Daun kering berhamburan keluar dari tempat sampah begitu tubuh Jeno menabraknya dengan keras. Ia terbaring di tanah, sejenak ia memejamkan mata sambil meringis kesakitan karena tendangan yang ia terima di perutnya. Ia sudah mengantisipasi tendangan dan pukulan dari ahli taekwondo dengan gelar sabuk hitam itu, namun ternyata ia di luar ekspektasinya.
Hembusan angin musim panas siang ini terasa lebih membakar dari biasanya. Debu di halaman belakang gedung tanpa malu menyapa wajahnya yang berkeringat. Perlahan ia mencoba berdiri, menatap segerombolan pemuda yang memasang ekspresi tidak peduli. Jeno menghela napas dengan berat seolah batu bata berada di atas paru-parunya,
"aku sudah membeli rokok seperti permintaan kalian dengan uang terakhir yang kupunya, bukankah kalian harus mengganti harga yang ku keluarkan untuk itu?"
"Kenapa dia miskin sekali - " Salah satu di antara mereka tertawa mengejek sambil menyulut ujung rokok yang baru Jeno beli, menghisapnya dengan alis mengernyit sebelum membuangnya dan meludah " - sial, rokok ini benar-benar yang terburuk"
"Mengganti uangmu? Kau berharap kami mengganti harga rokok yang bahkan bukan selera kami?" Park Woojin, pemuda di depannya. Katakan lah ia yang memimpin kelompok ini. Begitu mudah baginya untuk menjadi pemimpin di antara mereka. Ayahnya memiliki jabatan yang tinggi dalam militer. Ditambah kemampuannya dalam berkelahi juga tidak perlu diragukan. Sedangkan teman-temannya juga memiliki orang tua yang berpengaruh di pemerintahan.
Ia mengulurkan tangan ke temannya tanpa menoleh. Meminta rokok yang dibeli Jeno - namun dihina sedemikian rupa - dalam keadaan menyala. Matanya terus menatap Jeno dengan tajam dan angkuh.
"A-aku tidak tahu merek yang biasa kalian beli"
Jeno hanya bisa mengira-ngira. Apakah asap rokok itu akan ditiupkan ke wajahnya? Apakah ia dipaksa untuk merokok? Atau ... Apakah ujung rokok itu akan digunakan untuk membakar kulitnya? Tidak. Ujung rokok yang terbakar itu ditempelkan di pakaiannya hingga berlubang sedikit demi sedikit.
"Aku tidak akan berbelas kasihan lain kali. Besok bawakan yang kumau"
Mereka pergi meninggalkan Jeno. Namun di antara pemuda itu, Bae Jinyoung, anak yang paling diam dan dingin di antara mereka menjadi yang terakhir beranjak. Melirik Jeno tanpa ekspresi sambil melemparkan sebungkus rokok yang tidak pernah Jeno lihat di minimarket. Seolah mengatakan bahwa rokok merek ini yang dimaksud oleh mereka. Bahkan meski hanya sisa bungkusnya, aroma tembakau yang khas tetap tercium. Desain bungkusnya sangat mewah dan bahannya terlihat premium berkilau. Seperti terlalu berkelas untuk sekedar berjejer dengan rokok lainnya di minimarket. Jelas target pasar mereka bukan kelas menengah.
Jeno melirik arlojinya. Waktu yang tersisa hanya tiga menit sebelum perkuliahan dimulai. Namun ia juga baru ingat tasnya tertinggal di ruang belajar. Seandainya anak-anak itu tidak meminta rokok diantarkan dalam waktu tujuh menit mungkin ia tidak akan meninggalkan tas dan bukunya begitu saja di ruang belajar. Mereka memang benar-benar berengsek.
Meski ia menghadiri kelas tanpa buku dan alat tulis, setidaknya Jeno datang tepat waktu—atau lebih tepatnya hanya terlambat beberapa detik setelah profesor Kang. Ia membersihkan bajunya dari abu rokok, meski lubang hangus di bajunya tak dapat ditutupi.
"Kau mahasiswa yang cuti tahun lalu?" Tanya dosen wanita itu. Jeno mengangguk. "Lain kali aku tidak menolerir keterlambatan sekecil apapun". Ini lebih baik daripada diusir dari kelas.
Jeno mengangguk mengerti dan tidak lupa berterimakasih. Ia segera mencari tempat duduk. Namun ada masalah lainnya yang harus ia hadapi. Bagaimana mengikuti perkuliahan yang berisi rumus tanpa sebuah buku untuk menulisnya?. Ia memejamkan mata, menahan diri untuk tetap sabar, menarik napas sebelum menghembuskan emosi buruk dari dalam dadanya.
