XXXVI

858 240 12
                                    

"tuan Armin. Asisten Joe datang bersama Nona Sally dan Tuan paris.!"
Ucap Dian pada Silas yang sedang makan siang bersama Roya.

Silas memegang pergelang tangan Roya, menenangkan.
"Bawa ke ruang kerja. Suruh Tunggu sampai aku selesai makan."

Dian mengangguk dan segera berbalik.

"Untuk apa mereka datang.?"
Tanya Roya dengan mata yang membulat.
"Apa aku harus sembunyi diatas, di kamar.?"

"Jangan takut.!" Tekan Silas.
"Tidak ada yang bisa menyakitimu sekarang.
Ada aku yang nenjagamu."
Silas memperhatikan piring Roya yang hampir kosong.
"Aku yang meminta Joe membawa Mereka ke sini."
Silas menghubungi asistennya itu saat Roya yang kehabisan tenaga sedang tertidur pulas.

"Untuk apa.?" Roya mendelik marah.
"Kau tau aku tidak mau bertemu Mereka.!"

"Tidak perlu bertemu jika kau masih takut dan terus saja merasa rendah diri. Dengarkan saja diam-diam bersembunyi seperti tikus.!"
Silas mencengkram pipi Roya, membuat bibir wanita itu runcing seperti bebek.
"Padahal saat ini kau ada di sisiku, siapa yang berani menyakitimu.?
Tapi aku juga mengerti, kau tidak hanya takut mendengar kebenaran kau juga takut menghadapinya.!"
Silas menarik Roya hingga membentur dadanya.
"Apa Rama begitu istimewa, apa kau tidak sanggup menerima kenyataan."
Silas menguncang Roya.
"Mudahnya bagimu memaafkan Rama lalu kenapa sedikitpun kau tidak bisa mempercayaiku."
Silas menarik napas panjang.
"Aku mencintaimu Roya. Aku tidak tau cinta siapa yang lebih besar, aku atau Rama. Tapi aku lebih baik mati daripada melukaimu."

Roya menatap Silas lalu tersenyum.
"Aku tidak akan pernah percaya lagi padamu.
Kalau tidak ada Rama, aku sudah lama mati.
Meski harus mengorbankan hidupku, aku akan tetap membantu Rama."

Perlahan Silas menjatuhkan tangannya, dengan mata yang berkaca-kaca, dia balas tersenyum pada Roya.
"Akupun begitu, meski harus mengorbankan hidupku, aku akan menebus semua salahku.
Aku akan terus menahanmu di sisiku. Kau terlalu rapuh untuk sendirian di luar sana.
Akui saja Roya kau butuh seseorang untuk menjagamu dari semua yang membuatmu takut, itulah fungsi Rama.
Sekarang aku mengambil alih tugas Rama."

Roya menarik napas panjang.
"Aku tidak takut padamu, sekarang aku berani bicara dan menatap matamu.
Aku bukan pengecut."

Silas tersenyum mengedipkan mata.
"Kau tidak hanya berani menatap mataku, kau juga berani mengigit dan mencakarku."

Roya berpikir sedetik lalu warna merah mulai menjalar dari leher ke wajahnya saat mengerti Silas sedang mengungkit reaksinya diatas tempat tidur.
Roya melirik pada Missi yang sedang membersihkan pajangan yang tak jauh darinya, dia tau dari senyum yang Missi tahan wanita itu mendengar apa yang Silas katakan.
"Jangan biarkan Asisten Joe menunggu."
Roya segera berdiri menarik Lengan Silas.

Silas terbahak melihat Roya yang hampir tersungkur karena tergesa-gesa, dia merangkul erat pinggang Roya.
"Nyonya Armin kau sungguh masih selucu dulu."

Wajah Roya yang merah langsung memucat.
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu."
Bisiknya menahan rasa mual, mengingat sosok nyonya Armin tua yang tega memerintahkan orang untuk mendorong Roya ke bawah bukit.
Silas bilang akan menuntut keadilan untuknya, apa Silas akan menepati kata-kata jika tau neneknya tanpa ragu membunuh Roya.
"Tentu saja aku begitu lucu, aku badut yang bisa kau mainkan untuk hiburan dan kesenanganmu dan teman-temanmu."

"Kau tau bukan itu maksudku.!" Silas berusaha menahan tapi Roya sudah melepaskan diri lalu berjalan menuju ruang kerjanya.
Silas menarik napas panjang lalu bergegas menyusul Roya.

"Bos.! Nona Roya.!" Sapa Asisten Joe begitu Roya san silas masuk ke ruang kerja.

Roya langsung melihat pada kedua tamu, Sally dan kakaknya. Inilah paris, pikir Roya yang ingat apa yang Paris lakukan padanya malam itu.
Roya melihat pada jari-jari Paris yang masih digips yang pasti disebabkan oleh Rama, jari-jari itu pantas dihancurkan.!

Lawyer Boss Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang