how lucky

989 99 5
                                    

🥞🥞🥞

"Garisnya cuma satu ya, Mas?" Jungwon menunduk sedih, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menggigit bibir sampai dirasa anyir mengarungi inci mulut.

Langit semakin menjingga, dengan udara hangat mangusap kulit, menandakan bahwa terang akan segera usai. Sapuan lembut membelai wajah si manis sebelum raganya saling mendekap erat. Ia tumpahkan seluruh bebannya pada dada bidang sang suami yang kelihatan jauh lebih tegar.

"Hei, enggak apa-apa. Kita masih punya banyak waktu." Jay berulang kali menenangkan.

Jungwon mendongak dengan raut wajah sembab. "Kalo ternyata enggak bisa, gimana?" Tangannya tak bisa diam meremat lengan Jay.

"Omongannya jangan begitu. Kamu masih muda, sepuluh tahun ke depan pun kita masih bisa."

"Kamu yakin aku bisa?"

Anggukan Jay beri tanpa keraguan. Ia semakin mempererat dekapannya. "Bisa. Kita udah lewatin banyak hal untuk sampai di sini. Mas yakin sebentar lagi kita berhasil."

Bahu Jungwon bergetar dan suaranya sering terjeda karena cegukan. "Kenapa kita gagal terus ya, Mas.. aku sehat, kamu sehat. Kata dokter juga aku bisa hamil, tapi kenapa sampai sekarang kita belum berhasil?"

Jay belum mau menjawab. Ia yakin masih banyak yang ingin dikatakan Jungwon sebagai pelampiasan rasa kecewa.

Cegukannya reda, tapi Jungwon tetap kesulitan bernapas dengan benar. Ia gesekkan wajahnya pada kaus yang dikenakan Jay tanpa rasa bersalah hingga kaus itu menjiplak cetakan air mata dan hingusnya. "Kemarin aku kumpul sama temen-temen.. kamu kenal Yunjin? Tahun kemarin dia undang kita ke nikahannya, dan tebak! Sekarang dia udah momong bayi kembar. Aku tuh beneran marah pas dia tanya-tanya kapan kita nyusul. Dia kira aku sama kamu enggak usaha kali ya?"

Matanya redup. Jungwon menjauhkan wajah demi menatap netra Jay yang tenang dan damai. Ia gerakan jemarinya memainkan ujung rambut si suami sebelum melanjutkan ucapannya, "sebenernya aku sedih sekaligus iri banget sama Yunjin. Sedih karena aku belum bisa hamil, dan iri karena dia enggak perlu usaha sebanyak aku untuk punya bayi. I was like 'oh, god.. how lucky she is' sambil pegang jari bayinya yang sehat." Terselip kesedihan mendalam di akhir kalimatnya, Jungwon kembali meneteskan air mata.

"Mas jangan salah paham.. aku seneng kok liat temenku gendong bayi, tapi anehnya abis itu aku nangis cuma gara-gara pertanyaan 'kapan' yang harusnya enggak perlu aku masukin ke hati." Jungwon tersendat. Ia cengkeram pundak Jay sambil terus menormalkan deru napas. Jay ikut menepuk-nepuk punggung Jungwon berharap pemuda itu sedikit tenang. "Aku ngerasa udah ngorbanin banyak hal, tapi hasilnya tetep aja abu-abu."

"Aku masih anak-anak banget ya.. masa hal begini aja aku tangisin. Padahal kan Mas udah capek seharian kerja," kekehnya sembari mengecup sudut bibir suaminya. Ia menangkup wajah Jay sambil tersenyum indah, membuat seluruh rasa lelah Jay menguap entah kemana.

Jay balas tersenyum, tangannya menyelinap masuk ke dalam kemeja biru yang dikenakan Jungwon guna mengelus perut datarnya. Sempat hening beberapa saat hingga Jay membuka suara lembut, "kamu anggap Mas apa? Tentu kamu berhak cerita ke Mas tiap punya masalah, terlebih untuk hal-hal vulnerable kaya gini. Percuma kita nikah kalo komunikasinya aja satu arah, cantik."

Jungwon tertawa kecil, ia hapus bekas air mata di pipinya tanpa banyak bicara. "Aku udah lega sekarang. Hati aku jauh lebih tenang. Makasih banyak ya, Mas."

"Enggak perlu terima kasih." Jemari Jay merengkuh pinggang yang lebih muda supaya ikut terbaring bersamanya di ranjang, tubuh mereka berhimpit tanpa celah.

"Aku jadi inget waktu minta restu ke Papa dan Mama kamu." Suaranya damai, ia mengusap punggung Jungwon yang ada di atasnya. Pemuda itu beringsut nyaman sambil mendengar kilas balik hubungan mereka. "Waktu itu aku cuma staff biasa yang gaji perbulannya setara uang jajan kamu dalam sehari."

Kalau dipikir secara kasar, dari arah manapun mereka tidak serupa. Jay berkepribadian keras. Sejak umur belasan ia telah berkomitmen untuk hidup sesuai inginnya saja, sehingga ia tumbuh menjadi seorang yang tak terlalu memedulikan sebuah komitmen. Perlu banyak waktu baginya memantapkan hati menjalin hubungan dengan Jungwon.

"Aku ngerti kenapa mereka khawatir anaknya sengsara. Kamu selalu dimanja, keluarga kamu harmonis dan serba cukup. Wajar kalau mereka pengen pasangan kamu berasal dari golongan yang sama."

Itu adalah masa-masa sulit. Mayoritas keluarga Jungwon cenderung tak memberi restu dan mengabaikan keseriusan Jay. Ia tak akan pernah lupa bagaimana rasanya diremehkan. Merengkuh Jungwon bukan suatu hal yang bisa dituai dalam sekali petik.

"Mereka nanyain aku banyak hal. Mulai dari gimana cara aku atur keuangan, gimana hadepin kamu pas lagi mode rewel, sampe ke pertanyaan yang aku enggak ngerti fungsinya apa. Mama kamu juga sempet nyinggung kalau misalnya setelah menikah kita enggak bisa punya anak."

Jungwon memberi atensi penuh. Ia tampilkan gurat penasaran yang kentara jelas. "Terus-terus, Mas jawabnya apa?"

"Aku bilang kalau aku enggak peduli. Pernikahan ini bisa terwujud karena kita berdua saling cinta, dan itu berarti dengan atau tanpa hadirnya anak pun ikatan kita udah lebih dari cukup," sambungnya jelas dan lugas. Ia tak main-main dalam berucap, segala tentang Jungwon adalah keharusan.

Ia belai rambut pemuda itu dan mengarahkan dagunya ke atas. Netra mereka bertubrukan lama sekali karena masing-masing dari keduanya mencari pembenaran. "Jungwon, kamu harus tau ini ... semisal kita enggak punya anak pun, aku janji enggak akan pernah tinggalin kamu sendirian. Aku selalu ada di samping kamu, kapanpun kamu butuh aku," ucapnya tanpa terselip keraguan.

Pipinya basah lagi. "Mas, kamu enggak perlu sampe segitunya."

Jay menghadapkan kembali wajah mereka. Ia membalik posisi keduanya dengan begitu mudah. "Segitunya gimana? Kamu udah hidup enak bareng orang tua kamu, bisa beli apapun yang kamu mau, jalan-jalan kemanapun tanpa harus mikirin biaya, lulus kuliah tepat waktu, semuanya sempurna."

"Lalu tiba-tiba aku datang di hidup kamu. Kita jalin hubungan singkat, dan pada akhirnya sepakat untuk menikah. Aku ambil kamu dari orang tua kamu, aku renggut kehidupan indah kamu, karir kamu, masa muda kamu.."

Embusan napas Jay membuat Jungwon bergidik. Sesekali pria ini mengecup basah lekuk bahunya sembari meninggalkan bekas gigitan. Atmosfer mereka juga terasa jauh lebih panas dan intim ketimbang sebelumnya.

Dengan segenap keberanian Jungwon mendorong pelan wajah Jay demi menyatukan bibir mereka sekilas. "Itu semua udah keputusan aku. Aku bahagia kok nikah sama kamu. Aku cintanya sama Mas, apapun rintangannya bakal aku terjang asal bareng suami aku. Berhenti ngerendahin diri kamu sendiri, aku sedih dengernya."

"Kok aku jadi ikut cengeng gini." Jay tertawa kecil. Ia segera mengelap sudut matanya yang basah karena tak ingin membuat Jungwon khawatir. "Mumpung masih sore mending kita berdua jalan-jalan dulu, yuk?"

Binar di mata Jungwon berubah antusias. Senyuman lebar terpatri di wajahnya disertai mata kucing yang menyipit. Suasana hatinya benar-benar membaik karena satu ajakan kencan. "Beneran, Mas?" tanyanya penuh selidik. Ia tak mau termakan perspektif palsu sendirian.

Jay tepuk pangkal kepala Jungwon sebelum bangkit dari ranjang. Ia berjalan ke arah lemari sambil bicara, "iya sayangkuu. Kamu mau apa? Mas beliin asal jangan ngabisin satu bulan gaji suamimu ini loh yaa."

"Yash! Makasih Mas Jejee, i loveeee youu!"

🥞🥞🥞

maaf karena telat (banget)

minggu kemarin aku lagi sibuk-sibuknya persiapan internship, dan mulai hari ini sampai tahun depan aku bakal lebih sulit bagi waktu untuk menulis karena rata-rata shift kerjaku itu middle :(

aku harap kalian berkenan maklum..

dan sampai ketemu lagi~

dearest ; jaywonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang