"Bakti seorang perempuan itu kepada suami. Tapi laki-laki sampai matipun tetap milik ibunya. Mestinya lo bersyukur dijauhin dari Aksa. Pacaran aja toxic, apalagi kalau nikah."
Suasana toko buku yang lumayan sepi menjadi tempat Lila berlabuh siang ini. Dara, teman curhat Lila yang bekerja di sana sibuk menggerakkan kemoceng disela-sela rak buku.
Semua nasihat Dara bak psikolog hanya keluar masuk di telinga. Lila terdiam membisu seraya bersandar di dekat meja kasir. Bahu cewek itu itu benar-benar rapuh. Matanya bengkak dan memerah karena menangis semalaman.
Hampir seminggu kehilangan kepingan hatinya, Lila seperti orang linglung yang tidak tau arah tujuan. Kesana-kemari mencari pelarian, namun tak kunjung menemukan obatnya.
"Gue masih nggak nyangka. Selama ini Aksa meyakinkan gue kalau kita bakal melangkah bersama. Tapi kenapa dia kayak nggak punya pendirian sampek harus disetir sama ibunya?" Lila menatap sendu langit-langit seisi ruangan.
"Itu cuman alesan. Aslinya dia bosen sama lo. Palingan juga ada cewek baru. Kayak nggak ngerti tabiat cowok jaman sekarang aja." Dara mulai kesal membahas lelaki buaya itu.
"Berarti gue jelek makanya dia bosen?" tanya Lila polos.
"Nggak ada, cowok lo aja yang picek," ketus Dara lantas berjalan mendekat. "Orang bisa seenaknya nyakitin kalau dia merasa dirinya diharapkan. Percuma lo ngejar terus, yang ada malah jatuhin harga diri lo, ngerti?"
Sejenak termenung, Lila terintimidasi oleh tatapan Dara yang tajam seakan menyadarkan. Namun sekeras apapun Lila berupaya melupakan, luka itu justru kian menganga.
"Gue kurang apa sih, Ra? Pas dia nggak punya duit, gue sering traktir makan. Bahkan kemarin habis dia cabut dari percetakan, gue yang bantuin dia dapet kerjaan di Alfa." Lila tersenyum getir teringat perjuangan pahitnya.
"Habis itu lo dibuang. Itu namanya kacang lupa kulitnya, woi! Pengen gue bunuh tuh cowok lama-lama! Muka kayak opet aja sok-sokan nyakitin sahabat gue!" ucap Dara geram.
"Malah lo yang emosi, anjir," kekeh Lila.
"Serius, minta diludahin cowok lo!"
"Mbak, majalah dongeng sebelah mana ya?"
Segelintir pengunjung berdatangan silih berganti hingga menginterupsi pergibahan mereka. Dara kembali bekerja dan terpaksa menetralkan wajahnya. Memasang topeng ramah agar pembeli tidak kabur karena amarahnya.
Menonton story pergabutan di WhatsApp, Lila menemukan cerita Aksa yang terbisukan. Slide pertama yaitu foto Aksa sendiri, seperti biasa si tampang datar. Slide tengah berisi tangkapan layar obrolan singkat, dan slide terakhir memaksa jemari Lila tertahan.
Lila merasa hatinya tertusuk duri melihat foto kolase gadis cantik tersenyum di sana. Siapakah dia? Apakah istimewa sampai harus dipamerkan? Sepele namun tak pernah Aksa lakukan saat masih bersama Lila.
Jutek amat mas bro wkwkw
Mending posting foto gue wkwkwInteruksi yang mendasari Aksa mengunggahnya.
Secepat kilat Lila mengetikkan hujatan. Seraut wajahnya menggelap, gemuruh di dada seperti drum yang ditabuh. Lila memaki-maki Aksa yang terang-terangan menunjukkan belangnya. Bahkan ketika luka itu masih belum sembuh.
"Kenapa, Lil?" Dara masih sibuk melakukan transaksi dengan mesin komputer. Melihat Lila yang mendadak tantrum dan nyaris membanting ponselnya seiring gejolak yang tertahan.
Lila hanya menggeram muak dan memegangi kepala. Usai mengirim sederet pesan, benda pipih itu berdenting dan Lila sontak menunjukkan balasan Aksa di depan mata Dara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Rumit
Teen FictionKatanya, masa lalu adalah pemenangnya? © Copyright 2024