003

166 18 3
                                    

Arumi menatap pantulan dirinya dengan pandangan puas. SempurnaSatu kata itu selalu mampu menggambarkan keadaan dirinya. Semua orang pasti setuju jika Sempurna lah selalu menggambarkan keadaannya.

Dia cantik, kulitnya putih bersih, mulus, tanpa cela sedikit pun. Tubuhnya tinggi, dengan lekuk tubuh sempurna, jangan lupakan beberapa tempat dibagian tubuhnya yang menonjol. Menambah daftar Sempurna untuk ukuran seorang wanita.

Pendidikannya pun tidak kalah, dia adalah lulusan terbaik di salah satu universitas jakarta. Dengan nilai indeks prestasi kumulatif atau sering di sebut ipk empat. Dia lulus dengan predikat Summer cumplaude.

Bukankah itu sempurna? Dia memiliki otak yang cerdas. Juga tubuh yang sempurna. Tidak akan ada laki-laki yang tidak menoleh dua kali jika berhadapan dengannya.

Senyumnya yang manis tapi mematikan, dapat menghipnosis banyak orang yang memandangnya. Adalah salah satu dari sekian hal yang tidak diragukan lagi yang bisa ia lakukan.

Arumi keluar dari kamar mandinya, melangkah ke arah ranjang, meraih tas tangannya yang ia letakkan di sana.

Dia memiliki jadwal jam pagi kali ini, jadi jika tidak ingin terjebak macet. Dia harus tiba di rumah sakit sebelum kemacetan akan menahannya di jalan-yang bisa saja membuatnya mati kebosanan.

Arumi membuka pintu apartemennya, tubuhnya terdiam begitu pandangannya menemukan ada siapa di sana. Berdiri dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Kedua matanya memicing. Memandang seseorang itu dengan tatapan malas.

"Hai, Be? Sudah mau berangkat?"

Arumi memutar bola matanya malas mendengar sapaan itu. Jelas, pria itu pasti tahu jam berangkatnya karna semalam dia sudah mengatakan jika dia memiliki jam pagi hari ini.

"Aku boleh nebeng, kan?"

"Apa kamu nggak punya pekerjaan lain selain datang ke apartemanku pagi-pagi cuman dengan alasan nebeng?!" Kesal Arumi. Jarak rumah pria itu dengan apartemennya bahkan lebih jauh ketimbang jarak rumah pria itu ke bandara.

Yeah, pria itu kuliah di Singapura. Tapi, dia sudah menganggap bahkan negara itu seperti jakarta-bandung. Yang bisa dengan mudah dia sebrangi.

"Apa itu artinya aku harus pindah ke sini juga biar bisa berangkat sama kamu?"

Pria itu jelas tidak mendengar penolakannya.

"Gimana? Mau jadi pacark-"

"Nggak!"

Rayan meringis mendengar penolakan itu. Lagi. Dia harus mendengar penolakan itu untuk kesekian kalinya keluar dari mulut wanita di depannya ini.

"Mi, kamu nggak capek, ya? Nolak aku terus-terusan?"

Arumi mendesis, melipat kedua tangannya di dada. "Kamu sendiri gimana? Nggak capek ngejer-ngejer aku dari dulu?!"

Rayan menggeleng tegas. "Mana mungkin aku capek, Mi. Kamu tahu, kan, dari dulu aku suka banget sama kamu?"

Cih, manis sekali mulut pria di depannya ini!

Jika bukan karna Arumi lebih tua dari pria di depannya ini, atau jika dia masih ABG, mungkin Arumi akan termakan dengan semua ucapan manis pria itu-yang seperti madu.

Arumi maju, mendorong pundak itu agar melangkah menjauh.

"Jadi...?" Arumi mengabaikan ucapan itu.

"Aku boleh nebeng, kan?"

Arumi melangkah menjauh, diikuti Rayan di belakangnya.

"Be?"

Langkah Arumi terhenti, membuat langkah Rayan pun ikut terhenti. Dia tersenyum saat Arumi berbalik dan menatapnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bukan Sang CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang