Pertemuan di kediaman Surya Utama bersama pak Djani Janardana mengusung topik seperti biasanya, obrolan diantara mereka tak jauh-jauh dari rancangan bisnis baru dan mempertahankan pertumbuhan bisnis yang sudah ada.
Saat itu Hugo sudah diberitahu bahwa dia akan dijodohkan dengan cucu pak Djani, dia tidak mengatakan apa-apa selain mengiakan. Terlebih beberapa kali dari kejauhan setiap menghadiri event ia diam-diam mengamati gadis kecil tersebut. Sepertinya normal untuk mengatakan rencana tersebut diwaktu umur Hugo menginjak sepuluh tahun namun Hugo tak berpikir demikian dari sisi Sheryl. Gadis itu terlalu muda untuk mengerti, begitulah pemikiran anak kecil yang menganggap gadis dibawah lima tahun darinya sebagai anak yang lebih kecil.
Meski belum dikenalkan secara formal, ketertarikan abnormal Hugo mengklaim bahwa Sheryl telah menjadi miliknya. Diam-diam pemikiran seperti itu telah melekat dalam dirinya.
Hari di mana pak Djani kembali bertamu, Hugo meninggalkan dengan alasan ia perlu belajar. Suara langkah kakinya teredam oleh suara hujan deras di luar, ia sejenak menoleh ke arah di mana ketiga orang itu duduk.
Satu hal yang membuat ia tak nyaman ialah ..., sang mama selalu duduk di sisi pak Djani sementara Ayahnya duduk di arah berlawanan. Ia mengabaikan ketidaknyamanan tersebut dan terus mengambil langkah ke kamar, membuka buku dan mulai mengisi buku latihan belajarnya.
Dua jam terlewat hujan akhirnya reda, ia menoleh ke arah jendela, di luar masih mendung. Warna alam makin tampak jelas setelah disiram hujan.
Mulutnya terasa kering, tangannya dengan automatis meraih gelas dan begitu tersadar isinya kosong. Hugo segera bangkit bersamaan dengan itu suara derit dari kursi yang terdorong ke belakang terdengar. Dengan santai ia melangkah keluar kamar menuruni tangga, di ruang kamar tamu yang posisinya tepat berada di ujung tangga, pintunya sedikit terbuka. Bukan pintu itu yang mengalihkan perhatiannya melainkan suara erangan, desahan yang begitu kotor, cabul dan amat menjijikan. Bagi anak umur sepuluh tahun hal itu amatlah membuatnya penasaran. Dengan langkah pelan dan berusaha memadamkan suara yang dibuatnya, ia mengintip ke dalam. Kursi sofa single terletak membelakangi pintu, rambut beruban itu terlihat jelas. Mulutnya mengeluarkan suara erang kepuasan, Hugo menutup mulutnya begitu tahu seorang wanita yang duduk di bawah diantara kaki pak Djani adalah mamanya.
Mamanya mengangkat kepala, menengadah dan bertanya pada pak Djani akan penilaiannya, bukan menjawab, laki-laki tua yang sudah ia anggap kakeknya itu menekan kepala mamanya kembali di antara dua kakinya.
Gestur keduanya sangat tidak normal, terlebih begitu sang mama bangkit, pakaian yang digunakan tak berbentuk memperlihatkan sebagian payudara yang diremas oleh sang Kakek.
Begitu shock ia melangkah mundur, rasanya ingin melarikan diri. Kakinya bergerak kaku, terus mundur, mundur dan lagi-lagi mundur hingga mencapai pintu utama. Tubuhnya menabrak pintu, barulah ia tersadar akan keterkejutannya.
Apa yang baru saja ia lihat? Ia termenung, tak lama pintu itu dibuka dari luar, ia terdorong.
Ayahnya.
Kelopak mata Hugo bergetar, emosi nya begitu kompleks.
"Sedang apa?"
"Ah, aku-aku mau keluar." Hugo menjawabnya dengan payah.
"Terus ngapain bawa gelas?"
Pandangannya turun ke bawah, saking emosinya ia mencengkram gelas kaca itu dengan kuat seolah-olah dia akan menghancurkannya.
"Nggak sengaja," jawabnya asal dan meletakkannya di meja terdekat. "Ayah, pak Djani sudah pulang?" Dia berpura-pura tak tahu."
"Pak Djani istirahat di kamar tamu, jangan berisik dan jangan ganggu beliau."
YOU ARE READING
Hopeless
General FictionHugo Cakra Abimana adalah pihak pertama yang menerima skema perjodohan yang dilayangkan oleh investor perusahaan besar kepada perusahaan security milik Ayahnya. Sejak berusia kanak-kanak dia diam-diam mengamati gadis cantik yang gemar menari ballet...