Orang gila mana yang nggak punya background kesehatan atau management tapi bekerja sebagai admin pendaftaran rumah sakit?
Tidak lain tidak bukan, itu aku.
Agak laen dan di luar nurul.
Jika preferensi kerja dari gelar S. Pd adalah lingkup sekolah dan pendidikan, maka pada akhirnya pilihanku adalah tidak.
Bakat mengajar sudah ada sejak masih SMP ketika sering diminta untuk membantu saudara mengerjakan PR anaknya. Kemudian berlanjut menjadi guru les rumahan, hingga terkahir mengajar di bimbel pun aku pernah jalani.
Namun entah dapat bisikan dari mana hingga aku spontan membuat surat lamaran kerja untuk unit pendaftaran di rumah sakit swasta di kota.
Halah, mau sedikit jujur sih ya, wkwk. Mungkin ini manifestasi dari selorohan kakakku dulu yang pernah menawariku untuk bekerja di rumah sakit tersebut namun aku sempat abaikan. Karena memang dulu aku menjadi salah satu donatur semesteran di kampus, alias tidak lulus-lulus juga. Skripsi sempat terhenti karena gagal penelitian lantaran ada kesalahan penulisan nomor induk mahasiswa di surat penelitian yang sudah terbit dari fakultas. Harus pengajuan surat penelitian ulang, ditambah ada wabah Covid-19 yang melanda. Sudah klop, mak jegrek! Skripsi terhenti tidak tersentuh selama satu tahun.
Menjadi beban keluarga di rumah yang kerjanya makan-tidur-buang air. Keluar rumah di kala kondisi sekitar cukup sepi takut jika berpapasan dengan tetangga dan mendapatkan pertanyaan, "Mbak Mei udah wisuda belum?"
Peduli apa mereka jika aku wisuda? Apa aku akan dapat buket uang? Tidak kan? Mereka hanya ingin memuaskan rasa ingin tahu.
Lalu, berdiam diri di kamar adalah jalan ninjaku.
Alasan kedua mungkin karena aku belum punya bayangan ingin melamar di sekolah mana dan terlalu malas untuk mencari tahu sekolah apa yang sedang membuka lowongan guru Pendidikan Agama Islam. Sebab untuk posisi mengajar sekarang harus linear sesuai jurusan di kala kuliah. Juga aku belum siap mental untuk bertatap dengan kepala sekolah atau komite ketika menaruh surat lamaran atau interview.
Realita bahwa menjadi guru honorer yang dibayar per jam masuk atau gaji perbulan sangat minim yang entah cukup tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aku tidak munafik, karena tujuan bekerja salah satunya khayalan untuk mendapatkan penghasilan minimal sesuai UMR.
Jiwaku yang cinta uang tentu memilih yang setidaknya menjanjikan.
"Ini lamarannya harus aku yang kirim langsung ke rumah sakit, atau cukup boleh dititip sama kamu, Wit?"
Wiwit yang sedang makan sembari main ponsel menoleh padaku sebentar, "Titipin ke aku aja wis," putusnya.
"Oke."
Lalu dibawalah berkasku ke rumah sakit, dengan jarak dua hari dapat panggilan interview, medical check-up, dan langsung keterima kerja. Alhamdulillah lancar seperti jalan tol.
Kedua orangtuaku setuju-setuju saja atas pilihanku bekerja di rumah sakit. Terlebih ibu, yang antusias begitu mengetahui kalau gaji yang akan aku terima tidak sebatas "uang beli sabun" dari gaji menjadi guru honorer seperti Lilis, tanteku.
Ibuku tidak ada niat merendahkan atau membandingkan. Beliau hanya begitu bersyukur putri bungsunya telah dapat kerja setelah cukup lama menyusahkan orang rumah.
Respons kakakku biasa saja ketika kuberitahu bahwa aku sudah bekerja di rumah sakit. Katanya, kerja sebagai admin pendaftaran di rumah sakit itu berat. Entah berat yang seperti apa tapi tidak dijelaskan. Lalu dia berpesan bahwa aku pasti bisa melalui pekerjaan dengan baik dengan sifatku yang sedikit bodo amat terhadap hal yang di luar kendaliku.
Sudah cukup waktuku tak guna hampir dua tahun. Kuanggap sebagai masa hukuman karena aku yang begitu malas menyelesaikan tugas akhir. Beruntung skripsiku akhirnya selesai di ujung tanduk mendekati drop-out mengerikan yang aku sungguh tidak bisa membayangkan apa jadinya nanti.
Aku sangat bersyukur atas hidupku meskipun aku berjalan terseok-seok.
Mari ganti waktu sia-sia yang lalu, dengan bekerja lebih keras. Semangat!