Semboyan: II

0 0 0
                                    

Helena segera berlari masuk ke stasiun sesaat setelah memberikan ongkos kepada tukang ojek yang barusan mengantarnya. Tidak banyak waktu yang tersedia. Ia pun merutuki Salsa yang baru mengabarinya info penting itu, siang ini. Hanya beberapa jam sebelum Mega mengemudikan kereta tujuan Banyuwangi itu. Dan lagi, ini adalah perjalanan terakhir Mega sebelum ia pindah tugas ke Surabaya.

Helena tidak membeli tiket kereta yang akan berangkat sore itu. Tidak ada rencana, dan tidak terpikirkan untuk membeli tiket. Tiba di meja check in, sudah banyak penumpang yang memindai tiket mereka. Helena berjalan melewati meja itu, terus masuk mencari lokomotif kereta yang telah parkir di jalurnya.

"Mbak, maaf. Sudah scan tiketnya?" seorang petugas stasiun menepuk bahu Helena.

Helena menoleh. "Maaf Mas. Saya buru-buru mau ketemu Mas Mega. Penting."

"Mega masinis?" petugas tadi terus menginterogasi Helena, tanpa peduli betapa diburunya Helena oleh waktu.

Helena tidak menjawab pertanyaan itu. Ia terus berjalan menuju lokomotif, berharap Mega ada disitu. Benar saja, Mega hendak naik ke lokomotif.

"Mega!!" panggil Helena setengah berlari.

Mega yang baru saja akan memanjat lokomotif, segera mengurungkan niatnya. Ia berdiri menanti Helena, dan tampak sendu wajahnya. Helena semakin mempercepat langkahnya. Ia paham, kereta api tak akan pernah bisa terlambat.

"Aku, aku terima lamaran kamu," Helena spontan mengatakannya di tengah-tengah nafasnya yang ngos-ngosan.

Badannya gemetaran hebat, jantungnya berdegup sangat kencang. Sementara itu, Mega masih tercenung di hadapan Helena. Ditatapnya wajah gadis yang tampak lelah dan tegang itu. Apakah benar ucapannya? Mimpikah ia?

Mega tak punya banyak waktu. Petugas Pengawas Kereta Api atau PPKA sudah keluar dari ruangannya, membawa sebilah tongkat yang tampak seperti pukulan nyamuk. Sang kondektur juga sudah bersiap dengan peluitnya.

"Jangan, kamu jangan berhenti jadi masinis. Aku cinta sama kamu," ujar Helena.

Mega tersenyum. Diraihnya tangan Helena. Mega meraba salah satu saku celananya, dan menemukan sebuah kotak cincin disitu. Disematkannya sebuah cincin emas putih. Sesaat kemudian, terdengar suara semboyan yang dibunyikan PPKA.

"Makasih ya, aku berangkat dulu," Mega mencium tangan Helena sebelum naik ke lokomotif.

Pok, pok, pok, pok, pok....!!!

Helena makin bingung, sebab tiba-tiba ia mendengar suara ayam berkokok. Lebih bingung lagi, ternyata ia sedang terbaring di tempat tidur, menghadap ke arah jendela kamar yang belum ditutup. Angin sepoi-sepoi membuat tirai motif bunga itu bergerak santai. Helena baru sadar, ia tertidur sejak semalam. Bahkan ia belum ganti baju. Belum juga membereskan isi tasnya.

Helena bangun, lalu duduk di tepi tempat tidur. Diraihnya ponsel yang tergeletak di meja, masih pukul tiga dini hari. Helena kembali merebahkan diri, memikirkan mimpinya barusan.

Kenapa bisa mimpi Mega? Mimpi yang terlalu jelas, seakan Helena benar-benar mengalaminya. Mungkin hanya karena ia bertemu dengan Mega dalam situasi yang istimewa. Otak Helena merekam informasi tentang Mega dengan baik. Hingga kemudian dimanifestasikan dalam bentuk mimpi.

Eh, tapi, bagaimana kalau mimpi itu punya arti? Bagaimana jika nanti jodohnya adalah... ah, bukan. Tidak mungkin.

-o0o-

"Makan dimana nih enaknya?" Florence meraih helmnya, lalu bersiap menstarter motor matic merah itu.

Helena segera duduk di boncengan. "Kamu pingin makan apa?"

"Apa ya?" Florence agak bingung. "Lalapan gimana? Eh, tapi dimana?"

Helena berpikir sejenak, seraya motor melaju keluar halaman kampus. Banyak opsi warung lalapan di sekeliling kampus. Namun, jujur saja, tidak ada yang istimewa. Florence akhirnya menawarkan warung lalapan di dekat stasiun. Gadis berjilbab itu menjanjikan rasa sambal yang benar-benar otentik.

