A Porridge and A Limun

200 8 6
                                    

Lelaki berparas cantik itu menangis, entah untuk keberapa kalinya ia merasa bahwa hidupnya tak pernah lebih baik dari sebelumnya. Entah bagaimana, Tuhan selalu punya cara untuk menunjukkan padanya seolah membencinya. Ia tak mengerti mengapa dirinya kerap mengalami kesialan disetiap harinya.

"Aku nggak bisa ngelanjutin ini sama kamu, Han." Pria itu berkata. Lelaki yang dipanggil 'Han' itu hanya bisa menatap mantan kekasihnya dengan tatapan sendu, ekspresinya tidak terbaca.


Jeonghan terbangun dari tidurnya. Mimpi buruk kembali mendatanginya seolah ingin menakutinya dengan berbagai cara. Bahkan dalam keadaan sadar pun, ia bisa tiba-tiba saja merasa kosong dan ingatan mengenai hari dimana pria itu memutuskan untuk berpisah dengannya datang dan melemparnya ke masa kelam tersebut. Jeonghan bahkan harus mengonsumsi pil tidur agar ia bisa tidur tanpa bermimpi.

Bukan, bukan dia membenci pria itu, melainkan ia begitu merindukan pria itu hingga ingatan mengenai masa kelam tentang pria itu ingin sekali dihapusnya.

Pukul delapan lewat empat puluh lima menit, Jeonghan kembali terbangun dengan napas terengah seperti yang kerap terjadi padanya sejak beberapa bulan belakangan. Ia terbangun dan memutuskan untuk tidak tidur lagi. Memakan sarapannya dalam diam. Bubur dengan rasa hambar serta merica bubuk digenggaman tangannya yang lain selagi tangan kanannya menggenggam sendok. Jeonghan kembali menambahkan bubuk merica kala rasanya masih terasa hambar dilidahnya. Jauh diseberang sana, ia mendapati sosok yang begitu dirindukannya itu duduk dikursi yang lain tepat dihadapannya. Entah bagaimana terlihat begitu jauh namun seolah ia dapat merasakan kehadirannya begitu dekat.

Jeonghan menyipitkan kedua matanya mencoba menajamkan penglihatannya yang entah sejak kapan mulai terasa berkabut. Sekeliling pria itu terkesan abu-abu sementara bayangan itu nampak begitu terang menyilaukan.

Bangkit dari duduknya demi bisa menjangkau bayangan pria yang selama ini menghantui pikirannya. Jeonghan kehilangan jejaknya begitu mencapai pintu apartemennya. Ia segera membuka pintunya dan mendapati lorong apartemennya begitu kosong dan lengang. Sunyi senyap dan ia tidak menemukan siapapun disana.

Jeonghan memutuskan untuk mengejar bayangan itu lagi kala netranya mendapati sosok itu berdiri seolah menantinya diujung koridor. Masa bodoh dengan kemeja putih kebesaran serta celana panjang hitam yang tampak kusut, Jeonghan tak pikir panjang selain mengejar bayangan itu.

Jeonghan mengedarkan pandangannya ke sekeliling, jalan raya tampak begitu sepi dan lengang.  Pandangannya teralih pada bangunan besar yang memiliki jam digital besar yang berada dipaling atas gedung. Pukul delapan lewat empat puluh lima menit, Jeonghan menatapnya lama, berpikir mengenai mengapa sepertinya perasaan ini tidak asing? Ketika pikirannya sedang berkecamuk dengan angka penentu waktu, bayangan itu kembali muncul jauh didepannya seakan berusaha mengacaukan pikirannya dan menyita fokusnya. Jeonghan kembali berlari sekuat yang dia bisa.

Ia tiba diujung jalan besar dimana ia sering melewatinya bersama pria itu dulu. Namun hal aneh yang ia dapati adalah sebuah pintu bernuansa putih gading berdiri kokoh ditengah jalan, menanti Jeonghan untuk membuka dan memasukinya.

Merasa penasaran, Jeonghan tak bisa membendungnya hingga kini satu tangannya sudah menggenggam erat handle pintu dan dalam satu gerakan bunyi 'klek' terdengar dan ia hanya harus mendorong daun pintu hingga ia dapat melihat apa yang ada dibaliknya.

Memegangi kepalanya yang terasa seolah pusing berputar, ketika tubuhnya limbung sepasang lengan melingkari pinggangnya menahannya agar tidak menyentuh tanah segera. Jeonghan membuka kedua matanya, dan terbelalak begitu mendapati apa yang ada didepan matanya. Seolah rasa pusing berputar yang melandanya hilang begitu saja digantikan dengan rasa kejut yang tak pernah dirasakan sebelumnya.

LUCID DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang