Narendra
Sudah lama rasanya gue nggak menginjakan kaki di bandara Soekarno Hatta ini. Terakhir kayaknya lima atau enam tahun yang lalu. Sebelum Covid menyerang bumi. Dan sialannya saat pemerintah menerapkan PSBB, gue terjebak di negara orang dan berakhir nggak bisa pulang ke Indonesia. Akhirnya, sekarang gue bisa kembali pulang di negara yang tercinta ini.
Gue menghirup udara banyak-banyak.
Jakarta masi sama. Gue penasaran, apakah orang-orangnya juga masih sama?
Gue mendarat dengan selamat pukul 06.30 pagi. Ini adalah rencana gue pulang diam-diam tanpa ngabarin orang rumah kecuali adek gue, Naya. Gue tahu nyokap selalu menanyakan kapan gue akan ke Indonesia setelah gue menyelesaikan S2 tahun lalu. Dan jawaban gue tetap sama. Nggak tahu.
Sebenarnya gue sudah ada kerjaan di Jepang walaupun bukan pekerjaan tetap. Namun gue memutuskan untuk resign setelah satu tahun lebih. merasa bekal ilmu gue sudah cukup untuk pulang ke Indonesia. Dan tibalah hari ini. Gue sengaja menghubungi Naya buat jemput gue di bandara sepagi ini.
Walau sambil marah-marah, adek gue itu tetap datang dengan wajahnya yang kusut. Gue terkekeh pelan melihatnya. Sudah lama sekali gue nggak melihat adek gue ini. Kangen juga ternyata.
"Peluk dulu dong, emang nggak kangen?" Gue melebarkan tangan.
Naya nyengir lebar dan lari ke pelukan gue. Astaga. Sudah lama rasanya.
"Kamu bawa yang Abang suruh kan?" Setelah adegan peluk-pelukan yang menurut Naya seperti adegan film—bahkan ada sepasang lansia yang terheran-heran melihat tingkah kita barusan— kami pun berjalan ke arah parkiran mobil.
"Susah tahu nyetirnya, Bang. Aku nggak biasa bawa mobil kayak gitu. Biasanya bawa matic. Tahun lalu hampir di jual sama Ayah tahu, untung aja nggak di boleh sama Ibu. Udah ada yang nawarin."
Naya memberi tahu tentang kondisi mobil gue yang hampir di jual bokap.
"Oh, ya? Siapa?"
"Om Deni. Katanya dia naksir udah lama."
"Om Deni yang rumahnya seberang rumah kita, kan?" Gue memastikan. Karena ada banyak nama om Deni di komplek perumahan tempat gue tinggal. Pasaran banget emang namanya.
"Iya yang Papa nya Nadin. Suaminya Tante Rini itu loh, Bang." Naya terlihat geregetan saat menjelaskan.
Gue hanya mengangguk saja. Syukurlah mobil kesayangan gue nggak jadi di jual sama bokap.
Kenalin sedan silver kesayangan gue. Kangen banget rasanya. Ngomong-ngomong dia punya nama loh.
Namanya Nearby. Cakep kan?
Segera saja gue menyetir dengan suasana hati yang senang. Gila aja, gue udah lebih dari lima tahun nggak bawa kesayangan gue ini.
"Kamu nggak kasih tahu orang rumah, Kan?" Gue memastikan sekali lagi sama Naya. Adik gue yang berumur dua puluh tujuh tahun. Kita berdua hanya terpaut usia dua tahun. Namun sedari kecil nyokap mengajarkan untuk saling menghormati. Memanggil gue dengan sebutan "Abang". Nyokap sama bokap sama sama orang sunda. Mereka dulu hanya tetanggaan juga di Sukabumi. Dan berujung menikah dan menetap di Jakarta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nearby Relations
RomanceNadin, 23, tahun, menikmati usia mudanya dengan menjalankan usaha kecil-kecilan setelah lulus kuliah tahun lalu. Hidupnya sempurna dengan keluarga yang hangat, sahabat-sahabat yang menyenangkan, dan pacar yang perhatian, David. Satu-satunya kekurang...