Puntung rokok berjatuhan di lantai, bungkus kopi dan roti kosong tergeletak tak beraturan di atas meja. Apartemen itu sempit dan pengap, dinding-dindingnya seakan-akan semakin menghimpit dengan setiap tarikan napas yang diambil Minji.
Tak ada teman, tak ada seseorang untuk berbagi. Minji merasa dirinya hanyalah bayang-bayang di dunia yang penuh dengan warna.
Dia sudah berusaha keras untuk menjadi seseorang yang normal. Setiap kali dia mencoba bertahan, rasa lelah itu semakin menggerogotinya. "kenapa aku sepayah ini?" renungnya.
Minji mengingat kembali segala usaha yang telah dilakukannya sendiri. Dia selalu berjuang agar tak mudah melupakan, tetapi kini, semua itu terasa sia-sia.
Dia menggantungkan tali itu di atas. Didi, kamera digital kesayangannya, siap menangkap momen ini. "Selamat tinggal Roi, Didi," bisiknya melihat ke kamera polaroid dan digitalnya. "Aku akan bertemu dengan ayah, atau mungkin ibu. Entahlah, di mana dia sekarang."
"Terima kasih," ucapnya pelan sambil menatap foto Hyein yang tertempel di dinding. Hyein, sepupunya, selalu mengirimkan uang setiap bulan. Nominalnya tidak begitu besar, tetapi cukup untuk membantunya ketika tidak ada pekerjaan. Meskipun begitu Hyein jarang sekali mengunjungi, bahkan tidak pernah.
Pandangan matanya menyapu dinding-dinding apartemen yang penuh dengan foto dan catatan-usaha kecilnya untuk mengingat setiap momen.
Namun, sekarang semua itu tak lagi penting. Apartemen sempit yang selama ini menjadi saksi kesunyiannya akan menjadi saksi terakhir kehidupannya. "Terima kasih," lirihnya pada ruangan yang sunyi.
Minji berdiri di atas kursi, memegang tali itu, bersiap untuk mengalungkannya di lehernya. Dia memejamkan mata, menahan air mata yang tidak akan dia biarkan jatuh.
Tok tok tok
Ketukan pintu itu menggema, mengagetkan Minji. Dia terpeleset, jatuh ke belakang dengan keras. Sambil meringis kesakitan, dia berusaha berdiri dan berjalan menuju pintu.
Perlahan, dia membukanya setengah dan mengintip ke luar. Di hadapannya berdiri seorang perempuan yang lebih pendek darinya, dengan senyuman ramah.
Masih menggosok pinggulnya yang sakit, Minji membuka pintu sepenuhnya, menampakkan seluruh badannya. "Hai, aku dari unit ujung kanan, baru pindah ke apartemen ini," sapa perempuan itu.
Minji menyipitkan mata, merasa kesal. "Oke? Terus?" tanyanya dingin.
Perempuan itu mengulurkan tangan untuk berjabat, "Aku Hanni," katanya. Namun, Minji hanya menatap tangan itu. "Kamu ada perlu apa sama saya?" tanya Minji tanpa minat.
Hanni menurunkan tangannya dengan sedikit kecewa, tapi senyumnya tetap terjaga. "Tadi aku lihat kamu di bawah bawa roti sama kopi. Itu belinya di mana ya? Aku cari-cari tapi gak nemu," ujarnya.
Minji memejamkan mata sejenak, memijat pelipisnya yang berdenyut, merasa permintaan perempuan ini tidak begitu penting. "itu aja?" tanyanya sambil menatap Hanni.
Hanni mengangguk. Namun, sebelum dia sempat berkata lebih banyak, matanya tertumbuk pada tali yang tergantung dan kursi yang berada di belakang Minji. Wajahnya berubah panik.
Minji menyadari pandangan Hanni. Dia segera menutup pintu setengah. "Besok aku temenin," katanya terburu-buru. Hanni hanya bisa menatap Minji dengan khawatir, tangannya terulur ingin meraih Minji.
"Namaku Minji, salam kenal," ujar Minji sebelum menutup pintu rapat-rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Call To Mind
FanfictionKamera dan catatan kecil menjadi sahabat setia, memotret dan mencatat setiap momen dengannya.