Klarisa duduk diam di balkon lantai dua rumah Bellona dan Abdi. Hanya satu yang ada dalam pikirannya, ingin pulang. Dua minggu berada di sana, juga bekerja menjadi pengawal plus asisten dadakan Darka, Klarisa home sick. Ia menyugar rambut dengan kelima jemari tanganya seraya menghela napas panjang, gundah rasanya.
Pandangannya lurus ke atas, langit malam yang sama hanya negara yang berbeda. Berpegangan pada pagar balkon, Klarisa mencoba menghilangkan kangen rumah, tapi siapa yang sangka anak perempuan tetaplah ada sisi lemah.
"Jangan nangis, Kla," gumamnya masih mendongakkan kepala.
Siapa sangka, justru air seember mengguyur tubuhnya dari lantai atas. Rooftop rumah. Klarisa diam. Ia pegang erat pagar balkon, air mata berganti air lain yang turun membasahi rambut, menetes turun ke tubuhnya setengah kuyup.
"Wah, sorry!" teriak Darka yang membungkuk pada pagar rooftop. Tak menunjukkan rasa bersalah, justru tersenyum lebar.
Klarisa tersenyum, "kebetulan! Aku belum mandi! Makasih, ya!" Klarisa berjalan masuk. Buru-buru menuju kamarnya. Dengan geram ia mandi lagi dengan air hangat, berganti baju tidur baru berupa daster, ia membawa satu dari rumah. Daster panjang motif batik bunga-bunga warna hijau campur merah muda. Corak mencolok karena pilihan Audrina saat mereka liburan di Solo.
Darka menahan kesal, ia sangka Klarisa akan marah-marah, nyatanya tidak. Ia duduk merosot dengan kedua dulut berada di depan dada. Kejailan apalagi yang bisa ia lakukan, karena Klarisa selalu tampak santai.
Seorang asisten rumah tangga menghampiri Darka, berkata jika makan malam sudah siap. Darka berdiri, ia tak mau juga kena marah kedua orang tuanya yang sedang berada di rumah malam itu. Biasanya makan malam di luar bersama rekan bisnis.
Klarisa dan Darka bertemu di tangga untuk kesekian kalinya, "Silakan tuan muda," sindir Klarisa santai. Darka tersenyum sinis apalagi melihat daster yang dikenakan Klarisa.
"Emang cocoknya jadi pembantu. Sesuai sama bajunya." Darka menuruni anak tangga begitu saja, disusul Klarisa di belakangnya.
"Pembantu juga pekerjaan halal. Emang kerjaan kamu aja yang bener. Sok oke!" balas Klarisa.
"Kamu pikir kerjaan yang saya lakuin gampang!" bentak Darka.
"Siapa yang bilang gampang! Kuping kamu kotor sampe salah denger. Kasihan, banyak duit nggak bisa beli korek kuping." Klarisa berjalan mendahului Darka dan dengan sengaja menyenggol bahu kanan lelaki hitu hingga hampir jatuh jika tidak berpegangan pada pagar tangga.
"Duh, sorry," lirih Klarisa lantas semakin cepat berjalan. Lagi-lagi justru Darka yang dibuat kesal Klarisa, semakin menumpuk rasanya.
Bellona dan Abdi cukup terkejut dengan penampilan Klarisa, gadis itu menyapa pemilik rumah sebelum duduk. "Dasternya bagus!" puji Bellona. "Mas, aku beli, ya!" ujar Bellona lagi.
"Beli, lah. Kita ke Yogya apa Solo?" ajak Abdi. Mendengar itu Klarisa jadi ada ide untuk izin ikut, siapa tau bisa ke Jakarta sekedar pulang sebentar.
"Om, Tante, boleh ikut? Tapi Klarisa ke Jakarta, ya."
"Nggak bisa! Kerjaan aku banyak di sini. You! Stay!" tunjuk Darka emosi. Klarisa sedih, tapi ia tutupi dengan senyuman saja. Bellona dan Abdi hanya saling melempar tatapan, karena memang faktanya Darka banyak kerjaan di KL sebelum suatu saat akan kembali ke Jakarta entah kapan.
"Kerjaanmu gimana, Darka?" Abdi sedikit ingin tau karena harus tetap memantau pekerjaan anak-anaknya yang dipercayakan mengurus kerajaan bisnis miliknya dan Bellona.
"So far so good, Pa." Darka menyuap makanannya.
"Masih dikejar cewek-cewek serakah, nggak? Mama nggak suka, ya." Bellona selalu mengultimatum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magnetize ✔
RomancePlayboy yang tidak mau menuruti kemauan orang tuanya untuk berhenti bermain-main dengan hidupnya terutama wanita. Usianya masih 21 tahun namun karena latar belakang keluarga pebisnis ulung, ia berhasil lulus kuliah lebih cepat dan sudah punya bisni...