Sekali lagi William mematut dirinya di depan cermin. Ia memastikan rambutnya rapi, wajahnya bersih, sepatu nya mengkilap. Kata Bibi Rosie, yang paling penting adalah kerapihan seragam. Dengan begitu William bisa saja langsung ditandai guru sebagai murid paling berseragam lengkap. Disebut lengkap karena sekolah itu mengharuskan murid-muridnya mengenakan rompi dan dasi.
“Sudah lengkap semua? Tak ada yang ketinggalan?”
“Tidak ada, Bibi. Tadi kan aku sudah bilang semuanya lengkap.” Sebenarnya Rosie sudah bertanya tiga kali sebelumnya soal itu, jadi William membalasnya dengan nada mulai malas.
“Bibi cuma ingin memastikan kamu saja, Willy,” Rosie merapikan rompi sambil tersenyum bangga melihat keponakannya yang tampak seperti murid teladan, “ayo kita berangkat sekarang.”
Bibi Rosie mengenakan jaket kulit coklat nya. Ia men starter motor dan menimbulkan bunyi yang gagah. Penampilannya sudah seperti pembalap motor yang ingin mengantarkan anaknya sekolah.
Sementara itu, William tercengang mendengar deru knalpot yang cukup keras.
William mencoba duduk di jok motor yang agak sedikit lebih tinggi di belakang dengan hati-hati. Ini pertama kalinya ia menaiki motor seperti itu. Ia menyeimbangkan badannya agar tidak terpental saat Bibi Rosie tancap gas.
“Kita berangkat!” Deru angin langsung menyambar wajah William. Rambut yang tadinya rapi langsung berubah seperti diterpa topan.
Bibi Rosie semangat sekali mengantar William sekolah. Kini mengantarnya dengan naik motor menjadi kebiasaan barunya. Rasanya seperti ia mengantar anaknya sendiri masuk TK, padahal keponakannya ini sudah masuk SMA. Sementara, William di belakang menikmati pemandangan sekitar. Banyak orang mulai sibuk dengan rutinitas paginya. Kebanyakan mereka bersiap untuk berangkat kerja. Ada satu-dua yang berlari pagi. William kagum dalam hati karena ia pasti lebih memilih kembali meringkuk di dalam selimut jika di sepagi ini adalah hari libur.
Bibi Rosie keluar komplek perumahan. William semakin penasaran dengan sekolah barunya. Tak lama kemudian, mereka sampai. Bibi Rosie menyita perhatian beberapa pasang mata di tempat turun antar jemput sekolah. Mereka memandang sosok wanita kekar itu dengan heran sekaligus terkesima.
“Bibi berharap yang terbaik untukmu hari ini, Willy,” pesan Bibi rosie seraya merapikan rambut William yang keriting akibat angin.
“Terima kasih, Bibi Rosie,” balas William dengan senyum, “oh ya, nanti pulangnya aku jalan kaki saja sendiri, Bibi,” tambah William.
“Yakin kamu bisa menyebrang sendiri?”
William mengangguk mantap. Bibi Rosie pun pergi. Setelah tantenya dilihat banyak orang, kini gantian William yang jadi pusat perhatian. Beberapa murid perempuan berbisik sambil tertawa melihat William. Ia bingung dengan tatapan itu. William berusaha tak memedulikannya sambil terus berjalan menuju papan pengumuman.
Jari telunjuknya berselancar di atas kertas daftar anak-anak di kelas. Saat ia menemukan namanya jarinya terhenti. Sudah terdapat informasi pula dimana ruang kelas itu berada, jadi William tidak perlu bertanya kepada orang lain. Saat ia hendak naik ke lantai tiga menuju kelasnya, ia masih ditemani dengan banyak tatapan orang.
“Itu siapa?”
“Anak baru? Serius?”
“Duh, mukanya aneh, lucu tapi tidak juga.”
“Tapi tingginya lumayan. Mungkin aku cocok berdiri di sampingnya.”
“Astaga, sepertinya ada yang salah dengan seleramu. Bahkan tokoh tak nyata di novel favoritku lebih boyfriend-material daripada dia.”
KAMU SEDANG MEMBACA
William's Black Candle (ON GOING)
Teen FictionKonon, ada sebuah Lilin Hitam yang bisa membantumu balas dendam. Lilin itu datang bersama dengan Malaikat Hitam yang akan menjadi pelindungmu. Ia bisa kau suruh apa saja untuk melancarkan rencana balas dendam mu. Hebat bukan? Tapi siapa sangka lilin...