Bagian 17 - Seruan Pasang Ombak

599 91 30
                                    

🍁



Hati memang akan patah,
tapi meski patah akan terus hidup.

Lord Byon,
Childe Harold's Pilgrimage.



Keesokan harinya, setelah menyakinkan dirinya, akhirnya Erza memutuskan untuk mengunjungi Erick di rumah sakit. Rencananya, ia akan hadir setelah pekerjaan kantor selesai. Kendati, saat tengah fokus mengerjakan tugasnya, tiba-tiba seorang staf mengetuk pintu ruangan Erza.

"Permisi, Pak Erza. Bapak dipanggil Pak Rajendra dan diminta ke ruangan beliau." Ujar seorang staf. Lalu, tanpa berlama lagi, Erza melangkahkan kaki ke ruangan tersebut.

"Erza, silakan masuk, Nak." Sapa Rajendra ketika melihat kehadiran anak dari temannya itu. "Kamu sudah tahu tentang kondisi Papi kamu 'kan, Za?" Tanpa basa-basi, Rajendra langsung mengangkat topik obrolan tersebut bagaikan anak panah yang sengaja mengenai targetnya.

Pun, tidak ada respon lain yang bisa Erza berikan selain mengangguk. "Tahu, Paman." Jawabnya.

"Kenapa kamu masih di sini? Seharusnya kamu temani Erick di rumah sakit." Erza mengangkat kepalanya yang semula tertunduk. "Saya harus bekerja sebelum datang kesana." Rajendra pun menutup laptop di hadapannya. Ia tatap lamat-lamat anak dari sahabat istrinya itu.

Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Rajendra kembali bersua. "Mulai besok kamu sudah tidak perlu bekerja di perusahaan ini. Karena Papimu akan menempatkan kamu di perusahaannya."

Perkataan itu membuat Erza termenung. Ia sudah kehabisan kata-kata untuk membantah dua orang dewasa tersebut. Pun, sejak dulu, hidup Erza telah diatur sedemikian rupa tanpa bisa membantahnya.

Terlebih, sekarang tidak ada lagi yang menolong dirinya. Erza benar-benar sendiri, setelah Meera meninggalkannya. Lalu, kepada siapa Erza dapat berharap sekarang?

"Papi kamu tidak seburuk itu, Za. Saya dan Erick sudah berteman lebih dari dua puluh tahun. Dan, saya bisa menjamin, kalau Erick bukan orang tua seperti bayanganmu selama ini."

Erza sangat ingin membalas ucapan Rajendra dan membantah ucapan tersebut tapi sial air matanya sudah jatuh lebih dulu. Kedua kepalan tangannya sangat erat dan perlahan, dadanya mulai sesak.

Nyatanya, masih separah, dan semenyakitkan ini. Dan, Rajendra tidak bercanda dengan ucapannya. Karena setelah obrolan singkat mereka selesai. Ia meminta Erza untuk bergegas ke rumah sakit.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, sudah tidak terhitung berapa kali Erza harus menepikan mobilnya. Pikirannya benar-benar linglung karena Erza tak pernah diberikan waktu untuk mencerna semuanya.

Pun, sesampainya di rumah sakit. Erza tak perlu bertanya tentang ruang inap Erick karena rumah sakit ini adalah milik keluarga Bionzy. Pasien VIP selalu ditempatkan di lantai teratas. Ketika pintu lift terbuka, Erza hanya berdoa agar waktu cepat berlalu.

Akan tetapi, Semesta seolah tak pernah berpihak padanya, dan membuat hidupnya terlihat jenaka. Karena pemandangan di depannya persis seperti yang Erza lihat lima tahun yang lalu. Saat untuk pertama kalinya, ia memergoki Erick yang tengah bercengkrama dengan perempuan lain.

Percakapan itu berhenti ketika Erick menyadari presensi putranya. "Elang." Sapanya. Lantas, ia meminta Perempuan yang bernama Anggun itu untuk meninggalkan ruangan.

"Saya sampai harus meminta bantuan Rajendra hanya untuk menyuruh kamu datang." Kalimat Erick terdengar seperti sebuah sindiran kepada Erza. "Tadi pagi Joko memberitahu kalau panti kalian kebakaran. Kamu perlu bantuan Papi?"

#MOERZA | Jika Kita Bertemu Kembali [MARKNO AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang