Seorang wanita berumur sekitar 40 tahun, tampak sudah terlihat beberapa uban yang menghiasi rambut panjanganya. Wanita itu duduk di depan rumahnya. Ia menggunakan kacamata untuk membantunya melihat benang halus yang ia masukkan ke lubang jarum. Butuh waktu sekitar beberapa menit hingga benang itu berhasil masuk ke dalam lubang tersebut. Ia mulai menjahit bagian celana sekolah salah satu anaknya yang robek. Wanita itu bernama Risa. Dengan telaten ia menjahitnya.
"Lagi sibuk Ris?" tanya salah satu tetangga yang sering berkunjung ke rumahnya, jika suami Risa tidak ada di rumah.
"Iya nih mbak. Celana Alif robek. Nggak tau main apa bisa sampai robek begini," jawabnya seraya tersenyum tipis padanya.
Wanita yang mengenakan daster pink bermotif bunga-bunga itu duduk di sisi kanannya, "Gimana Tyo? Apa dia masih memarahi anak-anakmu? Mbak dengar semalam Rifki sepertinya bertengkar hebat dengan ayahnya,"
Risa tersenyum saja. Wanita itu mengerti akan arti senyum yang disunggingkan Risa, "Dari dulu Tyo nggak pernah berubah. Kamu juga! Kenapa masih betah berumah tangga dengannya!" terdengar wanita itu memarahinya.
"Mau gimana lagi mbak. Demi anak-anak," jawab Risa dan menghentikan kegiatan menjahitnya.
"Kenapa kamu nggak pisah aja? Lagipula, ketiga anakmu juga sudah remaja. Rifki juga tahun ini masuk kuliah. Adzka juga sudah kelas 2 SMA, dan Alif bukankah tahun ini juga masuk SMA"
"Mereka bisa cari uang sendiri dan membantumu. Daripada kamu harus bertahan dengan suami mu itu!" ujarnya terdengar kesal.
"Aku sudah janji mbak dengan ibu. Aku nggak akan minta cerai dari mas Tyo"
"Kamu keras kepala juga..." ujarnya dan menghela napas kasar.
"Ya sudahlah. O iya, tadi mbak ada masak sayur lodeh dan ikan asin. Sebentar ya, mbak ambilin dulu," Risa mengangguk. Meskipun Risa memiliki suami yang sering memakinya dan bersikap kasar. Namun Risa berusaha bersabar. Ia tidak ingin jika ketiga anak laki-lakinya tumbuh tanpa peran seorang ayah. Ia juga sudah berjanji pada mendiang mertuanya agar tidak bercerai dari anaknya. Risa bersyukur karena dirinya di kelilingi tetangga yang begitu peduli dan perhatian padanya.
"Bu, udah selesai celananya?" tanya Alif yang menghampiri ibunya.
"Sedikit lagi. O iya, apa kamu sudah menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan untuk daftar sekolah besok?" tanyanya pada sang anak.
"Udah bu. Alif udah siapin semua dan udah Alif masukkan ke dalam tas juga," sahutnya.
"Ya sudah. Sekarang ibu minta tolong kamu ke warung bu Ida. Tolong belikan bumbu racik marinasi ya, uangnya ada di dompet ibu. Dompetnya di atas lemari dapur," pintanya.
"Iya bu," jawab Alif yang selalu patuh pada ibunya.
Alif berbalik dan pergi ke dapur. Ia mengambil uang lima ribu di dompet ibunya. Alif diam sejenak memandangi dompet ibunya yang hanya memiliki uang terakhir yaitu uang lima ribu tersebut.
Alif menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. Ia kemudian pergi ke luar untuk membeli seperti yang ibunya perintahkan.
**
Seorang remaja tampan. Usianya sekitar 17 tahun. Ia masih mengenakan seragam sekolahnya. Ia mengendarai motor honda supra keluaran tahun 2000. Remaja itu bernama Adzka. Ia baru saja pulang sekolah setelah ujian akhir selesai. Tadinya teman-teman Adzka mengajaknya untuk nongkrong sepulang sekolah, namun Adzka teringat ibunya di rumah. Ia pun menolak ajakan temannya.
Jarak sekolah Adzka lumayan jauh dari rumahnya. Seharusnya ia sekolah sesuai dengan sistem zonasi yang sudah ditentukan. Namun karena tidak memenuhi syarat, Adzka pun sekolah di sekolah swasta, sama seperti Rifki.
Di perjalanan menuju pulang ke rumah, Adzka melihat salah satu saudaranya. Ia bergegas menghampirinya ketika melihat sang kakak hendak melayangkan tinjunya pada seorang pria yang tidak lain adalah ayah mereka.
"Kak!! sudah kak!" Adzka menahan tubuh Rifki. Ia melerai pertengkaran kakak juga ayahnya.
"Lepasin dek!! dia udah keterlaluan!!" marah Rifki yang berontak.
"Nggak!! Adzka nggak mau lepasin!! ingat ibu kak! Ibu nggak suka liat kakak bertengkar dengan bapak!"
"Kamu itu sama aja seperti kakakmu!! kalian itu menyusahkan saja!! bapakmu ini hampir menang judi. Jika saja kakakmu yang sok pahlawan itu nggak datang!! bapak pasti udah bawa pulang uang untuk kalian!!!"
"Judi!! judi!! judi!! itu saja yang ada di pikiran bapak!!" marah Rifki.
"Bapak nggak pernah peduli sama ibu!! bapak juga main perempuan kan!!" tambahnya. Rifki menatap tajam seorang wanita berbadan semok dan menonjolkan bagian sensitif tubuhnya.
"Kak. Udah. Ayo pulang sekarang. Kasian ibu, kak" Adzka terus membujuk saudaranya, hingga Rifki terpaksa ikut pulang bersamanya.
**
Alif menemui ibunya di dapur yang memindah masakan setelah diberi tetangganya ke dalam mangkuk putih bergambar ayam jago. Risa tersenyum padanya, "Ada apa, Lif?" tanyanya. Risa mampu membaca arti tatapan anaknya, meskipun sang anak belum mengutarakan isi kepalanya.
"Alif nggak usah lanjut sekolah ya, bu" pintanya.
Risa menutup makanan dengan tudung saji. Ia berbalik dan memegang kedua pundak anaknya, "Jika mengenai biaya sekolah. Kamu jangan khawatir. Ibu sudah menyimpan uang tabungan untukmu sekolah,"
"Tapi bagaimana jika aku juga tidak bisa masuk sekolah negeri bu? Ibu udah ngeluarin banyak biaya untuk sekolah kami! Apalagi kak Rifki dan kak Adzka di sekolah swasta, biaya sekolahnya nggak murah. Belum lagi bapak suka main judi!"
"Ibu ngerti maksudmu, Lif. Tapi...ibu nggak ingin melihat anak-anak ibu direndahkan. Ibu nggak mau jika kalian tidak memiliki masa depan yang cemerlang. Cukup ibu saja yang putus sekolah,"
"Masa depan cemerlang nggak harus sekolah sampai tuntas bu! Itu ! mas Anton aja bisa jadi pengusaha, meskipun sekolahnya hanya sampai SMP,"
Risa membelai lembut kepala anaknya, "Masa depan setiap orang itu berbeda. Memang benar, sekolah tidak menentukan orang itu nantinya berhasill atau tidak. Namun kamu harus ingat. Semua itu bermula dari pendidikan, bukan hanya di rumah, bukan juga di lingkungan sekitar kita tapi pendidikan juga bisa kau peroleh dari sekolah. Wawasanmu akan semakin luas jika kamu sekolah, Lif"
"Jangan lakukan demi ibu. Tapi lakukan dengan hatimu. Ibu yakin, ibu mampu membiayai sekolah kalian. Jangan khawatir masalah biayanya," bujuknya kemudian ia memeluk anak bungsunya.
"Maafin Alif, bu" ucapnya menyesal karena sedikit meninggikan suaranya saat bicara dengan ibunya.
"Iya. Yuk, makan dulu. Tadi budhe Ani memberi sayur lodeh dan ikan asin" ucap Risa dan menyuruh Alif untuk duduk dan makan.
Bersambung

KAMU SEDANG MEMBACA
"Parent" (Yoongi,Seokjin,Jungkook &BTS)
FanficHan Hyo Joo sebagai Risa (Ibu) Namjoon sebagai Tyo(Ayah) Yoongi sebagai Rifki (Anak pertama) Seokjin sebagai Adzka (Anak kedua) Jungkook sebagai Alif (Anak terakhir) Jimin sebagai Kino (sahabat Jungkook) Taehyung sebagai Niko (sahabat Jungkook) Ho...