Bab 1 : Maafkan Tari, kak Ares

22 1 2
                                    

[Mentari Pov]

Plakk!

Suara keras dari tamparan bu Nirina yang mendarat di pipi kak Ares membuatku mendongakkan wajah, menatap bekas merah yang kini terpampang jelas di wajah kak Ares. Pasti itu sangat perih.

"Maafkan Ares, mom," suara lembut dari pria tampan bernama lengkap Mahesa Prasetya Wiguna itu menembus masuk kedalam gendang telingaku yang berdiri bersisian dengannya.
Wajahnya yang begitu tenang menghadap lurus kearah bu Nirina yang sudah bersimbah airmata.

"Kenapa, Ares? Kenapa?!" Suara pilu bu Nirina yang tengah mencengkeram kerah baju koko kak Ares sungguh menyayat hatiku.
Nyeri menyeruak dari dalam sana menatap bagaimana majikan perempuan ku yang berhati lembut itu memukul keras dada sang putra tertua.

Sejurus ekor mataku melirik kearah sosok ibu, tersembunyi diantara tiang sekat ruang dapur dan ruang tengah tempat kami semua berada sekarang.
Airmatanya tak kalah deras bertumpah keatas pipi yang entah sejak kapan mulai berkeriput.
Ibuku sudah setua itu.

Kepalaku tertunduk. Rasa malu, rasa takut bercampur mengaduk dengan rasa nyeri.
Aku sungguh tidak sanggup lagi menengadahkan wajahku pada orang-orang yang tengah menghakimi aku dan juga kak Ares.
Hatiku menjerit. "Hentikan! Ini bukan kesalahan kak Ares."

               oo00oo

Brugh!

Dari balik kepala yang tertunduk, kedua mata ini kemudian tertuju pada dua buah tas yang sudah berada tepat didepan kakiku dan kaki kak Ares.
Tas pakaian milikku dan ransel milik kak Ares.

"Pergi dari rumah ini," suara bariton tuan Bramantyo Wiguna terdengar.

Kedua mataku sudah membulat sempurna. Tepat seperti apa yang sudah aku pikirkan sebelumnya. Hanya saja, memikirkan aku sudah menyeret pria yang tidak seharusnya mengambil tanggung jawab untuk hal yang tidak dia lakukan padaku benar-benar membuatku ingin mengungkapkan saja apa yang sebenarnya terjadi.

Takut-takut aku melirik pada sosok tuan besar yang tengah membelakangi diriku dan kak Ares.
Punggung itu tegak disana.
Kedua tanganku yang sudah dingin aku kepal erat, lalu kuhela nafas yang terasa tercekat diujung.

Grep!

Aku menoleh saat tangan besar kak Ares menahan lenganku hingga langkah yang ingin aku ambil terhenti.
Tangan itu kemudian turun untuk menggenggam erat tanganku.
Meski tanpa aku meliriknya, aku tau pria ini tengah menenangkan ku.

"Ayah,"
"Mulai hari ini, Mahesa Prasetya Wiguna tidak ada hubungannya lagi dengan keluarga ini."
Aku terhenyak.
Wajah yang sejak tadi aku tundukkan kini mengarah menatap wajah kak Ares.
Dia masih sama tenangnya. Bahkan sebuah senyuman tipis kini justru mengukir di bibirnya.

Ia melepaskan genggamannya pada tanganku.
Kak Ares melangkah maju hingga kehadapan sebuah meja yang memisahkan jarak antara dirinya dan tuan Bramantyo.
Kulihat ia merogoh kantung celana yang ia pakai, mengeluarkan dompet dan juga kunci mobil serta ponselnya.
Kak Ares meletakkan semua benda itu keatas meja dihadapannya. Hanya mengambil KTP miliknya dari dalam dompet dan mengantonginya kembali.
Ia memundurkan langkahnya kembali  kesisi ku.
"Kami pergi," katanya kemudian.

Sungguh aku belum sepenuhnya tersadar dari keterkejutanku disaat tangannya kembali menggenggam tanganku, mengajakku untuk beranjak meninggalkan kediaman ini.
Satu tangannya yang bebas membawa tas pakaian milikku, sementara ranselnya sendiri sudah ia gendong dibelakang punggungnya.
Aku membuka mulutku. Ada yang ingin aku katakan padanya, namun kata-kata itu justru terasa tercekat didalam tenggorokan.

"Mulai sekarang, pewaris keluarga Wiguna adalah Sadewa Aryyan Wiguna."
Kami berdua menghentikan langkah kami yang baru saja beranjak beberapa langkah.
Aku menatap kak Ares. Namun wajah itu tetap sama tenangnya.
Ia balas menatapku dengan senyum tipis yang bagiku justru terasa menenangkan.
"Ayo," katanya dan menarikku pergi.

Sesaat sebelum langkah kami menghilang di balik pintu utama, aku sempatkan untuk melirik sosok ibuku yang tersisih dibelakang sana.
"Bu, maafkan Tari," bisikku didalam hati.
Airmata yang sejak tadi menggenang di pelupuk mata kini kubiarkan bebas jatuh keatas pipi.

              oo00oo

Aku dan kak Ares berjalan dibawah terik sinar matahari menuju pintu gerbang utama perumahan.
Ku perhatikan kulit wajahnya yang putih itu sudah kemerahan dengan bulir-bulir keringat yang membasahi bagian kening dan pelipisnya.
Aku tengah memperhatikan kiri kanan kami untuk sekedar melihat apakah ada tukang ojek yang bisa kami berdua tumpangi.
"Tukang ojek? Pfftt~ apa yang kau pikirkan, Tari? Memangnya kau pikir tuan muda Ares ini sepadan untuk naik ojek seperti dirimu itu," rutukku dalam hati ketika kurasakan sebuah sentuhan lembut yang menghapus bulir-bulir keringat yang memang sejak tadi sudah mengalir turun di wajahku.

Aku spontan mendongak lalu melangkah mundur.
"Apa yang kak Ares lakukan?" Tanyaku pada sang empunya sentuhan lembut itu.
"Mengelap keringat diwajahmu. Memangnya apalagi?" Ucapnya dengan mengutas senyuman kecil padaku.
"Ayo. Mataharinya sangat terik ini," katanya lagi.
Genggaman tangannya yang belum lepas sejak kami meninggalkan kediaman Wiguna kembali menarikku agar melanjutkan langkah kami.
"Kita mau kemana, kak Ares?," tanyaku dengan suara berbisik.
Ia menghentikan langkahnya.
Tubuhnya mengarah padaku, "tenang saja. Aku tidak akan menjualmu ke tempat pijat plus-plus," ujarnya dengan tawa yang sudah tertahan.
Aku mendelik.
Bisa-bisanya dia malah mencandaiku disaat seperti ini.

              oo00oo

Siapa yang menyangka jika kak Ares akan membawaku kesini. Ke rumah besar dan megah berlantai dua yang berdiri dengan pagar kokoh menjulang didepan kami saat ini.
"Ya ampun, bro. Ayo masuk," suara Sultan Emir Al-Kahfi, sahabat sekaligus rekan bisnis kak Ares membuyarkan apa yang sedang aku pikirkan.
Pria tampan berwajah khas arabian itu sudah berdiri diambang pagar yang ternyata sudah terbuka.

"Berikan itu padaku. Biar aku yang membawanya," kulihat kak Emir, sebutanku padanya mengambil alih tas pakaian milikku dari tangan kak Ares.
"Ayo masuk, Tar," kak Emir beralih padaku.
Aku menatap wajah khas itu. Rahang tegas dan tatapan tajam matanya itu.

"Apa aku setampan itu, Tar?" Ujarnya yang membuat diriku tertarik dari alam bawah sadar.
"Lihatlah calon istrimu, Res. Belum apa-apa tapi dia sudah terpikat padaku. Kau harus berhati-hati kedepannya," aku mendongak begitu mendengar kata-kata 'calon istri' yang keluar dari mulut kak Emir.
Aku melirik kak Ares. Berharap pria itu memberikan sebuah penjelasan padaku, namun pria itu justru hanya memamerkan senyumnya padaku seraya berkata "ayo" dan menuntunku masuk kedalam kediaman Al-Kahfi, mengikuti langkah kak Emir yang sudah masuk kedalam terlebih dahulu.

Dan disinilah kami sekarang. Duduk berhadapan dengan tuan dan nyonya Al-Kahfi yang adalah orangtua kak Emir.
Aku menghela nafas pelan dari balik wajah yang lagi-lagi aku tundukkan. Kak Ares sudah mengatakan maksud dirinya membawaku kesini. Juga menceritakan detail sampai kami berdua bisa seperti ini sekarang.

"Baiklah, Ares. Om bersedia menjadi saksi nikah kalian berdua," jawaban tuan Al-Kahfi membawa kelegaan padaku dan kak Ares.
Aku bisa mendengar pria yang duduk disebelahku ini menghela nafasnya dengan lega dan mengucapkan rasa terima kasihnya pada tuan Al-Kahfi.
Sementara aku, ...
Aku sungguh tidak bisa menguraikan apa yang tengah aku rasakan saat ini.

               oo00oo

Ini adalah novel lama yang sudah aku up disalah satu platform novel online sebelum aku upload kembali disini dengan beberapa perubahan didalamnya. Namun karakter dan tema ceritanya sendiri tidak akan berubah dari naskah aslinya.

Selamat membaca dan salam kenal dariku ❤️

Ares untuk Mentari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang