🕵️♀️👨💼
"Oh, ini, Mas, Klarisa harus observasi, saya mau cek keseluruhan. Mas Ijal takut nggak setuju dan ... ngamuk." Zaver masih segan dengan kakak iparnya. Ia matikan panggilan sepihak, takut tangis pilu di Nesya diketahui Ijal.
"Oh, kirain apa, tapi Klarisa kenapa masih pingsan, Ver?"
"Tadi saya konsul ke dokter umum, Klarisa bisa tidur dulu jadi dikasih obat penenang. Dosisnya kecil banget kok, Mas."
Ijal manggut-manggut. Zaver lega, ia bahkan mengusap dadanya saat Ijal masuk kembali ke dalam kamar rawat.
Zaver kembali menghubungi Nesya, memintanya ke rumah sakit setelah Ijal sekeluarga pulang. Zaver berencana menyembunyikan hal ini sementara dari Ijal sampai kondisi Klarisa pulih.
Klarisa pasti mau cerita ke Nesya, ia dekat dengan tantenya itu. Di dalam kamar rawat, Klarisa sengaja suster yang mengganti pakaiannya dengan baju pasien. Tadinya Audrina ngotot, karena ia tau tapi tak yakin apa yang terjadi. Dengan alasan masuk diakal Audrina nurut keputusan suster.
"Dri, pulang aja dulu. Kalian semua juga istirahat. Udah sore." Zaver melepaskan jas dokter, ia taruh di atas sofa tidur.
"Klarisa sama siapa?" lirih Audrina.
"Saya minta perawat memantau. Mas Ijal juga capek banget kayaknya," tatap Zaver ke Ijal yang terlelap di samping ranjang rumah sakit yang ditiduri Klarisa.
"Zaver, jangan bilang kalau--"
"Nggak ada apa-apa sama Klarisa, tenang aja. Cuma butuh observasi. Zio!" panggil Zaver. Bocah SMA itu sedang mengedit foto dirinya untuk diunggah ke media sosial.
"Ya, Om!" sahutnya.
"Pulang sana. Ayah Ibu butuh istirahat. Nyetirnya jangan ngebut-ngebut," pinta Zaver.
"Siap, Om!" Ezio mendekat ke Ijal, membangungan ayahnya lantas mengajak pulang.
Zaver mengintip dari balik dinding saat ketiga orang tadi sudah masuk lift, ia hubungi Nesya yang menunggu di mobil memantau apakah Ijal sekeluarga sudah benar-benar pulang, barulah Nesya ke kamar rawat.
Pantauan selesai, Nesya pastikan kakaknya pergi dari sana. Ia berjalan cepat ke dalam rumah sakit.
Zaver melihat Klarisa sudah sadar, tapi ia terus diam tak mau bicara.
"Klarisa, bilang sama Om Zaver dan Tante Nesya, ya," pinta Zaver mengusap kepala Klarisa yang tak menjawab.
"Kla, Klarisa," cicit Nesya yang langsung menghambur memeluk keponakannya. "Siapa yang jahatin kamu, Nak," isak Nesya. Klarisa menangis lagi, begitu sakit mengingat mimpi buruk itu.
Zaver keluar sebentar, meminta bantuan perawat jika tak boleh ada yang menjenguk Klarisa sementara waktu kecuali Ijal sekeluarga.
Ia kembali ke kamar rawat. Posisi ranjang sudah setengah tegak, Nesya meraih jemari tangan Klarisa.
"Tolong Om, Tante ... jangan bilang Ayah, Ibu dan Zio, Klarisa mohonnn," isaknya pilu.
"Iya, sayang, iya." Nesya menyahut pasti. Klarisa mulai cerita, Zaver memejamkan mata menahan marah. Nesya sesekali menarik air hidung saat Klarisa cerita panjang lebar.
"Klarisa kotor." Tangisnya pecah lagi, kepalanya tertunduk dalam.
"Nggak. Kamu nggak boleh bilang gitu. Kamu nggak salah. Kamu juga nggak godain dia buat lakuin ini. Kita hadapi bareng-bareng, ya. Kalau kamu butuh ngobrol sama psikiater bilang, nanti Om Zaver hubungi psikiater kenalannya." Nesya menghapus air mata Klarisa dengan tisu. "Klarisa nggak sendiri. Ada Om dan Tante."
KAMU SEDANG MEMBACA
Magnetize ✔
RomancePlayboy yang tidak mau menuruti kemauan orang tuanya untuk berhenti bermain-main dengan hidupnya terutama wanita. Usianya masih 21 tahun namun karena latar belakang keluarga pebisnis ulung, ia berhasil lulus kuliah lebih cepat dan sudah punya bisni...