01

233 42 2
                                    

Derap langkah kaki kuda membuat bumi disavana bergetar, binatang-binatang yang sedang merumput bergegas menyingkir karena takut dengan suara gemuruh. Teriakan penuh semangat ketika melihat puncak menara dari kejauhan menambah riuh keadaan.

Bukan perang tentu saja.

Tetapi kembalinya sang jenderal agung yang telah lama berada jauh dari rumah. Bersama ribuan pasukannya, ia kembali ke ibu kota, tempat yang disebutnya rumah.

Seorang pemuda yang berpakaian berwarna biru muda tampak tidak pada tempatnya, tetapi dengan tenang ia menghela dan menyentak tali kekang kudanya. Rambut hitam panjangnya yang diikat menari-nari seiring gerakan pinggung kudanya. Wajahnya menawan dan anggun seperti bunga yang berada ditengah gurun pasir. Ia adalah satu-satunya putra jenderal Kim yang agung, Kim Jaejoong.

Meskipun dibesarkan ditengah medan perang dengan sarana terbatas tetapi pendidikan yang diterimanya tidak kalah dari anak-anak bangsawan lain yang hidup nyaman di ibu kota. Ia tenang dan anggun, beradab dan sopan, bisa membaca dan menulis, yang terpenting sebagai putra satu-satunya jenderal agung, ia mewarisi semua teknik bertempur sang ayah.

Ibunya meninggalkannya ketika usianya 10 tahun karena adik dalam perut ibunya tidak pernah bisa dilahirkan dan mengajak ibunya pergi ke surga. Sang jenderal yang merasa bersalah pada istri tercintanya akhirnya bersumpah untuk memberikan yang terbaik kepada Jaejoong kecil.

Jaejoong kecil sangat dimanja, hampir semua keinginannya dipenuhi oleh sang jenderal tetapi sang jenderal juga menuntut sesuatu kepada putranya. Meskipun berada ditanah yang tandus dan kering sekali pun, Jaejoong tidak diijinkan menjadi orang tidak beradab seperti dirinya. Jaejoong tidak boleh bersikap dan berperilaku kasar seperti hampir semua orang yang berlabel militer. Jaejoong harus tetap sopan dan beradab. Dan apabila Jaejoong tidak bisa melakukannya maka ia akan dihukum dan permintaannya tidak akan dipenuhi oleh sang jenderal.

Menatap langit biru yang bersih dan dingin, tanpa satu pun awan yang menaungi, Jaejoong melihat sebuah puncak menara dikejauhan. Ia belum pernah ke ibu kota dan tidak tahu seperti apa ibu kota yang ayahnya serta para prajurit dibawah komando ayahnya rindukan setiap saat. Tetapi Jaejoong cukup penasaran.

Ayahnya pernah berkata bahwa kebanyakan para bangsawan di ibu kota lahir dengan roh pendamping yang berasal dari leluhur mereka. Sama seperti keluarga Kim yang konon memiliki silsilah garis keturunan yang berasal dari Phoenik sehingga kebanyakan anggota keluarga Kim memiliki posisi militer, karena phoenik adalah penjaga dan tugas militer menjaga keamanan suatu Negara.

Dalam setiap anggota keluarga bangsawan pun memiliki senjaga yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang mereka yang menandakan status dan kemampuan mereka. Tidak banyak yang tahu tetapi semua orang percaya bahwa keluarga jenderal Kim memiliki senjata rahasia yang ditempa dari bulu phoenik sehingga ia selalu menang dalam setiap pertarungannya.

ᴥᴥᴥᴥᴥ

Pintu gerbang ibu kota dibuka lebar-lebar, rakyat dan utusan istana menyambut rombongan sang jenderal penuh penghormatan.

Menurut kebiasaan, kepulangan seorang jenderal yang berprestasi akan disambut meriah, bahkan sebelum pulang kepada keluarga mereka, para prajurit hebat tersebut wajib memberikan penghormatan kepada Raja terlebih dahulu.

Jaejoong yang berlutut dibelakang ayahnya melirik orang-orang berpakaian indah, mewar dan gemerlap disekitarnya dengan penasaran tetapi ia tidak menunjukkan ketidaksopanannya tersebut, ia hanya tahu bahwa mereka adalah anggota keluarga istana tetapi Jaejoong tidak tahu posisi resmi mereka.

"Lihatlah dirimu! Kau tidak berubah sama sekali, masih segagah terakhir kali aku melihatmu." Pria dewasa dengan jubah emas bersulam naga menepuk-nepuk bahu sang jenderal dengan bangga.

"Yang Mulia, anda terlalu memuji..." sahut jenderal Kim.

"Tidak. Tentu saja tidak. Aku mengatakan yang sebenarnya. Kau masih gagah dan bugar, lihatlah aku! Aku sudah renta karena terlalu memanjakan diri pada madu beracun..."

Jenderal Kim tidak menyahut. Adalah hal biasa jika seorang raja memiliki banyak kecantikan disisinya.

"Nah, apakah ini putramu yang kau ceritakan dalam setiap suratmu?" pria yang memakai mahkota emas diatas kepalanya tersebut menatap Jaejoong penuh arti.

"Ya Yang Mulia, satu-satunya peninggalan dari istri hamba." Ucap jenderal Kim. Ada luka didalam matanya yang dipenuhi dengan kebanggaan seorang ayah.

Pria yang kelihatan lebih tua dari usianya tersebut menganggukkan kepalanya penuh pemahaman. Istri jenderal Kim adalah adik perempuan Raja, Raja sendiri yang menikahkan mereka dan melepaskan kepergian mereka untuk mengabdi pada Negara.

"Anak malang, biarkan aku melihat wajahmu..." ucap Raja dengan suara yang lembut.

Jaejoong yang semula menundukkan kepalanya perlahan-lahan menatap ayah dan pria yang berada disamping ayahnya dengan kebingungan.

Mata Raja berkaca-kaca, "Jika aku tidak salah, namamu Jaejoong?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Ya, Yang Mulia..." Jaejoong menjawab, mencontoh ayahnya yang memanggil Yang Mulia pada pria tersebut.

"Dia mewarisi matanya, kan?" Raja tersenyum dan menoleh pada jenderal Kim.

"Ya." Jenderal Kim menyahut. Jaejoong benar-benar tidak seperti dirinya yang kasar tetapi mirip sekali dengan ibunya, anggun dan menawan.

"Kau mirip sekali dengan ibu dan adik perempuanku." Raja menepuk bahu Jaejoong lembut. "Jika kelak kau ingin menikah, maka selain ayahmu, kau harus meminta persetujuan dariku juga. Kau mengerti?"

Jaejoong melirik sang ayah.

Raja yang melihat kebingungan dimata Jaejoong tertawa dengan lantang membuat semua orang tersenyum meskipun mereka tidak tahu apa yang membuat pria yang susah ditebak tersebut tertawa begitu lepas.

ᴥᴥᴥᴥᴥ

Tiga hari kemudian diadakan perjamuan di rumah sang jenderal, semua bangsawan dan anggota prajuritnya yang berkediaman dekat ibu kota semuanya hadir. Minuman keras, tawa dan suara-suara menyemarakkan malam yang seharusnya tenang. Jaejoong tidak ikut menikmati alkohol, sejak kecil ia dididik untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang sebenarnya menjadi tradisi dinegaranya tersebut.

Meskipun beberapa kali Jaejoong ikut terlibat dalam pesta minuman keras tetapi sang ayah tidak pernah tahu karena toleransi alkohol Jaejoong. Ketika semua orang sudah setengah sadar, Jaejoong masih duduk tegak dan sanggup meminum cairan memabukkan tersebut dengan anggun. Toleransi alkoholnya sangat tinggi sehingga Jaejoong sendiri tidak tahu berapa banyak yang dibutuhkan untuk membuatnya mabuk.

Menikmati biji bunga matahari kering ditempat yang terlupakan oleh semua orang bahkan pelayan rumahnya sendiri, Jaejoong mengawasi dalam diam orang-orang yang berpesta. Tidak ada musik atau tari-tarian apalagi wanita penghibur. Semua orang tahu bahwa Jenderal Kim sangat disiplin dan ketat, terutama setelah kepergian sang istri.

Dari tempatnya, Jaejoong melihat seorang pria muda berwajah agak pucat sedang berbicara dengan ayahnya sebelum pria muda tersebut berjalan pergi. Jaejoong tidak mengenal pria muda tersebut karena ia baru datang ke ibu kota, ia belum memiliki banyak teman dan kenalan.

Wajah pria tadi bisa dikatakan tampan meskipun tidak setampan pria seusianya yang Jaejoong temui dikota-kota yang sudah dilaluinya, tetapi ada hal yang membuat Jaejoong tidak bisa melupakan wajah pria muda tadi, serta senyumnya yang agak pucat, seolah-olah pria muda tadi sudah menghipnotis mata dan pikiran Jaejoong untuk sementara.

Sayangnya...

Sangat disayangkan bahwa kualitas pakaian yang dikenakan oleh pria muda tadi tidak lebih baik daripada pakaian yang dikenakan oleh pelayan dikeluarga jenderal.

Meskipun mata dan hatinya menyukai pria muda tadi namun Jaejoong tidak mengenalnya dan ayahnya pun bisa dipastikan tidak akan mengijinkannya mendekati pria yang jauh lebih lemah daripada dirinya.

"Setidaknya berteman tidak apa-apa, kan?" gumam Jaejoong pada dirinya sendiri. Hatinya tergerak dan ingin lebih mengenal pria muda tadi, besok, besok ia akan mencari tahu.

ᴥᴥᴥᴥᴥ

ᴥᴥᴥᴥᴥ

Sebab... [YunJae Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang