Bab 9 Terungkap

6 2 0
                                    

Pagi itu, Raka dan Nadira duduk di bangku taman sekolah, memandangi peta dan foto-foto yang mereka ambil tadi malam. Mereka berbicara dalam bisikan, takut ada yang mendengar.

"Kita harus hati-hati. Kalau Pak Anton benar-benar terlibat, kita nggak bisa sembarangan bertindak," kata Raka dengan serius.

Nadira mengangguk. "Setuju. Kita butuh bukti lebih banyak sebelum mengonfrontasi dia. Kalau nggak, kita yang akan dalam bahaya."

Bel tanda masuk berbunyi, mengakhiri percakapan mereka untuk sementara. Mereka masuk ke kelas dengan pikiran penuh kekhawatiran. Sepanjang pelajaran, Raka tidak bisa fokus. Pikirannya terus-menerus memikirkan langkah selanjutnya.

Setelah sekolah usai, Raka dan Nadira berkumpul di belakang sekolah untuk membahas rencana mereka lebih lanjut. Namun, Alisa tiba-tiba muncul dengan ekspresi marah.

"Raka, kenapa kamu selalu bersama Nadira? Apa yang kalian rencanakan?" tanya Alisa dengan nada sinis.

Raka mencoba menenangkan Alisa. "Alisa, ini bukan urusanmu. Tolong jangan ikut campur."

Alisa mendekat, matanya menatap tajam ke arah Raka. "Aku tahu kamu mengabaikanku, tapi aku nggak akan membiarkanmu begitu saja. Apa pun yang kalian rencanakan, aku akan menghentikan kalian."

Nadira mencoba membela diri. "Alisa, kita hanya mencoba mengungkap kebenaran. Ini bukan tentang kamu."

Alisa tertawa sinis. "Kebenaran? Kalian pikir aku bodoh? Aku tahu tentang kegiatan ilegal kepala sekolah. Aku bisa memberitahu semua orang, tapi aku nggak akan melakukannya. Aku punya rencana sendiri."

Raka terkejut mendengar pengakuan Alisa. "Kamu tahu tentang itu? Kenapa kamu nggak melaporkannya?"

Alisa mendekat lebih dekat lagi. "Aku nggak perlu melaporkannya. Aku bisa mengendalikan kepala sekolah dengan informasi ini. Dan aku bisa mengendalikanmu juga, Raka."

Raka menatap Alisa dengan tajam. "Aku nggak akan membiarkanmu memanfaatkanku. Ini masalah serius, Alisa. Kita harus menghentikan mereka."

Alisa tersenyum licik. "Kita lihat saja nanti, Raka. Aku akan membuatmu mengerti."

Setelah Alisa pergi, Raka dan Nadira saling pandang dengan kekhawatiran. Mereka tahu bahwa situasi semakin rumit dengan adanya ancaman dari Alisa.

"Kita harus lebih berhati-hati sekarang," kata Nadira. "Alisa bisa membuat segalanya lebih sulit."

Raka mengangguk. "Benar. Kita harus mencari lebih banyak bukti secepat mungkin sebelum Alisa melakukan sesuatu yang bisa membahayakan kita."

Mereka memutuskan untuk kembali menyelinap ke kantor kepala sekolah pada malam hari. Setelah memastikan semua orang sudah pergi, mereka memasuki gedung sekolah dengan hati-hati. Dengan menggunakan jendela yang tidak terkunci, mereka berhasil masuk ke kantor kepala sekolah.

Di dalam kantor, mereka mulai mencari-cari dokumen yang bisa menjadi bukti. Nadira menemukan sebuah laci yang terkunci.

"Raka, coba cari sesuatu untuk membuka ini," bisik Nadira.

Raka mengambil penjepit kertas dan mulai mencoba membuka laci itu. Setelah beberapa menit yang menegangkan, laci terbuka. Di dalamnya, mereka menemukan sejumlah dokumen yang mencurigakan.

"Lihat ini," kata Nadira sambil menunjukkan salah satu dokumen. "Ini laporan keuangan yang menunjukkan transaksi besar ke rekening pribadi kepala sekolah."

Raka membaca dokumen itu dengan cermat. "Ini bisa jadi bukti yang kita butuhkan. Tapi kita butuh lebih banyak."

Tiba-tiba, mereka mendengar suara langkah kaki mendekat. Mereka segera mematikan lampu dan bersembunyi di balik meja.

Pintu kantor terbuka, dan Aulia masuk dengan wajah marah. "Apa yang kalian lakukan di sini?"

Raka dan Nadira terkejut melihat Aulia. "Kami hanya... kami hanya mencari bukti," kata Raka gugup.

Aulia mendekat dengan ekspresi serius. "Kalian nggak tahu apa yang kalian hadapi. Kalau kalian terus menyelidiki, kalian bisa dalam bahaya besar."

Nadira berdiri, menatap Aulia dengan tegas. "Kita tahu risikonya. Tapi kita nggak bisa biarin ini terus terjadi."

Aulia mendesah, tampak bingung antara marah dan khawatir. "Dengar, aku juga nggak suka dengan apa yang terjadi. Tapi kalau kalian teruskan, kalian bisa celaka."

Raka menatap Aulia tajam. "Kenapa kamu peduli? Kamu juga terlibat?"

Aulia menggeleng. "Aku nggak terlibat. Tapi aku tahu seberapa berbahayanya orang-orang ini. Mereka nggak akan segan-segan untuk menyingkirkan siapa pun yang menghalangi mereka."

Raka dan Nadira saling pandang. Mereka tahu Aulia mungkin benar, tapi mereka juga tahu bahwa mereka harus melakukan sesuatu.

"Kita nggak akan mundur," kata Raka dengan tegas. "Kita akan cari bukti lebih banyak dan menghentikan mereka."

Aulia menghela napas berat. "Baiklah, tapi berhati-hatilah. Kalau ada masalah, cari aku."

Setelah Aulia pergi, Raka dan Nadira melanjutkan pencarian mereka dengan lebih hati-hati. Mereka menemukan lebih banyak dokumen yang memperkuat bukti keterlibatan kepala sekolah dalam kegiatan ilegal.

Malam itu, mereka kembali ke rumah Raka dengan perasaan campur aduk. Mereka tahu mereka sudah membuat kemajuan, tapi juga sadar bahwa bahaya semakin mendekat.

"Kita harus rencana lebih matang untuk langkah selanjutnya," kata Raka. "Kita nggak bisa gegabah."

Nadira mengangguk setuju. "Benar. Kita harus hati-hati. Tapi kita juga harus cepat, sebelum mereka menyadari apa yang kita lakukan."

Mereka menghabiskan malam itu merencanakan langkah berikutnya, mengetahui bahwa mereka harus lebih berhati-hati dan cerdik jika ingin mengungkap kebenaran tanpa menempatkan diri mereka dalam bahaya besar. Konflik dengan Alisa menambah tekanan, membuat mereka harus berjuang lebih keras dan lebih pintar.

The Second LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang