CHAPTER II

76 8 2
                                    

.

.

.

- PLAK!
"Agh-?! Apa yang.." Si surai biru meringis kala sang kakak memukul kepalanya. Ia menatap wanita bersurai silver itu dengan tatapan cemberut, seperti biasa. Sementara itu, si surai biru kelabu hanya berdiri termenung membelakangi kedua bersaudara itu, menatap langit malam pada malam itu. Xavier terbaring di ruang medis setelah kejadian barusan, dia di antar oleh Fredrinn ke kastilnya, tentunya. "Kau ini bisa-bisanya tidak makan selama 3 hari! Walaupun kau sibuk, setidaknya bilang padaku, dong! Kan aku bisa mengantarkanmu makanan sesegera mungkin!" Ucap Miya, memarahi Xavier. Oh, ternyata Xavier hanya masuk angin. Xavier mengusap rambut birunya seraya berkedut, merasakan pedih di kepalanya setelah kakaknya memukulnya. "Aku tidak punya waktu untuk- Hentikan itu!" Jawaban Xavier terintrupsi oleh Miya yang menjewer telinganya. Xavier lagi-lagi dibuat meringis oleh kakak angkatnya itu, "Omong kosong! Kau sudah ku berikan ponsel, kan? Apa meluangkan waktu untuk dirimu sebentar saja kau tidak bisa?!" Miya lagi-lagi mengomel, kini Xavier tidak bisa menjawab pertanyaan yang kakaknya lontarkan itu. Ya, kakaknya benar, dia memang terlalu bekerja keras sampai lupa diri.

Sementara itu Fredrinn tidak mengatakan apa-apa. Terasa aneh baginya berada di kastil saingannya sendiri. Dan semuanya terasa berbeda ketika dia berhadapan dengan kedua kakak-beradik itu. Loh, loh, kemana Fredrinn yang serakah dan nakal? Sirna. Karena; dia menunggu saatnya berbicara, dia tidak tahu mau membicarakan apa, dia berada di kediaman saingannya, dia merasa tidak berhak mengganggu.

Bahkan Fredrinn si pemburu harta karun kikir sekalipun tidak lupa menjaga kehormatan, masa kau lupa? Eak.

"Tuan Vance," panggil sang kakak kepada sang putra mahkota Vance. Fredrinn menoleh, "Huh?" sahutnya, seraya sedikit menaikkan alisnya. Fredrinn mendapati Miya tengah menggenggam sebuah bingkisan untuknya, si surai biru kelabu menatapnya dengan rasa penasaran dan bingung, "Loh, apa maksudnya ini?" tanya Fredrinn, benar-benar tidak mengharapkan apapun dari keluarga Light Elf. Walaupun sebenarnya dalam hatinya dia mencium aroma hadiah imbalan setelah membantu Xavier.

"Ini hadiah kecil dari kami sebagai bentuk ucapan terimakasih atas bantuan anda, mohon diterima," ucap Miya, nyaris membuat Fredrinn tersenyum geer. "Nah, kan, jackpot," batin Fredrinn berucap. Fredrinn tersenyum, "Ah, padahal tidak usah," ucap Fredrinn, ironisnya, seraya mengambil hadiah yang disodorkan Miya. Miya menaikkan alisnya, menatap Fredrinn dengan tatapan menghakimi. Fredrinn tidak mengerti, jadi dia hanya mengangguk sambil memasukan hadiah kecil itu kedalam saku mantelnya. "Terimakasih, Nona Miya," ujar si surai kelabu, yang dibalas dengan anggukan kecil oleh Miya.

Manik amethyst milik Fredrinn kini menatap ke arah Xavier yang tengah duduk bersandar di atas kasur, menatapnya dengan dalam. Side profile dari pria setengah elf itu benar-benar sempurna, bahkan dari samping saja dia terlihat begitu indah. Namun melihatnya pucat begitu membuat hati Fredrinn bergetar, seakan sesuatu dalam dirinya berteriak untuk membantu Xavier, untuk menjadi orang yang selalu ada di sisi Xavier. Namun kemudian pikiran rasionalnya kembali menayangkan ingatan bahwa dia adalah putra mahkota Vance, yang dinobatkan bukan karena kemauannya sendiri. Dia mempunyai tanggungjawab yang besar, dan dia seharusnya merupakan saingan dari Xavier. Semakin Fredrinn pikirkan, pikirannya semakin melesat lebih jauh. Jika dia pikirkan lagi, Xavier merupakan pria pekerja keras. Dia sempurna, dan dia merupakan seorang pemimpin yang luar biasa. Dirinya hanya seorang pemburu harta karun hebat yang juga merupakan seorang pelindung dan tulang punggung keluarga Vance, bukan orang jenius yang bisa memimpin dan mengelola bisnis keluarga Vance. Disaat itu juga, Fredrinn melamun di hadapan Miya seraya menatap Xavier.

Miya mendapati Fredrinn termenung seraya menatap sang adik. Tak hanya itu, ia juga melihat sesuatu yang lain dibalik manik ungunya. Sesuatu yang merajalela, sesuatu yang rumit dan menyedihkan. Kemudian Miya menatap ke arah dimana mata Fredrinn terkunci; pada Xavier. Ia melihat Xavier yang bersandar dengan lemah di kasur, kini wajahnya berpaling dari Fredrinn dan dirinya. "Saya izin pamit, ada tugas yang belum diselesaikan," ujar Fredrinn tiba-tiba. Membuat Miya langsung tersentak dan menoleh ke arah Fredrinn yang sudah melangkah ke lawang pintu. "Ah— tunggu-" Miya berusaha menahan, namun Fredrinn terlanjur pergi.
.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Whatever It Takes - Fredrinn x Xavier MLBB Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang