Pagi menjelang siang ini cuaca cukup panas, suhu di luar ruangan terasa seperti membakar kulit. Minji hanya mengenakan tanktop tipis dan celana panjangnya, mencoba mencari kenyamanan di tengah hawa yang menyesakkan.
Kipas angin di sudut ruangan berputar perlahan, menghasilkan angin sepoi-sepoi yang hanya sedikit membantu meredakan panas.
Di lantai ruang tengah itu, Minji duduk dengan kaki bersilang, mengelilingi dirinya dengan foto-foto polaroid Hanni yang telah ia potret. Setiap foto adalah potongan kenangan yang tersebar tanpa urutan.
Dia menyusun foto-foto itu dengan hati-hati, mencoba mengingat setiap momen yang terekam di dalamnya. Mata Minji bergerak perlahan dari satu foto ke foto lainnya, menangkap setiap ekspresi wajah Hanni yang terekam dengan sempurna oleh kamera.
Meskipun sulit baginya untuk mengingat secara pasti kapan setiap foto diambil, Minji merasakan ikatan kuat melalui bahasa wajah Hanni.
Minji tak ingat sudah berapa lama mengenal Hanni, tetapi yang ia tahu pasti, bahwa hubungan mereka sangat dekat.
Di atas meja kecil di sampingnya, terdapat sebuah catatan kecil. Di sana tertulis bahwa Hanni akan mengunjungi apartemen Minji hari ini.
Minji ingin sekali menjemput Hanni, namun permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Hanni, mengingat Minji baru saja sakit semalam. Hanni dengan tegas menyuruh Minji untuk tetap beristirahat.
Minji berbaring di sofa, mengamati foto-foto itu sekali lagi sambil memegang catatan kecil tersebut. Senyum tipis dan tulus menghiasi wajahnya, meskipun matanya mulai terasa berat.
Perlahan, kelopak matanya tertutup.
——
Minji terbangun dengan perasaan lengket di wajahnya, keringat membuat rambutnya menempel di sekitar pipi, membentuk lengkungan-lengkungan acak. Dia mengerjap pelan, menyadari bahwa jam di dinding sudah menunjukkan lewat tengah hari.
Di atas dadanya, foto-foto polaroid Hanni berserakan. Dengan hati-hati, Minji mengumpulkan foto-foto itu satu per satu, merasakan permukaan halusnya yang sedikit memanas di bawah sinar matahari yang menerobos dari jendela.
Dia meletakkan foto-foto itu di meja samping sofa, lalu duduk sejenak, merenung.
Minji bangkit dari sofa dengan niat menuju kamar mandi untuk mencuci muka, tetapi suara ketukan di pintu menghentikan langkahnya. Dia mengerjap beberapa kali, mencoba membangkitkan kesadarannya, lalu berjalan lemas menuju pintu dan membukanya.
Mata Minji segera menyala penuh semangat saat melihat Hanni berdiri di ambang pintu dengan kantong plastik di tangannya, senyum hangat terpancar dari wajahnya. Hanni tampak sangat cantik dengan rok putih panjang yang melambai lembut di sekitar kakinya.
Minji membuka pintu lebih lebar, membiarkan Hanni masuk. "Masuk, Han," ucapnya dengan suara yang masih terdengar serak karena baru bangun.
Aroma tubuh Hanni segera memenuhi ruangan. Setelah menutup pintu, Minji menggosok lehernya dengan sedikit canggung, "Maaf agak berantakan," katanya.
Hanni mengangguk sambil meletakkan kantong plastik di atas meja. "Gak berantakan kok," jawabnya lembut.
Minji memperhatikan kantong plastik itu dengan penasaran. "Apa itu?" tanyanya sambil berjalan perlahan mendekati Hanni.
"Aku bawain buah sama susu buat kamu," jawab Hanni dengan senyum manis. Minji tersenyum, memejamkan matanya sejenak lalu menatap Hanni dengan penuh rasa syukur.
"Makasih, Han," ucapnya sambil mengelus kepala Hanni dengan lembut.
Hanni mengamati wajah Minji, merasakan sesuatu yang bergejolak di perutnya. Dia mengangguk pelan, "Aku cuci muka dulu ya," ucap Minji sebelum berjalan menjauh, meregangkan tubuhnya yang masih terasa lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Call To Mind
FanfictionKamera dan catatan kecil menjadi sahabat setia, memotret dan mencatat setiap momen dengannya.