10. Mereka Hanya Menganggap Diriku Sebagai Pendongeng Handal

16 6 0
                                    

"Nanti malam mau ke mana?" tanyaku, mencoba mengusir suasana canggung di antara kita.

Won-Jin mengangkat wajahnya dan menjawab, "Mau ke mana? Hari ini aku tidak punya rencana keluar. Aku ingin berkunjung ke kuil."

"Untuk apa?" tanyaku penasaran. "Tidak biasanya kau selalu berkunjung ke kuil."

Won-Jin mengangkat wajahnya dan menjawab, "Hari-hariku tampaknya sangat buruk, jadi aku ingin mengadukan semuanya kepada yang di atas."

Aku tidak bisa menjawab apapun selain, "Baiklah, aku sungguh menyadari hal itu."

Pukul 10.44. Aku kembali masuk ke kelas dan melanjutkan pelajaran sejarah Korea Selatan. Rasanya begitu melelahkan. Guru sejarah menerangkan setiap peristiwa dengan detail, namun suaranya yang monoton membuatku semakin mengantuk. Aku berusaha fokus, namun mata mulai terasa berat. Sesekali, aku melirik jam dinding, berharap waktu berlalu lebih cepat. Tapi, detik demi detik terasa begitu lambat, seolah menguji kesabaranku.

"Youngjae," tiba-tiba Won-Jin memanggil dengan lirih. Aku menoleh ke arahnya, dan dia melanjutkan, "Ngantuk sekali, bagaimana dengan dirimu?"

Aku mengangguk pelan, merasa senasib dengannya. "Ada mainan yang bisa kubuat pinjam? Ini akan membantu mengusir rasa bosan."

Aku membulatkan mataku dan menjawab, "Aku tidak punya mainan, bodoh. Komikku ketinggalan di rumah karena tadi mendengar berita nenekku meninggal. Hm, ini sungguh membuatku merasa hambar."

"Kasih garam, nanti tidak merasa hambar," respon Won-Jin dengan candaan. "Tapi, aku penasaran karena yang kulihat itu seperti kakekmu, padahal kau bilang kakekmu sudah meninggal."

Aku langsung mematung, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya berharap Won-Jin tahu bahwa waktu lalu aku mengalami peristiwa yang begitu tak masuk akal dan sulit dijelaskan. Saat itu, rasanya seperti dunia berputar terbalik, dan aku terombang-ambing di antara kenyataan dan misteri yang menghantui pikiranku.

"Kenapa diam saja?" tanya Won-Jin, suaranya membuyarkan lamunanku. "Jangan terlalu larut dalam lamunan, nanti kita berdua kena teguran."

"Aku khawatir kita akan kena marah karena mengobrol seperti ini. Ibu guru terlalu fokus," jawabku dengan hati-hati.

"Hm, ya sudah. Fokus saja dengan pelajaran ini," ujar Won-Jin yang akhirnya memilih diam.

Aku juga tidak punya pilihan lain selain mengikuti sarannya, mencoba menahan rasa kantuk dan memusatkan perhatian pada pelajaran sejarah yang terasa semakin panjang dan membosankan. Namun, begitu aku mencoba fokus, aku iseng-iseng melirik ke jendela. Tiba-tiba, sehelai rambut menjalar dengan cepat, hendak mengikat diriku.

"Astaga!" Aku berteriak kaget, melompat dari kursi dan menjauh secepat mungkin. Mataku membulat sempurna, dipenuhi rasa takut dan bingung.

Seisi kelas langsung tertuju ke arahku, melihat tingkah anehku. Apakah hanya aku yang bisa melihat rambut menjalar itu?

"Ada apa, Youngjae?" tanya Ibu Guru penasaran.

"Tadi, ada rambut," jawabku masih panik. "Bu, tadi ada rambut yang menjalar."

Ibu Guru mengarahkan pandangannya ke jendela, memeriksa sekeliling dengan seksama. Tidak ada apa-apa di sana. Dengan tenang, dia berkata, "Tidak ada apa-apa, Youngjae. Jangan membuat keributan saat pelajaran."

Murid-murid lainnya mulai berbisik, sementara aku berdiri di sana dengan nafas yang masih tersengal. Apakah aku hanya berhalusinasi? Rasanya terlalu nyata untuk diabaikan.

Kemudian, dengan ringannya Ji Won melontarkan sebuah cemooh, "Dia sudah gila, Bu. Keluarkan saja dari sekolah ini."

Murid-murid lainnya tertawa kecil termasuk Won-Jin, sementara wajahku memerah karena malu dan marah. Aku merasa terasing, seolah-olah hanya aku yang melihat kenyataan yang mengerikan itu.

Who Are You? (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang