🕵️♀️👨💼
Darka pulang siang hari, terasa nyeri wajahnya akibat pukulan bertubi-tubi Ijal juga satu tamparan hebat Abdinegara.
Bellona duduk di ruang tengah, merenungi mengapa anak bungsunya bisa bertindak seperti ini.
Abdi sibuk menelpon orang-orang kepercayaannya. Anak sulung mereka sudah tiba karena menetap di Singapura sedangkan anak kedua beserta suaminya akan berangkat dari Amerika sore hari.
Langkah Darka lemah memasuki rumah mewah itu, ia berdiri menatap kakaknya tetap dengan kepasrahan.
"Luar biasa adek gue," kata Bastaka Abimanasetyoaji seraya bertepuk tangan.
"Mas Taka," lirih Darka. Taka mendekat, ia tak akan memukul Darka, tetapi wajahnya begitu memperlihatkan ia menilai adiknya begitu rendah. Kedua mata memindai Darka dari atas sampai bawah. "Gimana? Puas?" sindir Taka.
Istri Taka membawa air lemon hangat untuk Bellona, sejak satu jam lalu wanita itu hanya bisa diam. Ia duduk di samping Bellona, memberikan cangkir. "Ma, diminum dulu," tukas wanita Indonesia yang sudah memberikan dua orang cucu untuk Bellona dan Abdi.
Darka mengarah ke tangga, tapi di tahan Taka. "Ngapain! Duduk di sini!" bentaknya menunjuk sofa single. Darka nurut, ia duduk dengan kepala tertunduk.
Para asisten rumah tangga mengintip dari balik tembok dapur. Mereka juga kecewa dengan Darka, kasihan dengan Bellona.
Bastaka mendekat, berdiri di depan Darka seraya meletakkan kasar lembar foto. "Gue pikir lo pinter. Cuma karena Amora lo bisa kesetanan kayak begini?! Papa Mama malu!" Suara Taka menggema, persis Abdi.
Darka memalingkan wajah tak mau melihat foto Amora. Taka ambil lembar foto tadi lalu ia remas.
"Bukan berarti karena cinta pertama, lo jadi bajingan," geram Taka. Ia buang foto ke lantai. Darka masih memalingkan wajah, duduk menumpu siku di atas kedua pahanya, ia meremas jemari tangan mewakili kegusaran hati.
Abdi mendekat, meletakkan ponsel di atas meja. Tatapannya sangat penuh marah seperti sebelumnya. "Papa udah urus supaya hal ini nggak tercium media manapun. Karena kelakuan kamu! Bukan cuma Papa Mama yang buruk, tapi kakak-kakak kamu yang nggak tau apa-apa kena dampaknya! Pikiran kamu kemana Darka!"
Darka menatap Abdi perlahan. Ia sama sekali tak ada nyali untuk berdebat, tak akan berpengaruh juga.
"Kunci mobil, kunci apartemen, kartu kredit, serahin sekarang." Abdi menunjuk ke atas meja. Darka segera menuruti. Taka berdiri bersedekap melihat adiknya akan menerima hukuman dari orang tuanya.
"Pa, untuk kerjaan Darka--"
"Berhenti semua! Terserah kamu mau mulai kerja jadi apa, di mana, Papa Mama nggak akan peduli. Semua bisnis kamu Mas Darka dan Mbak Ajeng yang ambil alih. Sekarang beresin semua pakaian kamu! Pergi dari rumah ini!" usir Abdi.
Bellona menghela napas panjang, di dalam hatinya ia sedih, tapi keputusannya akan sama seperti Abdi, ia akan tegas jika anak-anaknya berbuat salah.
Darka berdiri perlahan tak ada protes apapun, segera menuju ke kamarnya. Darka mendengar jika Taka harus mulai tau pembagian mengurus pekerjaan adiknya dengan Ajeng.
Taka patuh, Abdi memang papanya, tapi jika soal pekerjaan tetap Abdi bos besar, Taka akan profesional, tak ada malas-malasan.
Manja? Sama sekali tidak pernah Bellona dan Abdi berikan ke ketiga anaknya. Take and gift harus seimbang. Mereka semua hanya perlu meneruskan jalan yang sudah ada, tidak perlu susah merintis.
Akan tetapi, nasib Darka kini berbeda, ia harus pergi dari rumah tanpa tau harus melakukan apa, di mana, sebagai apa.
Sopir masuk ke kamar Darka, ia berdiri memperhatikan Darka merapikan dua koper berisi pakaiannya. Ia tinggalkan jas mewah, jam tangan mahal, sepatu berbagai merek rumah mode ternama dunia di sana. Ia bawa tiga sepatu saja, dua sepatu santai dan satu sepatu formal.
"Kamu mau kemana, Darka?" Pria berpakaian kemeja rapi menatap sendu.
"Belum tau, Pak Cik." Darka menjawab seraya melipat pakaian lantas memasukkan ke dalam koper yang masih kosong.
"Pak Cik mohon maaf, tak bisa bantu Darka, tetapi ... boleh Pak Cik meminta satu hal saje kepada Darka?"
Darka berdiri tegap, menoleh ke arah sopirnya itu.
"Kembali lah suatu hari nanti dengan lebih menjadi lelaki dewasa, berpikir panjang, tanggong jawab. Tunjukkan bahwa putra keluarga Abdinegara sudah mampu melewati masalah pelik. Pak Cik percaye, one day, kamu akan berjaye dengan usahamu sendiri."
Darka menahan sesak di dada, Pak Cik di hadapannya tau betul Darka sejak kecil hingga dewasa. Rasa sepi walau berlimpah kenyamanan, ingin rasanya Darka menahan semua anggota keluarga tinggal di rumah supaya berkumpul walau tetap sibuk bekerja.
Apa daya, semua menjalani hidup sesuai porsi dan tanggung jawab, tetap rukun, kompak, harmonis, tetapi Darka memang berbeda, ia punya keegoisan sendiri.
***
"Kak, ke toko nggak?" panggil Ezio. Klarisa masih terlelap bergelung selimut. Ezio mau ke mal, sekalian ajak Klarisa mengecek cabang toko milik wanita itu.
"Kak Kla! Bangun! Kebo banget, lo!" Ezio menyibak selimut. Klarisa membuka mata, ia tepuk wajah adiknya.
"Mandi gih!" Ayah sama ibu ke kantor ayah, ada kasus mutilasi. Ibu mulai jadi ghosh wisper lagi. Ayah mana pernah berani.
"Zio," panggil Klarisa pelan.
"Apaan?!" Zio duduk di tepi ranjang.
"Gue sekolah lagi gimana? Biar seger otak gue."
Ezio mengernyit. "Sekolah apa? Lo mulai ngaco? Mau ke psikiater lagi?"
Klarisa duduk sila, rambutnya acak-acakkan. Ditangkup wajah Ezio dengan kedua tangan.
"Lihat gue, Zio." Tatapan keduanya bertemu. "Gue berusaha keras lupain hal itu. Gue butuh sibuk, gue nggak mau bergantung sama siapapun. Lo tau kondisi gue sekarang gimana, kan? Di dalam perut gue--" Klarisa diam. "Urusan gue kalau ini. Intinya, gue mau sekolah lagi, sampe S3 kalau perlu."
"Sekolah apa, Kak?" tekan Ezio miris melihat kakaknya.
"Hukum? Mmm ...." Klarisa berpikir sejenak. "Apa forensik? Eh tapi gue bukan dokter. Nggak bisa nggak bisa."
"Lo suka selidikin orang, Kak. Jasa detektif percintaan lo jalan kan. Terusin aja, lah." Ezio melepaskan kedua telapak tangan Klarisa dari wajahnya.
"Mandi dulu, terus kita ke mal. Ayo lah, Kak. Jangan kayak orang gila gini bisa, kan?" mohon Ezio.
"Gue nggak gila!" teriak Klarisa yang langsung melompat turun dari atas kasur.
"Kakak jangan lompat!" bentak Ezio. Pintu kamar mandi dibanting Klarisa, Ezio mengusap kasar wajahnya seraya melirik ke nakas kecil dekat ranjang. Ia raih benda kecil yang sejak beberapa pekan lalu ingin dihindari, tapi kini ia pegang. "Kakak," lirih Ezio sedih. Ia bawa benda itu ke kamarnya, disembunyikan supaya Klarisa lupa.
Tahun berganti, setahun pertama setelah kejadian itu Klarisa dibawa ke psikiater beberapa kali oleh Audrina dan Ijal, bahkan hingga dibawa ke luar negeri atas rekomendasi Zaver.
Klarisa masih merasa minder juga takut karena sudah tak perawan, siapa yang mau dengannya. Bahkan Klarisa pernah mundur ketakutan saat ada teman sekolah Ezio yang semua pria menyapa saat main ke rumah.
Wajah penuh ketakutan ia tunjukkan sambil berlari ke kamarnya.
Klarisa tak bisa bekerja pada akhirnya. Hanya dengan kuliah lagi ia melupakan hal itu perlahan namun pasti.
Banyak bertemu teman baru, juga berdiskusi dengan para ahli, nyatanya manjur bagi Klarisa.
Ijal dan Audrina bisa mengizinkan Klarisa pergi, apalagi jika bersama Pipit, wanita yang bekerja di Jakarta, tak kalah hancur saat tau kondisi Klarisa. Ia menjadi sahabat yang membantu Klarisa melupakan Darka.
Lalu Darka, semenjak diusir, apa yang ia lakukan dan di mana sekarang? Hidup Darka tak semudah sebelumnya, itu sudah pasti.
bersambung,
KAMU SEDANG MEMBACA
Magnetize ✔
RomancePlayboy yang tidak mau menuruti kemauan orang tuanya untuk berhenti bermain-main dengan hidupnya terutama wanita. Usianya masih 21 tahun namun karena latar belakang keluarga pebisnis ulung, ia berhasil lulus kuliah lebih cepat dan sudah punya bisni...