Jeno menjadikan gadis berambut panjang dengan warna cokelat di sebelahnya sebagai target. Wangi stoberi serta pakaian berwarna merah muda yang terlihat mahal yang dikenakannya cukup menunjukkan ia gadis yang feminin penyuka fashion kekinian. Sekali lagi Jeno melirik pada tas gadis itu yang terbuka di sampingnya.
"Maaf, apakah aku bisa meminjam kertas dan bolpenmu?" Tanya Jeno seramah mungkin. Ia tidak memiliki seorang teman pun di kelas ini. Mungkin belum. Terdapat 95% kemungkinan tidak ada yang mau berteman dengan pemuda culun sepertinya, khususnya dari universitas ini. Semua anak-anak dari kaum elit ini tidak akan mau repot-repot berteman dengan seseorang yang tidak memberikan keuntungan apapun sepertinya. Dapat dibuktikan dari bagaimana gadis tersebut mengabaikan Jeno.
Jeno menghelas napas. Seandainya ia memiliki latar belakang yang kuat atau kekayaan tujuh turunan mungkin dirinya tidak perlu repot-repot mencari teman, karena mereka akan datang dengan sendirinya. Menghadapi Woojin dan teman-temannya saja sudah sulit. Bagaimana ia bisa bertahan sampai—
"Hei, gunakan ini"
Jeno terkesiap, ia refleks menoleh ke belakang dimana bahunya ditepuk dengan sebuah buku. Gadis itu dengan ekspresi datar menyodorkan buku catatan kecil dan sebuah bolpen ke hadapannya. Jeno menerimanya dengan sedikit senang, "Terima kasih"
Ia lupa ada lima persen kemungkinan seseorang mau berteman dengannya. Entah bagaimana ia menjadi bersemangat memperhatikan semua angka dan simbol yang ditulis di papan tulis. Bahkan ia tidak sadar tenggorokannya begitu kering siang ini. Ia juga lupa bahwa kemejanya bolong karena terbakar rokok. Bukti sebuah kebaikan kecil bisa memperbaiki suasana hatinya.
Kini kelas telah usai dan mereka berdiri berhadapan di depan pintu. Gadis itu masih dengan ekspresinya yang datar, dan Jeno masih mempertahankan wajah ramah dan lugunya bagaimanapun juga. "Ini, kukembalikan, terima kasih. Aku akan membalas kebaikanmu lain kali"
"Tidak perlu". Tukas gadis berkuncir ekor kuda itu. Ransel yang dikaitkan di satu bahunya. Wajah tanpa riasan yang berarti. Kemeja flanel dan sneakers juga melengkapi kesan tomboynya.
"Tidak, jangan begitu. Aku sangat terbantu. Eum. Ngomong-ngomong ... aku Jeno, Lee Jeno" Jeno mengulurkan tangan, tentu saja ia berharap dapat berteman baik, atau setidaknya saling mengenal nama satu sama lain. Namun di luar dugaan. Gadis itu memberikan sesuatu di atas telapak tangannya.
"Aku tahu"
Belum selesai kebingungan Jeno, panggilan seseorang dari kejauhan menginterupsi mereka. "Hei! Jihye! Ayo makan siang bersama!"
Mereka berdua menoleh ke sumber suara tersebut. Gadis itu lantas — pada akhirnya — tersenyum tipis. Meninggalkan Jeno berdiri di sana. Ia melihat ke telapak tangannya, ternyata itu plester. Jika bukan karena plester tersebut, mungkin sampai nanti ia tidak akan sadar jika perih di sikunya karena terluka. Jeno menghela napas. Gadis itu membuatnya seolah-olah tidak boleh berekspektasi untuk berteman dengannya hanya karena sebuah kepedulian sesama mahasiswa. Jadi namanya Jihye.
Dering ponsel di sakunya segera menyapa usai kepergian Jihye. Raut wajahnya berubah serius. Ia melihat layar ponsel. Sebuah nomor tanpa nama. Namun ia hafal sekali nomor tersebut.
"Aku sudah memiliki informasi teman-teman Park Woojin"
"Terima kasih. Tolong carikan informasi penjual rokok dengan merek malachite "
(Revisi)
—
fayerain, 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Agent, Lee Jeno.
Fanfictionan agent who pretend to act as a spy for one country or organization while in fact acting on behalf of an enemy.