1. Proposal

14 3 2
                                    

Bunyi tetes air memecah keheningan sebuah restoran bergaya Jepang. Hujan gerimis turun dari langit dan memberi riak pada kolam yang dipenuhi ikan koi. Di samping kolam tersebut, terdapat sebuah ruang privat yang seringkali dipesan untuk acara istimewa. Kali ini, ruangan itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar berwarna putih serta lilin-lilin romantis.

Di tengah ruangan, seorang laki-laki berperawakan ideal berlutut sambil menjulurkan sebuah kotak cincin yang terbuka kepada wanita semampai di hadapannya. Di kotak tersebut terdapat sepasang cincin platinum dengan guratan sederhana.

"Maaf, aku nggak bisa menerimanya. Aku nggak mau menikah," kata wanita itu dengan suara bergetar, membuat laki-laki di hadapannya memucat. Pandangan mata cokelat laki-laki itu terpaku pada gadis berambut hitam panjang di depannya.

"Nia, kamu bilang apa barusan?" tanya laki-laki itu dengan nada bingung.

"Aku bilang, aku nggak mau menikah denganmu, Ed. Sebaiknya kita putus aja." Dania mundur selangkah sambil mencengkeram rok hitam yang dia kenakan.

"Apa aku ada salah?" Edmund bertanya-tanya. Kondisi ini terlalu absurd. Selama setahun terakhir, hubungan mereka sangat manis, tanpa adanya pertengkaran sama sekali. Karenanya, dia tidak bisa percaya lamarannya ditolak.

"Kamu nggak ada salah, aku aja yang nggak bisa melanjutkan ini," jawab Dania pada Edmund yang masih memegang kotak cincin berwarna maroon.

Mata cokelat Edmund menatap pupil Dania tanpa berkedip. Bibirnya dirapatkan. Di wajahnya tertulis jelas rasa tidak terima. "Kenapa kamu malah minta putus ketika aku lamar? Aku kira kita saling sayang?"

"Aku udah bilang kan tadi? Aku nggak mau nikah. Kenapa kamu maksa? Kalau kamu maksa, mending kita selesai." Nada suara Dania makin meninggi. Dia menyembunyikan gemetar tangannya dengan pura-pura merapikan rambut sebahunya. Wajahnya sudah kebas dan dingin. Untungnya dia mengenakan make up sehingga perubahan rona asli wajahnya tersembunyi.

Edmund menutup kotak cincin di tangannya lalu berdiri. Matanya masih tidak mau berpaling dari Dania. "Nia, kita akan happy. Aku cuma mau menikah dan nggak menuntut lebih. Aku nggak akan nyuruh kamu jadi ibu rumah tangga kalau kamu nggak mau. Kita juga nggak akan punya anak kalau kamu nggak siap. Pokoknya semua ini tanpa syarat dan kamu akan tetap bisa melakukan apa pun yang kamu mau."

"Kalaupun kamu nggak nuntut itu, apa kamu yakin orang-orang sekitar kita nggak akan berkomentar? Apa kamu yakin kamu nggak akan berubah pikiran? Istri itu cuma dianggap baik kalau mau jadi pembantu di rumahnya dan rela jadi pabrik anak. Pokoknya nggak! Aku nggak mau statusku serendah itu."

"Jangan mikirin orang lain! Kan yang nikah kita berdua." Edmund masih kukuh dengan keinginannya. Sayangnya, Dania juga kukuh dengan penolakannya.

"Ed, kita selesai aja." Dania kembali menegaskan. Mata obsidiannya tidak mengandung keraguan.

"Nggak, nggak bisa gini. Kita harus ngomong. Ini nggak masuk akal."

"Nggak ada yang perlu diomongin lagi." Dania segera meraih tasnya lalu berlari keluar ruangan. Langkahnya dihalangi Edmund yang mencapai pintu terlebih dahulu.

"Jadi ini sifat aslimu? Keras kepala dan memaksa?" tanya Dania setengah berteriak.

"Tunggu dulu! Pasti ada salah paham."

"Nggak ada salah paham. Kalau kamu masih maksa, aku akan membencimu!" bentak Dania sambil mendorong Edmund menjauh. Setelah tidak dihalangi, gadis itu melangkah cepat keluar restoran, meninggalkan mantan pacarnya yang masih tercenung.

***

Dania mendekap tubuhnya yang terasa dingin. Di dalam mobilnya yang hening, dia mulai merenungi apa yang sebenarnya terjadi tadi.

Dia berlari keluar restoran, masuk ke dalam mobil, kemudian berkendara pulang. Semua itu dilakukan tanpa berpikir. Sesampainya di garasi rumahnya, barulah Dania bisa menganalisis emosinya. Dalam sekejap, ketakukan memenuhi hatinya dan dia bersidekap seperti orang yang melindungi diri.

Apa juga bagusnya menikah sampai-sampai semua orang dipaksa melakukannya? Dania menggerutu dalam hati.

Emangnya pernikahan akan menjamin kebahagiaan? Lihat saja keluargaku. Mereka .... Gadis itu tiba-tiba teringat pada memori masa kecilnya ketika mengobati tubuh ibunya yang penuh lebam. Setelah itu, klebat bayangan lain muncul; ruang tamu yang dibanjiri darah, tubuh seorang wanita yang tergeletak di lantai, serta seorang laki-laki yang memegang pisau panjang. Ingatan tersebut menyakiti dadanya dan membuatnya menunduk. Kepalanya langsung kosong karena kengerian langsung memenuhi dirinya.

Dengan kesadaran yang nyaris buyar, Dania mengambil sebuah botol obat dari sakunya. Tanpa menunggu, dia mengambil satu pil lalu menelan benda itu bulat-bulat. Dia tahu kalau ini bukan cara baik untuk meminum obat, tetapi logikanya sudah tidak ada lagi. Satu-satunya yang dia pikirkan adalah bagaimana caranya keluar dari serangan panik yang tiba-tiba mendera.

Tenang, tenang, semuanya sudah berlalu. Dania mengucapkan kalimat itu berkali-kali dalam hati. Sayangnya dia malah makin gemetar. Untungnya beberapa menit kemudian obat penenangnya mulai bereaksi. Emosinya perlahan-lahan berkurang hingga tidak terasa lagi. Tubuhnya terasa ringan dan mimpi buruk tadi langsung menghilang.

Usai mengobati phobianya, Dania mengerutkan kening. Andai saja dia tidak tergoda oleh manisnya perlakuan Edmund, hal ini tidak akan terjadi. Laki-laki itu tidak akan meminta pernikahan jika Dania tidak mau berpacaran. Dengan pandangan sayu, gadis itu menghela napas lelah.

GamophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang