Finding Leli's Voice

34 5 16
                                    

Suara Leli hilang.

Dikira serak kecapaian ternyata hilang benaran. Warga kampung jadi heboh, biduan andalan mereka tidak bisa naik panggung. Padahal, habis Lebaran Haji ramai orang tangkap orkes dangdut buat hajatan, dan banyak yang sudah memberi sinyal ingin menyewa Orkes Aduhai. Harganya memang tidak ramah, tetapi Leli punya pesona yang mampu menaikkan derajat si punya hajat. Meski tidak pernah tampil di televisi, orang sekabupaten paham Leli. Bahkan orkes ini sering menjadi pengisi acara bareng artis ternama.

Tak kunjung membaik meski sudah dicekoki segala jamu dan diperiksa dokter, berseliweran dugaan guna-guna. Leli memang tak sesegar dulu, tetapi tubuhnya masih sekal. Masih luwes bergoyang. Masih enak dipandang. Suaranya pun masih bikin ketagihan. Banyak lelaki yang masih rela merogoh kocek demi mengipasi Leli dengan berlembar-lembar uang di panggung. Terkaan ada yang iri dan dendam semakin kuat. Apalagi saban disawer ada saja istri yang tidak rela atau acap kali diajak naik ranjang Leli menolak.

Untuk itulah didatangkan seorang dukun yang tinggal di kaki gunung. Kedatangan orang pintar ini bukan yang pertama. Sudah tiga kali kami memanggil yang dianggap mampu menyembuhkan Leli. Pada yang awal datang, kami diberi tahu ada orang jauh yang sakit hati pada Leli. Si Mbah hanya berkata, orang itu lelaki. Tidak bisa menerawang sampai ke ciri-ciri karena ilmu si Mbah kalah dengan dukun yang di sana.

Warga kampung kembali bergemuruh. Banyak yang menyumbangkan nama. Salah satunya merujuk pada lurah, lantaran Leli menolak bergoyang lebih. Lain lagi bilang, bisa jadi Karjo—pegawai kecamatan—yang cintanya ditolak Leli. Sisanya menimpali, mungkin juga Rohah yang tinggal di kabupaten karena dia yang paling doyan kasih sawer. Meski tidak tahu mana yang pasti, kami tetap menemani Leli mendatangi satu per satu. Syarat dari si Mbah mutlak, Leli harus minta maaf langsung. Biar orang itu jahil, masih ada belas kasih. Asal Leli benar-benar menunjukkan tulus minta maaf, masalah ini selesai.

Pergi menggunakan mobil yang biasa mengangkut peralatan orkes, Leli duduk di sebelah sopir, sementara kami duduk di belakang beralaskan terpal. Dari pintu ke pintu kami masuki. Semua terkesan menerima dengan suka hati. Tono, selaku bos orkes, yang mewakili Leli berbicara. Pada semua dia mengatakan, kami datang sebagai bentuk silaturahmi, sekaligus meminta doa agar di acara akbar nanti semua berjalan lancar. Bagaimana pun, kondisi Leli hanya orang desa saja yang tahu.

Akan tetapi suara Leli tetap tidak ada.

Orang pintar kedua dijemput langsung Tono dari kampung mendiang istrinya. Konon semua yang diobati bisa sembuh. Hasil penerawangan si Bapak tidak berhubungan dengan orang jauh, melainkan makhluk halus. Katanya, Leli ditempeli. Ada penunggu yang tersinggung. Leli harus membersihkan diri. Selain sekujur tubuh Leli direndam dalam bak berisi air jampi-jampi dengan kembang tujuh rupa dan puasa mutih selama tujuh hari berturut-turut, Leli harus memotong seekor ayam cemani di pohon dekat panggung yang terakhirnya. Sembari mengucapkan dalam hati kata-kata yang sudah diajarkan, lalu bakar kemenyan.

Hasilnya, Leli tetap bisu.

Yang ketiga datang dari kota. Seorang lelaki yang berperawakan tinggi-tegap, terlihat masih muda, dan putih jubahnya. Dia tidak membakar kemenyan, hanya bergumam yang terdengar seperti doa. Kemudian matanya menatap Leli yang menunduk, berganti memandang kami yang desak-desakan di luar.

"Memang ada yang jahil."

Dengung setuju membuahi rumah Leli.

"Tapi ...."

Kami serentak mingkem.

"Saya tidak tahu makhluk apa, cuma makhluk ini memindahkan suara Leli ke hewan."

Gemuruh omongan kembali terdengar. Kami kaget. Leli lebih kaget.

"Salah satu dari semua hewan di sini."

Montaks Mystery BoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang