1. Selamat Datang di Sekolah Cosmos

20 3 0
                                    

“Kamu yakin sekolah di sana?”

Perempuan belia berusia enam belas tahun hanya mengangguk sembari menatap ke luar jendela. Ia tengah duduk di bangku depan, di sebelah perempuan paruh baya yang tengah mengemudi. 

“Tante, dari tadi Tante tanya hal yang sama.”

“Soalnya dari tadi Windi diam saja, tidak biasanya.”

Windi hanya melihat perempuan paruh baya di sebelahnya, kemudian menarik napas panjang, kembali menatap ke luar jendela.

“Padahal Tante sudah memilihkan sekolah yang bagus di dekat rumah. Bahkan sekolah itu mau menerimamu langsung tanpa tes.”

Windi tertawa, menoleh pada perempuan  paruh baya itu lagi.

“Ya jelas! Kepala sekolahnya saja teman dekat Tante! Jaman sekarang kalau ada orang dalam sudah pasti tenang.”

Seakan tertular dengan suara tawa keponakannya, perempuan paruh baya itu ikut tertawa.

“Padahal kalau kamu di situ, tidak perlu repot apa-apa lagi. Lulus pun sudah terjamin. Kalau di sekolah yang kamu datangi ini beda. Kenapa sih kamu ingin sekolah di sana? Kamu sudah tidak mau lagi tinggal sama tantemu ini?”

Windi membelalakkan matanya, kemudian tertawa.

“Itu tidak mungkin, Tante! Aku tidak punya siapa-siapa selain Tante.”

Itu benar. Windi adalah anak yatim piatu. Sejak usia delapan tahun, Windi sudah tinggal bersama neneknya. Lalu, setelah neneknya meninggal disertai dengan serentetan kejadian lainnya, Tantenya ini, anak bungsu dari si nenek, yang menjadi teman Windi. Wajar jika mereka sangat dekat. Bahkan tantenya tidak ingin menikah dulu hanya agar keponakannya yang tersayang tidak merasa sendirian.

Windi kembali menatap ke luar jendela. Mobil mereka rupanya sudah memasuki kawasan perhutanan. Di sekeliling mereka terdapat pohon-pohon lebat yang menjulang tinggi ke angkasa. Jalanan yang semula ramai, kini menjadi sepi. Hampir tidak ada kendaraan lain yang berlalu-lalang di sekitar sini.

“Oh, kita sudah dekat lokasi, sepertinya. Gmap-nya sudah benar.”

“Bagusnya … banyak pohon-pohon di sini, tenang sekali tidak seperti di rumah,” ujar Windi sambil menarik napas panjang.

Tantenya hanya memutar mata. “Lebay sekali kamu ini.”

“Tante?”

“Apa?”

“Segera menikah supaya tidak menjadi perawan tua!”

Perempuan yang sedang mengemudi itu membelalakkan matanya. “Apa? Berani sekali kamu menyebut tante seperti itu!”

Windi tertawa saat sebelah tangan tantenya mencubit lengannya.

“Ampun, Tante!”

Mereka kembali berbicara seperti biasa, hingga mobil berbelok ke satu arah yang lebih privat. Setelah beberapa kilometer, terdapat sebuat gapura besar terbuat dari bata merah di sisi kiri dan kanan. Ada tulisan Sugeng Rawuh di gapura sisi kiri yang berarti Selamat Datang dalam Bahasa Jawa. 

“Kita sampai, sepertinya. Kamu yakin sekolah di sana?”

Windi menggeram, memutar matanya. “Tante, ini sudah keseratus kali Tante tanya loh.”

“Cuma memastikan saja, salah ya?”

Mobil mereka berhenti di depan sebuah bangunan besar dua lantai berwarna putih. Bangunan itu seperti gedung model lama, meski tampak sudah tua, tapi gedung itu masih terawat. Ada satu pintu di sana, pintunya berwarna hijau yang tertutup. Ada juga jendela-jendela kaca lebar yang ditutupi dengan kertas, sehingga tidak ada yang bisa melihat apa yang ada di balik jendela jendela tersebut. Di sebelah pintu terdapat tulisan, ‘Sekolah Asrama Cosmos’.

“Apa asrmanya tutup ya? Pulang saja yuk,” ujar sang tante.

“Eh Tante!”

“Tante sudah lama tidak datang ke sini, bawaannya sama, selalu merinding.”

Windi tertawa. “Tante ada barang jatuh di dapur saja sudah merinding.”

Windi adalah orang yang menyeret tantenya menuju ke pintu masuk yang tertutup. Saat itu Windi merasa kalau orang yang akan bersekolah di sini adalah tantenya dan ia hanya sebagai pengantar saja. 

Windi dengan yakin menekan bel yang ada di sebelah pintu, sebaliknya tantenya hanya melihat ke sekitar dengan was-was. Padahal, menurut Windi, tempat ini tidak seseram yang ada di pikiran tantenya.

Mungkin karena tantenya sering melihat film horor.

Tak lama kemudian, seseorang membuka pintunya. Perempuan yang berusia sekitar enam puluh tahun, dengan rambutnya yang memutih, meski tidak seluruhnya putih. Perempuan itu mengenakan daster berwarna merah lengan panjang, panjangnya hingga lutut. Wajahnya yang ramah, tersenyum saat melihat Windi dan tantenya.

“Nona muda ini pasti Nona Erlin ya?”

Windi tertawa canggung, tangan kanannya tetap menggandeng tangan sang tante dan tangan kirinya mengisyaratkan bahwa Erlin bukanlah dirinya.

“Saya Windi, Erlin adalah tante saya, ini orangnya.”

“Baiklah, ayo silakan masuk.”

Perempuan itu membuka pintunya lebih lebar supaya kedua tamunya bisa masuk.

“Tante, Ayo!”

“Iya iya!”

Mereka masuk ke bangunan itu. Ruangan setelah pintu masuk adalah ruang tamu yang cukup luas, dengan kursi tamu terbuat dari kayu yang diukir dengan cantik, terdapat bantalan terbuat dari beludru warna merah yang menjadi tempat duduk dan sandaran. Beberapa perabot di ruang tersebut adalah benda-benda lama. Di dinding terdapat hiasan berbentuk bunga kenikir merah jambu dan putih yang terbuat dari benang wool yang ditenun, dibingkai cantik dengan kayu jati berwarna coklat muda. Lalu ada juga foto-foto hitam putih, tapi beberapa dari foto yang terpajang di ruangan itu sudah banyak yang berwarna.

Tentu, ini kan sudah tahun 2023.

Satu hal yang akan membuat Windi terus teringat dengan tempat ini adalah, aroma yang khas saat pertama kali masuk. Aroma seperti saat memasuki rumah nenek yang ada di desa, pagi hari.

“Itu adalah Bunga Kenikir, atau Cosmos bahasa asingnya,” terang perempuan itu saat menangkap basah Windi yang tengah memperhatikan hiasan bunga tersebut.

“Cantik ya? Siapa yang membuatnya?” ujar Windi.

“Namanya ada di ujung kanan bawah.”

Namun, belum sempat Windi melihat siapa yang membuat mahakarya tersebut, gantian tantenya yang menarik tangan Windi agar segera duduk dan tidak memperhatikan barang-barang di tempat orang lain. Itu tidak sopan!

“Kalau tidak salah, tadi yang menghubungi saya adalah Nona Erlin?”

“Oh, iya itu Saya, Bu.”

Windi menoleh sesaat pada tantenya, kemudian menggeleng pelan. Rupanya, tantenya sudah jauh merasa lebih aman.

“Maaf saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Dahlia, saya yang ditugaskan mengurus asrama ini. Asrama sekaligus sekolah yang hanya untuk perempuan saja di jenjang SMA. Sekolah di sini juga setara sama SMA, jadi tidak perlu khawatir, setelah lulus siswi tetap bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi sesuai dengan kapasitas masing-masing.”

“Sebenarnya … keponakan saya sendiri yang ingin pindah ke sini. Sebelumnya Windi sudah terdaftar di sekolah yang ada di dekat rumah, karena dengan begitu, saya bisa lebih mengawasi Windi, tapi karena Windi sendiri yang ingin sekolah di sini … ya apa boleh buat.”

Bu Dahlia tersenyum. “Kalau boleh tahu, dari mana Nona Windi tahu informasi tentang sekolah ini?”

Windi tersenyum. “Beberapa teman di sekolah SMP pernah membicarakannya.”

Bu Dahlia melihat Windi sesaat, kemudian kembali tersenyum.

“Baiklah kalau begitu, Nona Windi, selamat datang di Sekolah Cosmos ya.”

SEKOLAH COSMOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang