Aku duduk di kursi peron kereta Stasiun Manggarai sambil mendengarkan musik dari penyanyi barat kesukaanku melalui earphone yang menggantung ditelinga ku. Dibandingkan sibuk bermain hand phone aku lebih suka mengamati bagaimana orang orang beraktivitas di peron seberang untuk lajur yang berbeda.
Sebagian besar orang menunggu keretanya tiba sambil bermain hand phone, sebagian kecil orang membaca buku, dan sisanya menjadi pengamat, sama sepertiku.
Tepat pukul 17.45 Kereta yang ku tunggu telah tiba, aku beranjak bangun dari kursiku berjalan dan berdiri di sisi sebelah kiri pintu kereta otomatis, berniat untuk membiarkan penumpang yang hendak turun terlebih dahulu, memang seharusnya begitu.
Pandanganku kebawah saat pintu kereta otomatis terbuka, fokus pada sepatu tiga warna yang modelnya sama persis seperti sepatu yang aku gunakan, hanya warnanya saja yang berbeda. Kakinya hanya sedikit lebih besar membuat aku yakin pemiliknya adalah seorang laki-laki.
Aku mengangkat kepalaku untuk mengetahui seperti apa wajahnya, pria yang memiliki selera fashion rendahan sama sepertiku ini.
Mata kami tertuju satu sama lain, sedetik sampai tiga detik lamanya sampai aku memutus kontak mata itu duluan dan berusaha melihat ke segala arah berniat mengalihkan.
Wajah pria itu senyum sumringah tanda menyapaku tanpa berbicara sedangkan aku hanya berusaha untuk tidak mengenalnya. Ingin sekali berjalan lurus untuk pindah rangkaian kereta tapi apa boleh buat, bisa masuk ke dalam rangkaian berisi lautan manusia saja sudah bersyukur. Tahan tahan saja.
Kami berdua berdiri bersebelahan menghadap jendela pintu otomatis. Dikarenakan langit sudah mulai gelap kami dapat melihat pantulan diri kami dari kaca pintu otomatis. Mata laki-laki itu menatapku dalam keramaian dari pantulan kaca pintu otomatis. Aku hanya diam tanpa menatapnya lagi, mengalihkan pandangannya dengan memejamkan mataku pura pura mengantuk.
Tiba di stasiun akhir tujuanku yang sialnya aku tau betul itu juga stasiun tujuannya. Aku bergegas turun terlebih dahulu lalu diikutinya aku dari belakang. Jantungku berdegup kencang berjalan dengan langkah cepat berusaha fokus tanpa menoleh.
"Luna" Panggilnya.
Aku mendengar panggilan itu namun enggan untuk menoleh memilih untuk fokus pada langkah kakiku.
Sampai akhirnya tepukan dibahuku berhasil membuyarkan pandanganku, aku menoleh kebelakang menatap pria yang saat ini masih juga tersenyum ke arahku.
"Luna kan? Inget gue? Raka" katanya.
"Oh hey? Raka?" kataku sambil pura pura mengingat yang dibalas dengan anggukan cepat antusias.
"Udah lama ya ga ketemu, apakabar?" katanya lagi yang hanya aku balas dengan senyuman canggung.
Aku dan Raka berdiri saling berhadapan di tengah peron. dikelilingi orang-orang yang berlalu-lalang. Aku menatap mata laki-laki itu. Raka, nama yang sudah lama aku kubur dalam dalam di kepalaku.