Motor melaju dengan kecepatan sedang, mengarah ke stasiun. Oh, warung yang ada tepat di depan lobi stasiun. Helena turun dari motornya dengan perlahan. Kakinya masih belum bisa berjalan dengan normal. Hanya saja, sudah tidak terlalu terasa nyerinya. Untung saja jadwal pemotretan hari ini, masih diundur lusa. Ada waktu bagi Helena untuk menyembuhkan kakinya.

Florence bergegas masuk ke area warung. Helena mengekor di belakang. Namun, tiba-tiba saja ekor mata Helena menangkap sebuah objek yang tidak asing. Ada pedagang tahu penyet pedas yang mangkal di sebelah warung. Beberapa orang tengah mengantri untuk membeli. Salah satu dari orang itu, sangat kontras dengan kemeja putih, celana biru dongker, dan epaulettes di masing-masing bahu. Mega? Melahap sebungkus tahu penyet sambil ngobrol dengan si pedagang.

"Lena! Woi, Lena!" Florence memanggil Helena. Agaknya ia heran, kenapa teman seangkatannya itu mendadak menatap ke satu arah.

Dihampirinya Helena. Florence turut menoleh ke arah pandang Helena. Pegawai stasiun? Makan tahu penyet? Apanya yang istimewa?

"Helena!" panggil Florence lagi. "Mau pesen apaan?"

"Eh, anu..." Helena agak gelagapan. "Apa ya? Pakai ayam goreng aja deh. Sama terong,"

Belum sempat Florence mengiyakan pesanan Helena, Mega mendadak menoleh ke arah Helena. Sambil mengunyah dan menggengam tusuk sate dengan tahu di ujungnya, Mega mengangkat alisnya. Mulutnya masih penuh dengan tahu untuk menyapa Helena.

Kini Florence tahu, bahwa Helena ternyata mengenal salah satu dari pembeli tahu penyet itu. Orang itu adalah laki-laki dengan seragam petugas stasiun. Eh, sepertinya bukan sekedar petugas. Orang itu, sepertinya... oh, masinis?

"Mbak Helena, mau kemana?" Mega menyapa Helena, seiring makin dekatnya jarak mereka.

"Ini, mau makan di warung sini aja, Mas. Lho, Mas Mega on duty?" tanya Helena.

Mega mengangguk. "Mendadak, Mbak. Harusnya saya masih libur sampai besok. Tapi teman saya sakit, jadi saya berangkat sekarang."

"Pandanwangi ya, berarti?" tanya Helena lagi.

Mega mengangguk. "Jual es nggak ya, disini?" kini Mega celingak celinguk ke dalam warung lalapan.

Helena jadi semakin heran. Ada ya, masinis kayak gini? Asyik banget jajan di luar stasiun, jadi berasa anak sekolahan. Namun Helena memastikan bahwa warung ini juga menjual minuman yang diberi es batu. Mega masuk ke warung, dan keluar lagi dengan membawa es jeruk yang dibungkus plastik.

Setelah pamit kepada Helena, Mega segera berlalu masuk ke stasiun. Helena sendiri duduk di sebuah kursi panjang bersama Florence. Ia memerhatikan arah jalan Mega, hingga masinis itu hilang dari pandangan. Benar-benar pertemuan yang singkat, dan banyak hal diluar dugaan Helena. Mega itu, siapa sih?

"Kenal sama yang tadi?" tanya Florence.

"Dia yang bantuin aku pas jatuh di stasiun kemarin," jawab Helena.

"Ganteng ya, hehehe," seloroh Florence. Ia agak geli, karena gestur antara Helena dan Mega tadi menunjukkan bahwa mereka akrab sekali.

Helena diam saja. Sesaat kemudian, dua piring lalapan ayam tersaji di hadapan mereka. Nasinya masih mengepul, dan masih ada sisa sedikit minyak bekas menggoreng di permukaan ayam. Benar-benar baru saja dimasak.

"Kabarnya si Furqon gimana ya?" tanya Florence lagi. "Katanya dia masinis juga,"

Furqon? Helena lupa, siapa nama itu. Lalu, darimana Florence bisa mengingatnya? Ah, dia! Furqon, kakak kelas Helena sewaktu SMA, yang sukses menjadi masinis saat teman-teman lainnya masih hidup simpang siur. Tidak ada hal yang istimewa antara Helena dan Furqon. Mereka hanya kebetulan bertemu karena aktif di kegiatan ekstrakurikuler yang sama. Eh iya. Sekarang Furqon dimana ya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Semboyan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang