Sebelum baca sebaiknya vote dulu, ya. Nggak susah dan nggak bayar kok, kalian tinggal klik bontang yang ada di sebelah fitur komentar. Terima kasih.
—oOo—
—oOo—
Setelah seharian membersihkan bilik kamar mandi dan memotongi rumput di taman, Aruna merasa kelelahan yang luar biasa. Dalam hati, ia tidak habis pikir dengan aturan pondok yang memberikan hukuman seberat ini hanya karena ia tidak mengikuti kajian. Menghela napas, ia melangkah menuju gedung asrama putri dan menaiki tangga hingga ke lantai atas.
"Aaaahhh!!" teriak Aruna dengan frustasi di atas gedung asrama putri, membiarkan suaranya menyebar ke angkasa.
Ia kemudian duduk dengan punggung bersandar pada dinding dan kaki ditekuk, setelahnya ia memeluk lututnya. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, menunjukkan betapa sedih perasaannya.
"Nek, kenapa Nenek tega banget sama Aruna? Aruna nggak betah, Nek," ucap Aruna dengan suara yang penuh kesedihan.
Satu bulur air mata jatuh dari matanya, menggambarkan betapa beratnya beban yang harus ia hadapi di pondok. Aruna merasa semakin terpuruk dalam kesedihannya, di saat ia kecewa dengan kedua orang tuanya sekarang neneknya pun malah menyuruhnya untuk tinggal di pondok. Ia seakan tidak memiliki siapapun saat ini.
Aruna menegakkan tubuhnya dan dengan kasar menghapus air mata yang keluar dari matanya. "Gue nggak boleh gini. Gue harus lakuin sesuatu biar gue bisa keluar dari sini. Gue nggak mau terkurung di sini terus!" tekadnya, "tapi gue harus apa, ya?" tanya Aruna pada dirinya sendiri.
Ting!
Tiba-tiba sebuah lampu pijar muncul di atas kepala Aruna saat Aruna melihat ke arah halaman belakang asrama. Setelah itu, Aruna tersenyum miring. "Gue tau harus apa sekarang."
—oOo—
Aruna melihat ke sekeliling kamarnya, memastikan tidak ada orang. Ia tidak ingin ada teman satu kamarnya yang melihatnya tidak ikut shalat ashar. Jika itu terjadi yang ada nanti ia akan mendapat hukuman lagi, dan Aruna tidak mau itu.
Setelah itu, Aruna masuk ke dalam kamar secara perlahan. Ia duduk di atas tempat tidurnya sejenak sebelum mengambil dompet. Ia mengembuskan napas pelan, dan meyakinkan diri jika memang ia harus melakukan itu. "Kamu pasti bisa, Aruna. Ini jauh lebih mudah dari rumah. Setelah ini kamu bisa langsung telepon Adi untuk jemput kamu," ucap Aruna di dalam hati.
Aruna bangkit dan langsung menjalankan aksinya. Namun, sebelum itu Aruna harus memastikan jika tidak ada orang di halaman belakang. Yakin tidak ada orang di sana, Aruna melangkahkan kakinya dengan hati-hati menuju pohon mangga yang menjulang tinggi di belakang pondok. Dedaunan pohon yang lebat menjadi tempat yang sempurna untuk menyembunyikan diri dan merencanakan pelariannya dari pondok tersebut. "Seandainya saja gue punya ide ini dari kemarin, mungkin gue ndak perlu ngerasain hukuman yang mengerikan itu," keluh Aruna dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Married
Romance"Yang benar saja, Bi. Masa Shaka harus menikah dengan gadis seperti, Aruna. Shaka ini menginginkan pasangan yang bisa menjadi rumah untuk Shaka dan majelis untuk anak-anak Shaka, nggak mungkin gadis seperti Aruna bisa seperti itu, Bi." "Apa yang sal...