1. ✈️

29 9 1
                                    

Bagai dunia tanpa suara. Itulah kondisi Yara saat ini pasca Vhi memutuskan untuk menikah tiga bulan lalu. Di tengah keramaian, ia tetap merasa sepi bahkan kosong. Luka hatinya semakin menganga dari sebelumnya. Memang ini adalah keputusannya, tetapi ia tidak tahu jika akan sesakit ini hingga sekarang.

Lagi. Yara harus mengambil cuti selama masa penyembuhannya. Ternyata memang benar, sekali saja orang pernah mengalami depresi, suatu saat sakit itu akan kembali ketika trauma itu muncul. Sempat rawat inap di rumah sakit, tak juga membuat Yara membaik saat itu. Alhasil dengan terpaksa pihak rumah sakit mengikat tubuhnya agar tidak melukai diri sendiri.

Miris memang, tetapi itulah kenyataan yang harus ia hadapi sendiri. Tak ada lagi canda tawa dan senyum yang terbit dari wajahnya. Yara juga menarik diri dari keluarga bahkan Senja karena rasa kecewanya baik kepada orang tua maupun dirinya sendiri. Selama di rumah sakit pun hanya Jeon yang menemaninya. Itupun Yara sempat tidak mengenal sosok Jeon karena ingatannya terganggu, tetapi pria itu tetap saja tak menyerah.

Pernah juga Yara bertindak jauh dengan menyayat tangannya di apartemen tetapi saat itu ia sedang bersama Jeon. Beruntung Jeon mengetahui hingga hal itu tidak terjadi. Meski sudah mengalami penolakan perasaan beberapa kali, Jeon tetap tidak pernah menyerah. Pria itu tetap mendekati Yara sebagai sahabat sekaligus teman satu-satu yang ada di sisinya hingga kini.

Begitu sakit memang menjadi seseorang yang rela berkorban untuk menyelamatkan hidup pasangannya bahkan untuk menyampaikan rasa sakit itu saja ia tidak mampu, ia lebih memilih melakukan tindakan di luar dugaan untuk mengeluarkan rasa itu. Sungguh, perpisahan itu membuat Yara sangat rapuh dan sangat menghancurkan hati dan perasaannya. Sudah mendatangi tempat peribadatan pun ia belum bisa merasa tenang.

Dalam kesendiriannya baik di apartemen maupun saat kerja, Yara selalu memikirkan Vhi. Apakah dia sudah mencintai istrinya? Apakah rasa cintanya sebesar atau bahkan lebih besar darinya? Kemelut ini selalu saja mondar mandir dipikirannya dan Yara tidak bisa menghindarinya. Jika dibilang Yara belum ikhlas. Memang benar. Siapa yang ikhlas melihat kekasih yang sangat ia cinta hidup satu atap dengan wanita lain. Akan tetapi, Yara selama ini sudah berusaha sebisanya untuk bisa menerima semuanya, tetapi tidak secepat itu tentu ada proses yang harus dilaluinya. Meskipun prosesnya berbalut depresi dan hal menyakiti yang lain.

Hari-hari Yara begitu cepat berlalu. Ia bahkan mempunyai dunia sendiri ketika sedang sendiri. Kadang tertawa sendiri menatap foto Vhi yang masih tersimpan rapi di laptopnya. Beberapa kali melihat sosial media karena ingin melihat kehidupannya setelah menikah. Akan tetapi, semenjak peristiwa itu sosial medianya seakan tak pernah lagi tersentuh. Vhi seakan menghilang. Mengetahui akun sosial media istrinya, Yara sesekali membukanya dan yang ia dapatkan sama. Tak ada wajahnya bersama Vhi di sana. Kini Yara benar-benar kehilangan sosok Vhi. Apa ini yang terbaik?

Hari ini musim dingin. Yara menaiki atas sofa sectional berwarna putih di apartemennya dan duduk menyamping dengan kedua lutut ditekuk, menatap ke luar jendela. Buramnya jendela membuatnya mengeluarkan satu tangan dan menuliskan sesuatu di sana. 'Vhi'. Dengan wajah pucat pasi dan tanpa mengenakan pakaian hangat, Yara terduduk di sana sampai bibirnya mengering diikuti udara napas yang sendu. Kedua netranya berkaca-kaca. Kerapuhan hatinya seakan tak ada habisnya.

Di tengah kemelut hidupnya, Yara selalu berpura-pura senang ketika bekerja. Ia tetap berusaha se-profesional mungkin karena menyangkut nyawa penumpang. Hanya itu yang ia pertahankan. Jeon, sosok pria pengganti Senja dan Vhi, selalu menjemputnya setiap kali libur, kala itu. Akan tetapi, akhir belakangan Jeon sudah tidak pernah mendampinginya karena sibuk bertugas.

***
"Yara, yuk, makan siang," ajak Taeri teman akrabnya di tempat kerja. Meski dekat, tetapi Yara tidak pernah sekalipun menceritakan urusan pribadinya karena sebenarnya yang ia jaga adalah nama baik Vhi dan profesinya.

"Duluan saja. Aku menyusul," ucapnya yang baru saja keluar dari kamar mandi hotel.

Sebenarnya itu hanya alasannya saja karena sesungguhnya Yara sedang tidak napsu makan. Ia memilih menyendiri di kamar melihat deretan foto Vhi di galeri sosial media sambil mendengar lagu ballad sedih yang mewakili perasaannya saat ini dan lagi, air matanya berderai mengingat masa-masa indah. Bagi Yara, inilah caranya untuk meluapkan emosi dalam dirinya. Mengenakan earphone, Yara berbaring dengan posisi miring menghadap jendela dan memeluk guling. Tidak lama setelah itu dari tepian mata ia merasakan hangatnya bulir air mata mengalir.

Kurelakan kau bersamanya, Vhi. Setiap waktu yang kita lewati akan menjadi kenangan selamanya buatku. Yara menambah volume lagu dan ia menangis sekencang-kencangnya hingga tak menyadari Taeri telah berdiri di belakangnya. Merasa Yara ingin sendiri, Taeri memilih kembali pergi. Ia juga ikut menangis melihat tangisan Yara yang menyentuh sanubarinya. Perlahan Taeri pun menutup pintu lalu menyandarkan punggungnya ke pintu sambil memegang dada. Apa yang bisa kulakukan untukmu, Yara, lirihnya dalam diam. Di luar pun Taeri masih mendengar jeritan Yara. Hingga datang salah satu teman kamarnya ingin masuk, tetapi Taeri mencegatnya dengan menggeleng dan temannya pun paham maksud Taeri. Mereka berdua pun pergi meninggalkan Yara di kamar sendirian.

***
Taman hotel yang sejuk meski siang hari adalah tempat berlabuh Taeri dan satu temannya bernama, Yuna. Penasaran, Yuna pun menanyakan tentang kondisi Yara, tetapi Taeri pun tak bisa memberi jawaban yang memuaskan karena ia juga tidak tahu seberapa berat masalah yang ditanggung Yara. Hanya satu masalah yang Taeri tahu yaitu Yara tidak lagi tinggal bersama keluarganya untuk itu Yara lebih memilih bekerja dan bekerja tanpa mengambil libur atau cuti.

Taeri juga bercerita jika beberapa kali sempat melihat Yara bertingkah aneh. Yara kerap berbicara dan tersenyum sendiri setiap kali ia meminum coklat panas. Awalnya, Taeri menganggap jika Yara sedang memainkan ponselnya. Ternyata tidak, melainkan Yara sedang berbicara sendiri layaknya berbincang dengan Vhi karena nama itu yang didengarnya. Mungkin jika tidak ada Teri yang menegurnya, Yara sudah dianggap aneh. Beruntung, setiap kali ia mendapati Yara seperti itu selalu di tempat yang sepi.

"Lalu, kita harus bagaimana?" tanya Yuna yang ikut prihatin.

"Diamkan saja. Anggap kita tidak tahu apa-apa dan kau," Taeri menatap Yuna. "Jangan sekali-sekali memintanya cerita. Aku saja yang paling dekat dengannya tidak pernah ia ceritakan. Apalagi kau yang baru beberapa bulan bergabung di maskapai kami." Yuna mengangguk paham.

Tak terasa waktu sudah lebih 30 menit, mereka berpikir Yara sudah puas menangis dan mereka memutuskan untuk kembali ke kamar hotel. Setibanya di depan pintu, Taeri dan Yuna menarik napas dalam lalu diembuskan pelan sambil memutar knop pintu. Mereka pun berjalan mengendap-endap agar tidak mengganggu Yara yang sudah tidur. Penasaran, Taeri pun berjalan menuju jendela hanya untuk melihat wajah Yara yang tampak sedih ditambah ada jejak air mata mengering di sana. Yara tertidur lelap.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta di Langit Biru 2 || [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang