1. Lara

24 7 1
                                    

Dinginnya malam membuat Lara duduk sambil meringkuk dan memeluk selimut yang baru diambilnya di sebuah lemari usang peninggalan orang tuanya.

"Kak, aku mau makan,"

"Ya, nanti kakak sedang memasak nasi dulu, setelah matang baru menggoreng telur,"

Rona, adiknya satu-satunya memang belum makan sejak sore tadi. Ia sudah mengingatkannya agar makan karena nasinya hampir habis. Tapi, karena sibuk bermain dengan temannya, Rona baru merasakan lapar kalau waktunya akan tidur.

"Kak, aku mau ke makam ibu dan Ayah," ucapnya dengan memeluk tubuhnya yang juga kedinginan.

"Kakak belum bisa antar kamu kesana, masih sibuk cari kerja," jawabnya.

Rona merasa kecewa dan mengerucutkan bibirnya. Sepuluh menit kemudian semua makanan sudah matang, adiknya duduk dan makan dengan lahap.

Lara menemaninya sambil menahan kantuk. Ia sudah harus tidur karena besok pagi akan pergi ke sebuah kantor yang katanya menerima lowongan untuk cleaning service. Ia akan mencoba melamar dan yakin bisa diterima setelah salah seorang tetangganya datang dan memberitahu kalau besok ia harus datang lebih pagi sekitar pukul setengah tujuh pagi.

Rona yang sudah kenyang kemudian duduk dan bersiap tidur. Rumah mereka sudah tertutup rapat tapi masih terasa dingin. Ia memberikan selimut dan menutupi tubuh Rona yang sudah terpejam. Mereka hidup hanya berdua saja tanpa ada yang menemani.

Kedua orang tua mereka telah meninggal dunia dan hanya meninggalkan rumah tua ini saja. untungnya ada beberapa peninggalan yang bisa Lara jual untuk bisa menutupi biaya hidup mereka selama setahun ini.

Setelah Rona tidur, ia duduk sambil mengamati lemari pakaian yang masih berdiri kokoh di hadapannya. Semua yang dimiliki orang tuanya satu persatu telah dijualnya. Kedua orang tua mereka meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa keduanya di tempat kejadian. Saat itu ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama dan Rona masih TK.

Tetangga berbondong-bondong datang dan melayat bahkan membantu menguburkan hingga mengadakan acara tahlilan.
Lara dan Rona tak memiliki saudara lagi karena kedua orang tuanya tak pernah memberitahu dimana mereka berasal. Akhirnya setelah satu tahun berlalu, ia dan adiknya hidup dengan bergantung pada peninggalan kedua orang tua mereka.

Lara bangkit dari tempat tidur dan mengambil kotak perhiasan ibunya yang masih berisi beberapa macam perhiasan tersimpan di sana.

Dihitungnya masih ada lima buah perhiasan yang haganya mungkin lebih tinggi dari yang pernah ia jual. Jujur ia sangat lelah saat harus mengatur uang yang tiap harinya ia habiskan untuk membeli makanan dan bahan masakan.

Ia juga harus mulai mengatur pembayaran sekolah Rona di SD. Beberapa orang memberitahu padanya untuk mengurus ke dinas sosial minta bantuan dan Alhamdulillah mendapatkan keringanan dan Rona bisa bersekolah tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun.
Matanya sudah sangat mengantuk, ia pun segera tidur dan bermimpi indah.

**

Selang seminggu sejak kejadian yang dialami Rona. Rona berubah menjadi bertambah pendiam dan pemalu. Dan, perubahan itu membuat Lara merasa aneh. Tapi, melihat Rona yang seperti itu, ia tak berani bicara dan memilih diam.

Di saat ini, Lara terdiam sendiri di dapur. Menatap makanan yang ia masak dengan tatapan kosong. Ia menikmati itu, hingga suara perintahnya yang memekakkan telinga pun membuatnya tersadar.

"Lara ... kamu bawa ini kesini, ya!"

Lara menerima nampan yang diminta untuk dibawakan ke ruangan dekat dengan dapur ini.

Ia membawan dan memberikan pada atasannya yang seorang wanita muda cantik dan sangat ramah. "Lara ... itu namamu, ya?"

"I-iya, Bu,"
"Nama yang bagus, apa nama panjangnya?"

Ia masih tertegun karena baru sadar dari lamunannya. Sungguh tadi agak terkejut karena bari menyadari kalau ia sedang berada di kantor. Tempatnya bekerja tumben juga sedang lengang dan tak banyak suara, sepertinya sedang fokus semuanya pada pekerjaan masing-masing.

Ia menjawab terbata atas pertanyaan Bu Risma padanya.

"Lara Wiryasih, Bu," jawabnya dengan lirih.
Wanita dengan keanggunannya itu tersenyum seolah mengerti karena ia gemetar dan tamopak takut brhadapan dengannya.

"Jangan takut-takut begitu, aku nggak galak, kok. Oh ya, kamu masih remaja rupanya, sudah mahir bekerja,"

"Iya, Bu. Saya memang masih kecil, 15 tahun,"

"Berarti kamu putus sekolah?"

"Iya, Bu,"

Wanita itu tersenyum dan memintanya sabar dalam bekerja di kantor ini. Lara mendapatkan kesempatan bisa bekerja di sini karena ada orang kepercayaannya yang ternyata bekerja disini sudah lama dan menceritakan padanya kalau ingin membantu kehidupannya.

"Baiklah, silakan kerja lagi. Semoga kamu betah ya, Ra,"

"Baik, Bu,"

Pekerjaannya memang sangat ringan hanya membantu mencuci piring, lalu bersih-bersih dan menyapu kantor saja. Kadang ia diminta membantu yang lain menyiapkan minuman atau jamuan untuk rapat dan pertemuan dengan beberapa klien.

Sore jam empat ia pulang dan mendapati adiknya sedang duduk bersama temannya makan setelah selesai mandi. Lara sering meninggalkannya sendirian tapi Rona selalu diberitahu agar berhati-hati jika di rumah sendirian.

Adiknya itu memang selalu bermain dan meninggalkan rumah tapi katanya selalu dikuncinya setiap akan pergi.

"Kak, apa yang Kakak bawa itu di tangan?" tanya Rona setelah selesai makan dan duduk sambil mengamati bingkisan yang dibawanya.

"Ini nasi kotak, Ron. Kamu mau makan?"

"Rona sudah kenyang, untuk nanti saja, Kak. Rona mau mengaji dulu,"

"Hati-hati di jalan, ya. Ini uang untukmu dan sebagian masukkan ke kaleng infak, ya?"

Rona mengangguk dan berpamitan sambil mencium tangannya. Lara melihatnya sangat senang karena kini selain adiknya sudah besar, Rona juga penurut dan mau mengaji bahkan sekarang sudah masuk juz 3. Ia rajin mengaji sehingga teman-temannya yang tadinya hanya mengajaknya bermain, kini mau diajak mengaji juga tiap sore.

Lara duduk sambil melepas lelah dan minum air putih hangat, ia terbiasa sendiri dan duduk dalam sepi.

Dipandanginya ruangan yang dulu sering menjadi tempat berkumpul ibu dan Ayahnya kala masih duduk di bangku SMP. Ia memang harus putus sekolah karena kendala biaya yang tak memungkinkan ia membiayai sendiri sekolahnya di SMP yang biayanya makin tahun makin mahal.

Air matanya turun membasahi pipi saat mengingat masa indah bersama kedua orang tuanya.

Cinta itu Lara (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang