"Yang benar saja, Bi. Masa Shaka harus menikah dengan gadis seperti, Aruna. Shaka ini menginginkan pasangan yang bisa menjadi rumah untuk Shaka dan majelis untuk anak-anak Shaka, nggak mungkin gadis seperti Aruna bisa seperti itu, Bi."
"Apa yang sal...
Sebelum baca sebaiknya vote dulu, ya. Nggak susah dan nggak bayar kok, kalian tinggal klik bintang yang ada di sebelah fitur komentar. Terima kasih.
—oOo—
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
—oOo—
"Kamu kok bisa jatuh si Nduk-nduk," ucap Umi Laila yang tengah dengan telaten membersihkan lebam di lututnya. Keliatan tidak sopan memang, saat istri dari pemilik pondok mengobati kakinya yang lebam. Namun, mau bagaimana lagi, Aruna sudah meminta Umi Laila untuk tidak mengobatinya, tetapi Umi Laila masih tetap memaksa untuk mengobati luka lebamnya.
"Iya, Umi. Tadi ndak sengaja kepeleset," jawab Aruna meringis saat merasakan kapas yang sudah dibalur alkohol tengah menyentuh luka di lututnya.
"Memangnya benar kata Shaka kalau kamu tadi mau kabur?" tanya Umi Laila.
Aruna segera menggeleng. "Ndak, Umi. Saya hanya ingin ngambil mangga yang udah matang aja. Tadi ndak sengaja priksa asem kuning, Umi, jadi Aruna pengen," jawab Aruna dengan lancar sambil menyilangkan jari telunjuk dengan jari tengahnya.
"Ya ampun, Nduk-nduk. Kalau kamu pengen asem, kamu ke sini aja. Di sini uakeh, ndak usah manjat-manjat segala koyo ngono kui loh."
Aruna meringis menunjukkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Ya saya ndak enak sama orang ndalem, Umi. Terutama yo sama ...." ucapan Aruna terhenti saat tanpa sengaja melihat orang yang ia maksud.
Umi Laila mengikuti arah pandang Aruna, lalu tersenyum. "Sama siapa, Nduk?" tanya Umi Laila yang langsung membuat Aruna kembali menatap Umi Laila sekilas dan menunduk.
"Umi pasti tau," jawab Aruna.
Senyum Umi Laila semakin mengembang. "Kamu ndak usah ndak enak gitu, Nduk. Kamu ini sudah Umi anggap sebagai putri Umi, sama seperti Aisyah dan Arshaka. Jadi jangan ndak enak koyo ngono, nggih."
Aruna mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Sebenarnya ia tidak berbuat membohongi Umi Laila. Namun, ia tidak ingin sampai dihukum kembali gara-gara perbuatannya tadi.
Sementara Arshaka yang melihat hal itu mencebikkan bibirnya. Ia tidak habis pikir dengan gadis yang bersama umi-nya itu. Sungguh gadis itu pandai sekali berbohong, tetapi yang Arshaka tidak bisa pikir adalah kenapa Umi percaya begitu saja dengan Aruna. Padahal sudah jelas jika Aruna tadi mencoba untuk kabur dari sana. Bahkan tadi sebelum umi-nya mengobati lutut Aruna, ia sudah memberikan rekaman CCTV di mana saat Aruna akan kabur.
"Alhamdulillah sudah selesai. Gimana, apa masih sakit?" tanya Umi Laila lembut.
"Sudah baikan, Umi. Terima kasih," ucap Aruna tulus. Ia sangat senang karena ada orang yang perhatian kepadanya. Seumur-umur ia baru pernah mendapat perhatian seperti ini dari orang lain selain dari Nenek Rima.
"Tetap saja, Umi. Saya harus berterima kasih pada Umi. Ini pertama kalinya ada orang perhatian sama saya," ungkapnya dengan sorot mata berubah berembun.