1. Si Gadis Jurnalis (1)

60 9 7
                                    

Satu tendangan pamungkas sukses menjatuhkan lawannya ke luar arena dalam laga tanding pencak silat putra hari ini. Sekali lagi, Airlangga berhasil mengamankan posisinya untuk melaju ke babak final yang akan dihelat esok pagi.

Sorak-sorai pendukung yang didominasi teman-teman sekolahnya menyambut Airlangga dengan meriah.

"Airlangga!"

"Mantap Airlangga!"

Begitu mereka terus menyebut nama Airlangga dengan euforia yang menurut Airlangga berlebihan dan berisik. Sebab untuk saat ini bukan hasil pertandingan tadi yang bertengger di kepalanya, melainkan kacamata olahraganya yang entah bagaimana bisa berembun.

Kacamata olahraga itu dia beli dengan harga selangit memakai uang tabungannya. Niat hati supaya memperjelas penglihatannya yang buruk tanpa khawatir terlempar bila ia ditendang lawan, kenyataan malah memperburuk penglihatannya.

"Pertandingan yang bagus!" puji sang pelatih, Pak Harun, mengalihkan perhatian Airlangga dari kacamatanya kepada sosok pria paruh baya yang setia menunggunya di sudut arena ini.

"Kalau bisa lebih agresif tapi jangan sampai kehilangan kesabaranmu." Begitu Pak Harun memberikan evaluasi tanpa berbasa-basi.

Airlangga mengangguk sambil menghela napas. Entah apa ia akan mematuhi Pak Harun untuk lebih agresif atau dia akan tetap menjadi Airlangga yang segitu-gitunya.

"Setelah ini ada waktu sebentar?" tanya Pak Harun tiba-tiba.

"Buat apa?" tanya Airlangga sambil mengganti kacamatanya dengan kacamata yang biasa dia kenakan.

Pak Harun tak lantas menjawab. Dia melangkah ke samping sedikit dan muncul seorang gadis berambut pendek dengan jepit bunga di atas telinga kiri yang berdiri sambil menatap Airlangga dengan senyum.

Gadis itu badannya mungil, terbalut kebaya kartini putih yang dipadu dengan rok batik biru bermotif mega mendung selutut. Kamera mirrorless menggelantung di lehernya sementara kedua tangannya sibuk dengan buku dan pulpen berhias bulu berwarna ungu.

"Ada yang mau wawancara kamu," kata Pak Harun menerangkan maksud si gadis ada di sana.

"Halo! Aku Anasera Putri Widuri Aryanto, penulis untuk rubrik idola muda masa kini di koran harian Tribun Madya." Si gadis memperkenalkan diri dengan nada yang ceria.

Ah, rubrik itu. Rubrik yang dibenci Airlangga dan anak-anak lainnya karena itu adalah sumber para orang tua untuk 'memotivasi' anaknya supaya berprestasi bahkan ketika mereka tak punya tetangga untuk dibandingkan sekalipun. Walau katanya penulis rubrik itu anak-anak, Airlangga yakin ide dasarnya berasal dari orang tua yang benar-benar tak tahu artikel macam apa yang bermanfaat untuk anak-anak muda.

Anasera menyodorkan tangan untuk dijabat tanda perkenalan. Badan mungil itu berdiri tegap penuh percaya diri, matanya berkilat semangat menjalin kontak dengan mata Airlangga, bibirnya tersenyum antusias.

Airlangga menatap Anasera dari ujung kepala hingga ujung kaki. Menilai si gadis sebelum akhirnya menjabat tangan gadis itu yang ternyata basah karena keringat.

Airlangga mendecih menahan tawa remeh. Yang terlihat Anasera begitu percaya diri, nyatanya gadis itu gugup hingga tangannya banjir oleh keringat.

"Uhm, gimana kalau kita sambil duduk di bench?" tawar Anasera sambil mempersilakan Airlangga untuk duduk di bangku yang biasanya dipakai pelatih dan manager memperhatikan pertandingannya.

"Emang mau apa?" tanya Airlangga jahil sambil menyeringai. "Aku 'kan belum bersedia diwawancara."

"E-eh!" Mendengar ucapan Airlangga, Anasera jadi gelagapan.

360 Degree Point of View [REMAKE]Where stories live. Discover now