Sunyi.
Pada malam itu, si surai biru duduk di atas meja pekerjaannya dengan berkas penting dan lembar kerja yang berserakan dimana-mana. Manik safirnya menatap jari-jemari lentiknya yang menjepit leher pena yang sedari tadi ia gunakan untuk menulis dan mengisi data. Entah itu berbentuk persetujuan, informasi, maupun visi misi, semuanya ia lakukan sendirian. Tidak heran, sebagai putra mahkota dari keluarga Light Elf, yang merupakan anak hasil kawin silang seorang pria manusia dan wanita light elf, telah menjadi satu-satunya putra termuda di garis keturunan elf, yang mana juga sudah cerdas sejak dini, dan dipercayakan oleh ibunya dan leluhurnya untuk mewarisi kekuatan dan takhta keluarga Light Elf.Tentu, sebagai satu-satunya putra mahkota, Xavier telah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja dan menyempurnakan segala persiapan untuk menjadi yang terbaik dan membuktikan bahwa dirinya sanggup memikul tanggung jawab berat tersebut.
Bagaimanapun, Xavier tetap makhluk hidup, dan dia bisa terluka, sekalipun dia seorang pria dengan genetik spesial. Termasuk merasa lelah."Ini tiada akhirnya," gerutunya, seraya menghela nafas berat. Ia menempatkan penanya di cangkir tintanya, kemudian ia bersandar di kursi kerjanya, yang bagusnya, empuk dan nyaman. "Orang-orang tua itu bisa-bisa membuat pinggangku remuk karena duduk disini berjam-jam," gerutunya lagi, kali ini seraya memijat dahinya, kesal.
Xavier kemudian merilekskan tubuhnya, berusaha untuk mengistirahatkan otaknya yang sudah benar-benar kepanasan itu.
.
.
.
Di lain sisi, si surai biru keabuan, Fredrinn, tidak duduk di kursi kerjanya. Melainkan duduk di seberang, seraya meminum segelas anggur di tangannya. Lho, lho, mengapa dia santai begitu? Tentunya, karena dia sengaja membayar seorang jenius untuk mengerjakan setiap pekerjaannya. Sekantung emas? Jelas. Hari-harinya sebagai seorang putra mahkota ia jalani dengan bosan. "Kau sudah selesai? Aku ingin pulang," tanya Fredrinn, terhadap orang yang ia pekerjakan itu. "Sedikit lagi, yang mulia," jawab si pekerja, membuat Fredrinn mengerang jengkel oleh rasa bosan yang menguasai pikirannya. Ia berjalan ke arah balkon, lantas ia berdiri disana, menikmati pemandangan indah malam hari dengan sang rembulan yang bersinar dengan begitu gemerlap di langit, bersama gemintang yang menghiasi keindahannya.
Melihat bulan, dan indahnya bintang, serta langit yang membentang dengan warna birunya yang indah membuatnya teringat akan warna rambut dari putra mahkota keluarga elf itu. Fredrinn, tanpa sadar, telah melamun, membayangkan paras rupa indahnya sosok pria setengah light elf yang begitu menawan dengan caranya sendiri. Untuk seorang putra mahkota, Fredrinn, bagaimanapun, masih tidak mengerti mengapa dirinya begitu terpana dengan keindahan yang dimiliki oleh pria biru-sarkas itu. Sedangkan, saudara-saudaranya begitu kompetitif terhadap keluarga Light Elf. Menyadari dirinya telah membayangkan sosok yang seharusnya ia saingi, Fredrinn menepuk jidatnya. Batinnya menggeram,"Dia ini... Sihir macam apa yang dia gunakan sampai membuatku seperti ini?"
..
.
"Aku sudah menyelesaikan sebagian besar. Sisanya akan aku kerjakan nanti pagi," tutur Xavier, seraya mengenakan jubahnya. Kakaknya (bukan kandung, namun satu marga), Miya, menatap tegas adiknya itu. Tangan lembutnya berkacak di pinggang rampingnya, "Karena aku yakin kau bukan seorang pembohong, kau ku izinkan untuk keluar sekali ini saja, Xavier. Tetapi tugasmu tetaplah tuga-"
"Aku tahu," Xavier menyela omelan kakaknya itu, seraya menatapnya dengan dingin. Miya sedikit berkedut jengkel, adiknya memang selalu seperti itu. Tapi apa boleh buat, pada akhirnya, ia menghela nafas, dan hanya berdiri disana seraya mengawasi adiknya yang berjalan keluar dari kastil elf.
.
.
.
Kala si surai biru tengah berjalan seraya menikmati udara malam yang segar yang merambat ke dalam hidungnya yang tajam dan sempurna, matanya menatap ke arah beberapa kuncup bunga yang berdiri dengan indah di taman umum pada kota itu. Yang mana, tempatnya tak jauh dari wilayah kastil keluarga Vance. Sejauh ini, Xavier sama sekali tidak peduli. Dan dia tahu siapapun orang-orang Vance yang menatapnya dengan sinis akan mendapatkan apa yang mereka dapatkan karena telah bersikap tidak sopan kepadanya. Tangannya meraih satu kuncup bunga mawar biru yang mekar di taman itu, mencabutnya dan menghirup aromanya.
Xavier memejamkan matanya, dirinya memiliki kulit yang putih, yang mana membuat kantung mata yang menghiasi manik safirnya itu nampak jelas-mengkhawatirkan. Pada malam itu, pakaiannya hanya berupa kemeja tuksedo rompi biru dengan motif bunga dan sebuah pin yang menempel di dada kiri pakaiannya, sebuah pin berlambang bintang bersinar yang terbuat dari emas dan permata biru. Ia menatap lesu kelopak mawar biru di hadapannya itu, "Kau indah, kau sempurna. Bisakah aku menjadi sepertimu suatu saat nanti, wahai mawar biru?" pikir Xavier, merenungkan beban yang selama ini ia pikul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whatever It Takes - Fredrinn x Xavier MLBB
RomanceHalo. Saya Aiden, penulis baru disini. Cerita ini dibuat karena bosan, jadi kalau lama lanjutnya, jangan heran. . . Dunia dimana mereka berdua terlahir sebagai dua putra mahkota dari dua keluarga yang merupakan musuh bebuyutan. Enemies To Lovers...