Embun baru menyadari bahwa kehidupan ini sangatlah keras setelah mendengar beberapa kisah nyata dari mulut Sisil, Ibunya. Beliau menceritakan tentang kejamnya dunia ini, memberi banyak pengetahuan kepada Embun, bagaimana cara bertahan hidup di jaman ini. Embun selalu mendengarkan apapun yang keluar dari mulut Sisil dan selalu menjadikan itu sebuah pelajaran agar di suatu hari nanti dia mendapatkan bekal dari perkataan Ibunya.
"Benarkah seperti itu, Bun?" Embun kecil masih ragu dengan apa yang diucapkan oleh Sisil sehingga kembali memastikannya dengan cara menanyakan lagi kepada sang Ibu.
"Benar, Mbun. Jadi, nanti kalau Ibu sudah tidak ada dan meninggalkan Embun serta Bumi, Embun dapat berbekal banyak cerita dari Ibu nantinya," Ujar Sisil sembari mengelus sayang rambut sepinggang milik Embun yang di kuncirnya kuda.
"Yasudah gih Embun cuci kaki serta sikat gigi, kemudian pergi untuk menyelami mimpi."
"Baik Bunda, good night." Perkataan Embun dibalas dengan senyuman hangan milik Ibunya.
Sisil menggendong Bumi kecil dan membawanya ke kamar mereka berdua--Sisil dan Bumi.
Memang, disaat usia kandungan Sisil ketika mengandung Bumi menginjak 8 bulan, kabar duka terdengar--yaitu meninggalnya suami bagi Sisil dan Ayah untuk anak-anak mereka. Saat itu kondisi kandungan Sisil drop dan mengharuskannya melahirkan anak keduanya secara prematur tanpa kehadiran sang suami di sana.
Tiba-tiba lamunan Embun buyar ketikamendengar teriakan dari adik laki-lakinya--- dia Bumi.
"Kak!" Panggil Bumi sembari menepuk pundak Embun dengan sedikit keras.
"Hah apa, Bum?" Embun yang sedikit linglung bertanya dengan kebingungan.
"Tadi kakak ngelamun, lagi mikirin apa?"
"Ga lagi mikirin apa-apa kok, Bum. Kakak oke," Balas Embun dengan senyum sembari memberikan pose jari jos.
"Ya udah deh kak Mbun. Bikin khawatir aja."
Embun hanya membalasnya dengan sebuah cengiran serta menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal sama sekali. Lalu mulai melanjutkan kegiatan masak-memasaknya yang tadinya sempat tertunda.
"Eh itu kak Embun masak apa buat sarapan kita?" Bumi bertanya sembari mendekatkan kepalanya ke arah panci yang berada di depan Embun.
"Jauh-jauh ah, Bum. Kamu belum mandi, masih nempel tuh iler mu," Ucap Embun sembari mendorong jauh tubuh jangkung adiknya.
Setelah mendengar perkataan Embun yang menyinggung ilernya, Bumi segera meraba seluruh wajah mulusnya, kemudian berdecak kesal.
"Lawong Bumi nggak ngiler kok."
"Karepmu. Ndang iyam, baru boleh makan pagi." Bumi cemberut mendengarnya.
"Kasih tahu dulu, itu kak Embun masak apa?" Tanya nya kembali setelah pertanyaan tadi yang sama tidak terjawab.
"Kakak masak sayur sop, tempe goreng dan sambal kecap."
"Wah kesukaan Bumi nih, kakak tahu aja kalau Bumi lagi kepengen."
"Halah meskipun kakak masakin batu, kamu pasti bilang gitu juga."
"Meskipun aku suka makan, tapi nggak makan batu juga lah, kak."
Embun tertawa mendengarnya.
"Iya wes iya."
"Kamu buruan mandi, Bum. Udah bau asem," Ucap Embun sembari memberi gelagat mengibaskan tangan di depan hidungnya.
"Ngenyek banget. Meskipun belum mandi, aku itu selalu wangi dan rupawan." Kepedean Bumi membuat Embun mengelus dada. Tetapi didalam hati, dia selalu bersyukur, karena Bumi, iya, karena Bumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Embun di tiap pagi
RandomEmbun tidak pernah berharap pada waktu, sebab waktu tidak ada yang tahu. Mungkin seiring waktu berjalan dapat terjadi hal baik, begitupun sebaliknya. Kita tidak dapat menebak waktu, hanya perlu berusaha saja agar mendapatkan apa yang diharapkan. Emb...