-gara kemarin saya tidur di lantai atau gimana, ya? Sedih.

Semoga teman-teman selalu sehat dan diberi banyak rezeki!

Salam cinta dan kasih sayang untuk kalian semua teman-teman.

Love.

Tasya dan Miss Kunti (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang