CHAPTER 03

15 3 0
                                    

[CHAPTER 03]

Anrity terbangun dari tidurnya yang lelap. Terbebas dari mimpi teramat buruknya, helaan nafas keluar dari mulutnya dengan berat. Mimpi itu memang selalu datang belakangan ini, membuat wanita itu terganggu dan memilih untuk tidak tidur. Ini memang bukan pertama kalinya ia tertidur pada bak mandi jadis ia tidak terkejut mendapati dirinya tanpa pakaian sama sekali.

Mimpi itu masih dengan jelas berada di kepalanya. Mimpi dimana dan saat-saat terakhir ia bersama ayahnya. Hal lima belas tahun silam, disanalah ia merengek dan tersedu-sedu di depan ayahnya saat pria itu—David Elowen—ingin meninggalkannya demi tugas. Mayor Angkatan Darat serta ayah bagi Myu Valkyrie Elowen pula suami bagi Sarah Martinez memang selalu serius dan megikuti tugasnya dengan baik tanpa mengeluh.

Tapi disini Valkyrie alias Anrity baru merasakan hal itu dengan jelas, saat ia masih bayi ataupun balita, David memang pernah bertugas. Namun sekarang, daya ingat Anrity sudah sempurna.

Dengan perasaan suram dan mata sayu, Anrity ingat detail demi detail mimpi dan masa lalunya. Sulit, sangat sulit untuk melupakan itu. Apalagi saat dirinya yang kegirangan senang pada suatu hari, disaat sang ayah kembali ke rumah dengan boneka beruang coklat berukuran besar hanya untuknya, hanya untuknya seorang diri. Dan dimana setiap pagi hari David mencium keningnya yang baru bangun dengan penuh kasih sayang, dan juga cinta.

Tapi apa yang bisa Anrity lakukan saat mendengar kematian ayahnya saat bertugas, lebih parahnya Anrity baru berusia sepuluh tahun. Bayangkan saja, anak sekecil itu harus berkelahi dengan takdir. Hanya bisa menangis tersedu-sedu, berpikir menjadi dewa agar bisa menghidupkan ayahnya kembali. Wajar, itu pemikiran anak-anak.

Wanita itu terus terduduk di bak mandi putih yang penuh dengan air juga busa. Di peluklah ia lututnya, meratapi nasibnya sendiri yang sebatang kara tanpa dukungan apapun. Hanya perusahaan yang justru membuat stress berkelanjutan.

Bulir air mata hangat jatuh dari pelupuk matanya, melintasi pipinya dengan halus meski sedikit menggelitik. Ia angkat tangannya, menyeka air matanya sendiri.

"A—aku bingung, juga kesepian. Aku merasa bersalah namun sedih... Ayah, ibu dan juga nenek meninggalkan aku disini sendiri." Tangisnya tak kunjung berhenti. Bahunya mulai bergejolak mengikuti isaknya.

"Aku ternyata sangat menyedihkan," lanjutnya, ia terus hina dirinya sendiri.

Saat terus meratapi hidupnya, suara notifikasi tidak asing datang beberapa kali dari benda pipih besar di meja kecil yang ia siapkan dekat bak mandi.

IPadnya pun menyala saat notifikasi itu datang. Mata wanita itu beralih kesana, ia ambil kain putih lembut di meja kecil, mengeringkan tangannya dengan handuk itu. Setelah dirasa kering, barulah ia berani mengambil IPadnya.

Dadanya tertekan kepada bak mandi saat ia melihat layar IPadnya, ia memang condong keluar bak mandi karena tidak ingin air berhasil menjangkau IPadnya. Wanita itu melihat nama pemberi pesan yang tentera di layar.

'Liam?'

Ia bukalah roomchat untuk melihat pesan tersebut.

💬•—Liam(secretary)
|Selamat malam, Ms. Elowen.
|Maaf karena telah mengganggu waktu anda yang berharga. Ada yang menghubungi saya, dia menyebutkan kalau dirinya adalah sekretaris Mr. Vanos. Beliau meminta nomor pribadi ponsel anda. Apa saya boleh memberikannya?

Berikan saja|

Kesopanan dari pesan Liam memang teramat jelas. Namun ketegasan dari balasan Anrity sangat terkesan tegas. Memang itulah sikap sebagai seorang pemimpin agar di segani dan di dengar oleh siapapun.

THE DEVILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang