🕵️♀️👨💼
Darka masih menyeka darah jatuh dari hidungnya dengan tisu. Bel pintu kamar hotel berbunyi lagi, Klarisa langsung membuka.
"Pak cik?" sapanya. Pria melayu itu mengangguk. Ia izin masuk dan diiyakan Klarisa.
"Ke rumah sakit sana! Jangan kotorin kamar ini jadi TKP!" galak Klarisa. Darka berdiri perlahan dibantu Pak cik itu. Masih sempoyongan, langkah Darka tertatih dipapah Pak cik.
Pak cik menoleh ke Klarisa lalu tersenyum tipis untuk pamitan. Klarisa mengangguk, lantas ia tutup pintu kamar, segera kembali merapikan semua barang bawaannya.
Keesokan pagi ia sudah dijemput Pak cik untuk diantar ke rumah Abdinegara sebelum ke bandara. Tiket ia beli semalam, semua beres.
Rumah bak mansion mewah menyambutnya lagi. Langkah kakinya menaiki beberapa anak tangga untuk tiba di teras depan sudah disambut asisten rumah tangga berdiri di depan pintu yang terbuka.
"Terima kasih," tukas Klarisa ramah. Ia masuk ke dalam, merasakan suasana rumah di hari minggu cenderung sepi. Apa orang kaya raya tidak suka kumpul-kumpul keluarga atau teman. Andai Klarisa punya rumah seperti itu, ia panggil semua saudara supaya berkunjung.
"Rumah kok kayak kuburan," gumamnya pelan.
"Klarisa," sapa Bellona seraya menuruni anak tangga. Di belakangnya Abdi memakai pakaian balap. Klarisa tau masa lalu Abdi dari ayahnya. Abdi juga seorang pembalap mobil di sirkuit.
"Terima kasih, ya," lirih Bellona seraya memeluk.
"Sama-sama Tante," balasnya. Abdi mengusap lembut kepala Bellona. Ia pamit ke sirkuit kepada istrinya yang nanti akan menyusul. "Hati-hati, Om," pesan Klarisa.
"Sure, dear." Abdi tersenyum, masih terlihat gagah diusianya yang tak muda.
Bellona mengajak Klarisa duduk, ia menghela napas seraya tersenyum. "Tante puas sama kinerja kamu, Klarisa. Tante langsung tegur perempuan itu. Bener-bener bisa bikin malu kami kalau sampai tercium media. Kamu juga pintar buat tegur Darka dengan kagetin dia waktu di mobilnya. Kamu jelasin semua lewat laporan yang kamu buat. Anaknya Ijal dan Audrina benar-benar keren."
Saat Bellona tersenyum, Klarisa bisa melihat kelegaan hati seorang ibu karena ulah anaknya yang nakal.
"Terima kasih, Tante. Ini, Klarisa kembalikan kartu kredit dan debitnya. Klarisa pamit, ya. Pesawatnya dua jam lagi." Ia letakkan amplop di atas meja. Bellona memasang wajah serius. "Ada apa, Tan?"
Bellona menggenggam jemari tangan Klarisa. "Bantuin kami sekali lagi ya, Kla. Kami mohon."
Aduh, feeling Klarisa sudah tak baik. Jika berkaitan dengan Darka, bisa gawat. Sebisa mungkin ia menjauh dari laki-laki player itu.
"Bantu ... apa Tante?" lirihnya.
"Tante dan Om, minta tolong kamu buat awasin semua kegiatan Darka, ya. Kemanapun Darka pergi, kamu kawal."
Tebakan Klarisa tepat. Ia masih tak menjawab hanya tatapannya yang mewakili penolakannya.
"Tante dan Om masih nggak bisa percaya dia berubah, Kla. Tolongin, ya. Nanti kami yang bilang ke Ijal. Kamu tetap dapat bayaran dan semua keperluan kamu kami sediakan. Tinggalnya di sini. Darka juga nggak kami kasih izin tinggal sendiri."
Klarisa menelan ludah kesusahan. Kebimbangan antara duit banyak dan malas berurusan dengan Darka mulai membuatnya pening.
"Maaf, Tante, tapi Klarisa ada usaha juga di Jakarta. Nggak bisa ditinggal." Ia mencoba memberi alasan tepat.
"Bisa. Tante tau kok kamu juga jarang ke toko kamu. Karyawan kamu semua kasih laporan aja dan kamu awasi dari jauh."
Klarisa salah jika beralasan dengan Bellona bahkan Abdi, mereka pasti sudah mempelajari semua hal sebelum mengambil keputusan.
"Ma, nggak perlu, lah. Darka udah jujur salah ke Mama Papa." Suara mengganggu itu membuat Klarisa menoleh langsung ke arah tangga. Darka turun, ia memakai kaos lengan panjang warna krem dipadu celana pendek. Tampaknya baru selesai mandi. Wajahnya masih terdapat memar di beberapa sudut.
"Darka, please, Mama nggak mau kamu nakal lagi, Mama nggak bisa nahan Papa gebukin kamu. Kamu kenapa nggak kapok juga. Muka kamu udah babak belur sama Papamu," bujuk Bellona. Klarisa menatap bergantian Darka dan Bellona yang sedih saat bicara dengan si bungsu.
Darka berjalan santai ke arah dapur, mengabaikan kalimat Bellona. Dengan santai ia membuka kulkas, mengambil minuman dingin.
Setelah meneguk sedikit, ia letakkan di atas meja makan. Pandangannya mengarah ke Klarisa yang menatap tak suka ke arahnya.
"Gimana Mama Papa percaya kalau Darka sampai harus dikawal perempuan ini!" tunjuknya sombong juga senyum licik. "Darka bisa tunjukin bisa berubah, Ma."
Bellona beranjak, berjalan ke arah putranya. Jika kalian bayangkan Bellona akan terus sedih, maaf, kalian salah bertemu wanita yang bisa menjadikan anaknya musuh juga.
"Boleh. Serahin semua yang Mama Papa kasih buat kamu. Kamu sudah punya penghasilan sendiri, kan? Cukup buat penuhi hidup glamor kamu yang royal ke sana kemari. Kunci mobil, kunci apartemen, kartu kredit, kartu debit, balikin ke Mama, sekarang!" bentak Bellona.
Klarisa melotot, kaget juga Bellona bisa semarah itu mengancam anaknya. Darka menatap marah ke mamanya yang masih menantang putranya sendiri.
"Perlu Mama telepon dua kakakmu dan kakak iparmu? Kamu yang akan menyesal sendiri, Darka. Mama Papa lepas tangan kalau mereka tekan kamu lagi."
Dua kakak kandung juga kakak ipar Darka dikenal sangat peduli dengan adiknya itu, akan tetapi terbilang sangat tega mendidiknya. Tak segan menyindir juga dengan kata-kata pedas saat menasehati Darka, juga merendahkan Darka di deban banyak kolega bisnis.
Semua karena alasan jelas, kekayaan, kesuksesan bukan untuk ajang pamer atau royal foya-foya. Hargai jirih payah dengan tetap terlihat membumi tanpa perlu juga mendapat validasi dari banyak masyarakat.
Klarisa merasa ia harus membantu Bellona. Ia berdiri, mendekat ke Bellona yang masih saling melempar tatapan tajam ke arah Darka.
"Tante, saya mau bantu Tante dan Om. Kapan saya bisa mulai kerja?" tantang Klarisa. Bellona menoleh cepat, ia begitu senang mendengar jawaban Klarisa. Darka meremas kaleng minuman yang masih ada isinya walau setengah.
Tatapan Darka dan Klarisa saling menusuk seolah genderang perang sudah ditabuh.
***
Koper Klarisa dibawa masuk asisten rumah tangga, dibawa ke lantai atas menuju kamar yang akan ia tempati.
Kontrak kerja menjadi pengawal Darka tak terbatas, hanya saja jika Darka memang sudah berubah menjadi lebih baik tanpa berbohong alias memang kesadarannya sendiri, Klarisa bisa kapanpun kembali ke Jakarta.
"Gimana, mewah kamarnya, kan?" sindir Darka berdiri di dekat lemari pakaian di dalam kamar. Klarisa berbalik badan, tersenyum masam. "Nikmatin semua selagi kamu bisa." Darka melangkah cepat, mengikis jarak dengan Klarisa. "Karena ini nggak akan lama. Kamu bisa tau apa yang bisa aku tunjukin ke kamu, siapa ... Darka." Senyum licik muncul, Klarisa tertawa meremehkan. Ia berkacak pinggang.
"Oh, yaaa, let me to know, Darka. I cant wait. Kita lihat, apa kamu tetap kayak sekarang atau justru bisa berubah karena setiap manusia akan punya rasa sesal sudah melakukan hal buruk dan itu yang membantu dirinya berubah menjadi lebih baik." Kedua mata Klarisa melotot. Ia tak gentar dengan ancaman Darka.
Mulai sekarang, dua manusia ini akan menjadi musuh. Drama apa yang akan tercipta dari mereka nantinya, kita pantau bersama-sama.
bersambung,
KAMU SEDANG MEMBACA
Magnetize ✔
RomancePlayboy yang tidak mau menuruti kemauan orang tuanya untuk berhenti bermain-main dengan hidupnya terutama wanita. Usianya masih 21 tahun namun karena latar belakang keluarga pebisnis ulung, ia berhasil lulus kuliah lebih cepat dan sudah punya bisni...