Bab 1 : Kok dibongkar sih Bani?!

81 12 3
                                    

Bab 1
(Se,)

Jauh dari apa yang ku bayangkan, hari ini Bu Hanin datang menemuiku. Semalam beliau mengatakan bahwa ibuku, Laila, adalah temannya semasa sekolah. Aku mengerti maksud dari pertemuan ini, ia akan membawa anaknya—Serbani, untuk dikenalkan kepadaku dengan tujuan untuk menjalin hubungan yang lebih baik. Kamu mengerti maksudku kan? Sebuah hubungan … Spesial ala ala perjodohan keluarga.

Dari arah jam 2 aku melihat wanita dengan pakaian kasual yang aku pikir berusia menginjak 40an akan hang out dan menunggu teman-temannya. Tidak, wanita itu bahkan berusia lebih tua dari ibuku. Wajahnya tidak menunjukkan ‘tua’ usia 55 tahun yang aku pikirkan. Walau sudah lama tidak bertemu, wanita setengah baya itu tetap terlihat seperti pertama kali aku melihatnya di acara graduation 5 tahun yang lalu. Ia seperti seorang guru awet muda tidak lekang oleh waktu.

 Ia seperti seorang guru awet muda tidak lekang oleh waktu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

https://pin.it/6aeFUr050

“Mas, reservasi atas nama Bu Hanindya ya.” Aku berujar kala sampai depan kasir. Seorang laki-laki berujar sembari menuntunku untuk ke lokasi duduk yang comfy dan semi privat dengan dinding kaca menghadapnya. Dikelilingi tanaman segar dan kolam ikan kecil di sudut ruang. Tempat yang cocok untuk pertemuan keluarga inti. I mean, bukan untukku pastinya.

“Selamat pagi bu,” Aku mengulas senyum sembari menunduk untuk meraih tangannya—salam, ketika tubuh mungil itu terbangun dari duduknya yang anggun. Bu Hanin mengulas senyum sangat cantik lalu menghamburkan tubuhnya padaku untuk memeluk. Aku sedikit terperanjat terkejut atas perlakuan ini. Maksudku ini adalah pertemuan pertama dari sekian pertemuan yang sudah lama tidak terjadi. Bagaimanapun aku tidak mengenalnya sama sekali. Hanya bertemu lalu mendengarkan pembicaraan yang tidak aku amati beberapa tahun ke belakang.

“Manis sekali seperti ibunya ya …” Bu Hanin menjabat tanganku lalu meraihnya mendekat untuk duduk. Wajahnya menunjukkan keanggunan dan kesopanan seperti ibu di rumah. Dari mataku Bu Hanin adalah sosok ibu yang hangat dan dekat dengan anak. Seorang nyonya Syailandra yang dihormati.

Sekilas aku dengar pembicaraan serius antara ibu dengan bapak tentang anak keduanya, aku. Saat aku pulang tiga bulan lalu untuk menghadapi hari raya bersama keluarga. Ketika malam takbiran, aku sedang bergelut di dapur memasak bersama Mbak Widya, istri A Riri kakakku yang berpindah ke Yogyakarta tempat kelahiran Mbak Widy. Pernikahan manis juga adem ayem mereka membuatku terharu dan berharap hubungan pernikahan awet mereka agar kelak menimpaku bersama suamiku nanti.

Walau pada kenyataannya aku tidak ingin menikah muda. Tidak ingin dan tidak mau sama sekali. Aku tidak ingin mengikuti jejak seperti ibu bapak dan Kak Riri.

“Gimana kabar ibu?” Berusaha menyesuaikan diri di situasi canggung ini adalah hal yang tidak aku suka. Termasuk hal yang aku benci namun selalu aku lakukan setiap hari. Ayolah Sye, bukankah hal ini hal biasa untukmu? No … Kalau sekarang sih beda!

Se,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang