Denting tuts piano yang terdengar pelan memainkan Prelude in C minor, BWV 999 karya Johann Sebastian Bach makin menggetarkan Danya. Ia bisa merasakan nuansa spiritual dan keberpasrahan dalam interpretasi chord yang dimainkan secara arpeggio (menekan tuts satu persatu dari rendah ke tinggi secara berurutan) tersebut. Perutnya mulas dan tegang mengamati penampilan para peserta lain untuk kompetisi internasional kali ini. Semuanya terdengar lebih bagus dan memukau, ketidakpercayaan diri terus menerus menghantamnya.
"Jangan terintimidasi Dan, fokus sama kemampuan kamu. Kalau tegang dan gugup, nanti tanganmu jadi basah. Kamu nggak mau kan jarimu kepeleset di atas tuts?" Julia-guru les pianonya, terus berbisik menenangkan juga menghalau kedua tangan Danya yang berulang kali diusap ke gaun hitamnya.
"Apa aku perlu lambatin lagi temponya Ce, pas perform nanti? biar lebih khidmat dan dapet feel-nya."
"Tetep main seperti biasa aja Dan, percaya sama apa yang udah kita latih selama ini," Julia lalu mengederkan pandangan ke sekeliling ruang konser kecil berkapasitas seratus orang tersebut, mencari keberadaan seorang muridnya yang lain. "Kamu ke luar aja dulu, tenangin diri. Sekalian cari Dab, dia belum kelihatan masuk ke ruangan ini dari tadi."
Danya mengangguk, meski langkahnya sebenarnya enggan pergi. Ia keluar tepat saat jeda pergantian peserta di atas panggung. Tak perlu berpikir keras atau menghubungi ponsel Dabeeth untuk tahu keberadaan lelaki itu. Danya tahu persis dimana posisi tetangga yang sudah jadi teman atau rivalnya sejak kecil itu berada. Sejak mereka berusia lima tahun, dan mulai mengikuti berbagai kompetisi piano, Danya tahu Dabeeth punya kebiasaan menyendiri sebelum gilirannya bermain. Dulu Danya kira, lelaki itu hanya mencoba bersembunyi untuk mengatasi demam panggung. Tapi tebakannya berubah seiring waktu, kini Danya lebih meyakini kalau Dabeeth sengaja menyimpan adrenalin dan memaksimalkannya saat ia sudah berada di tengah panggung, memainkan tuts piano dengan satu-satunya lampu ruang konser yang menyorotnya.
Danya bergerak menuruni tangga dari lantai tiga menuju lantai dua, ke arah belakang kafetaria. Gedung Jilliard yang sering diperuntukkan untuk kompetisi piano ini sudah sangat dikenalnya, bukan hanya karena terlalu banyak kompetisi yang sudah ia ikuti di sana, tapi lebih karena gedung ini adalah salah satu aset keluarga Dabeeth. Setiap tahun, seluruh keluarga besar mereka berdua merayakan berbagai pesta di gedung itu, mulai dari peringatan ulang tahun tiap anggota keluarga, sampai acara hari jadi pernikahan kedua orang tua mereka. Tak sulit bagi Danya menemukan pintu kecil yang mengarah ke sebuah balkon, tempat persembunyian Dabeeth selama ini. Area itu kecil tanpa atap, terik matahari terasa menyengat ke bahu juga lengannya yang terbuka. Mata Danya seketika menangkap punggung Dabeeth.
"Dicariin Ce Julia." Hanya itu yang dikatakan Danya, ia tak mau berduaan terlalu lama dengan Dabeeth. Jantungnya berdetak kencang, perasaannya gelisah tak nyaman.
Dabeeth menoleh singkat, "Giliranku masih lama."
Sesungguhnya Danya tak peduli, ia bahkan tak mau repot-repot turun menemui Dabeeth kalau bukan karena permintaan guru piano mereka. Danya tak mengatakan apapun dan sudah berniat melangkah pergi, ketika Dabeeth memutar tubuh ke arahnya. Wajah lelaki itu sedikit memerah, entah karena kepanasan atau hal lain. Tangan kanannya memegang sebotol air mineral, namun isinya bukan cairan bening melainkan berwarna kuning cerah kehijauan. Danya menduga isinya telah ditukar dengan white wine yang biasa Dabeeth susupkan di kulkas kafetaria.
Ia tidak ingin menegur jika hanya akan berakhir dengan kecanggungan yang lebih besar. Komunikasinya dengan Dabeeth makin memburuk, dulu lelaki itu adalah teman baik yang suka mengalah dan tertawa. Beranjak remaja, Dabeeth jadi makin sinis dan berjarak dengannya sampai sekarang. Danya tak tahu apa salahnya, sebanyak apapun ia meminta maaf, semakin Dabeeth mengacuhkannya. "Kamu tahu kan sepenting apa kompetisi ini? jangan mengacau." Danya sungguh mempertaruhkan harga dirinya, dengan mengatakan kalimat itu.
"Jangan jadi sok sempurna, aku benci itu."
Baiklah, Danya merasa harus segera pergi setelah mendengar kalimat tajam tersebut. "Oke, terserah."
"Nya." Panggilan itu sontak menghentikan langkah Danya. Ia kembali berbalik menghadap Dabeeth untuk melihat lelaki itu menenggak seluruh sisa cairan, kemudian meremas botolnya sebelum melemparkan ke tong sampah di ujung balkon.
Dabeeth seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tak satupun kalimat terucap. Ia menggantinya dengan langkah-langkah mendekat ke arah Danya. Saat berhadapan, Dabeeth bisa melihat dengan jelas bintik-bintik kecil kecokelatan di seluruh muka Danya yang tak disamarkan make-up, juga bibir perempuan itu yang tampak lembab. Tangan kanan Dabeeth terulur membelai pipi kanan Danya, namun masih tak ada perubahan dalam tatapan perempuan itu. Sorot matanya tenang, nyaris kosong.
Danya tak tahu apa yang diinginkan Dabeeth saat ini, ia hanya mencoba berani dan tak terprovokasi dengan tingkah lelaki itu. Kini telapak tangan kiri Dabeeth diletakkan di leher Danya, hatinya sedikit berdesir. Ketika Dabeeth makin mendekatkan wajahnya, Danya bisa mencium aroma sitrus dari mulutnya, lelaki itu seperti habis meminum jus buah, jeruk? anggur? atau lemon? kepala Danya berputar, sibuk memikirkan bagaimana rasanya. Ia lupa semua tatapan, dan ucapan tajam dari Dabeeth. Dari jarak sedekat ini, yang ia ingat hanyalah Dabeeth tetap cinta pertamanya.
Cinta pertama yang terlarang.
"Nya," bisik Dabeeth pelan, sebelum ia mencium Danya. Ciuman kecil yang berubah jadi dalam dan tergesa. Danya merasakan sedikit getir dan asam saat lidah Dabeeth menguasai mulutnya, jadi begini rasa Sauvignon Blanc yang sering diminum Dabeeth diam-diam. Memabukkan, tapi nyaman.
Mereka berciuman sampai hampir kehabisan napas, Dabeeth bahkan menggigit bibir bawah Danya hingga sedikit berdarah. Menyadarkan Danya untuk berhenti, dan menerima bahwa semua yang mereka rasakan hanyalah kesakitan. Air mata meleleh di pipi Danya, tapi Dabeeth berlalu pergi begitu saja. Tanpa mengusap pipi atau puncak kepalanya. Jadi begitu ciuman pertama mereka, tak terasa manis sama sekali.
Setelahnya, Dabeeth dan Danya duduk kaku di antara guru les piano mereka. Menunggu giliran tampil dengan hati dan isi kepala yang berantakan. Saat tiba giliran Danya, kedua mata Dabeeth terus memerangkap perempuan itu dari langkah pertama naik panggung, hingga duduk tegap menarikan jemari di tuts piano. Tiga menit pertunjukan yang cukup memukau para juri, tapi terlalu rapi bagi Dabeth. Intrepretasi yang diberikan Danya pada komposisi Prelude in C minor, BWV 999 menyiksa Dabeeth. Seolah Bach-sang komposer yang terkenal religius itu sedang merasuki Danya, menyampaikan nada puji-pujian kepada Tuhan.
Dabeeth menahan nyeri dan semua sakit hatinya saat tampil berikutnya, ia membalas semua permainan piano Danya dengan interpretasinya sendiri. Ia melupakan Bach dan ketaatan pria itu pada Tuhan ketika menciptakan komposisi Prelude in C minor, BWV 999 yang sedang ia mainkan. Dabeeth mengacak-acak tempo, memainkan piano dengan gaya Chopin-sang maestro musik romantis. Ia ingin mendeskripsikan cinta, memuja Danya dalam permainan kali ini. Persetan dengan Tuhan mereka.
Begitu menunduk ke hadapan juri dan penonton di sesi akhir penampilan, Dabeeth merasakan air matanya jatuh. Ia kalah dengan diri sendiri, kalah dari perasaan yang dipendamnya selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
CANON
Ficción GeneralCanon in D adalah partitur sederhana yang pertama kali bisa dimainkan oleh Dabeeth dan Danya. Kebersahajaan musik itu yang mengajari mereka berdua apa itu cinta. Cinta yang bertahan seperti Canon dengan delapan bar tangga lagu yang terus diulang seb...