Asing

274 79 11
                                    

Matahari mulai turun dan suasana luar mulai gelap. Minji menggenggam tangan Hanni erat, seakan-akan takut jika dia melepaskan. Mereka duduk di sofa apartemen Hanni.

Stiker dan permen yang tadi mereka beli masih terletak di meja, mengingatkan mereka akan momen sebelumnya di supermarket.

"Bentar aja, Minji..." Hanni mencoba meyakinkan dengan nada lembut. Namun, Minji hanya menatap lantai, tak mau melepaskan genggamannya. Hanni berniat membuat teh untuk mereka, tetapi tangan Minji terus mencengkeram.

"Kalau gitu kamu ikut aja ke dapur," ucapnya lagi sambil menawarkan. Minji masih saja menatap lantai, tidak mau menoleh pada Hanni.

Hanni menarik napas panjang, berusaha untuk sabar. Dia mendekatkan diri, lalu mengecup pipi Minji, "Minji, lihat aku," bisiknya lembut.

Mata Minji perlahan beralih, menatap Hanni. Sebuah senyum kecil terbit di bibirnya sebelum dia membalas kecupan di pipi Hanni.

Hanni tersenyum lebih lebar, lalu menggesekkan hidungnya dengan hidung Minji dalam sebuah gerakan yang penuh kasih sayang. "Lepas dulu ya tangannya? Biar aku buatin teh," pinta Hanni. Minji mengangguk perlahan, kemudian melepaskan genggaman.

Minji memperhatikan Hanni dari sofa, matanya mengikuti setiap gerakan Hanni yang sibuk di dapur. Hanni mulai merebus air, lalu menyiapkan dua cangkir, teh, dan se sendok gula untuk masing-masing gelas.

Sesekali, bayangan tentang seseorang di supermarket tadi muncul di benak Minji, tetapi dia berusaha keras untuk melupakannya.

Suara musik dari apartemen sebelah mengisi keheningan, menambah suasana hangat di antara mereka. "I don't wanna close my eyes," Hanni bernyanyi dari dapur, suaranya terdengar merdu dan menenangkan.

"Cause I'd miss you, baby," lanjutnya sambil berjalan menghampiri Minji, membawa dua gelas teh hangat.

Mereka duduk berdekatan, menikmati teh mereka dengan lagu itu sebagai latar belakang. Sambil sesekali mencuri pandang satu sama lain, mereka merasakan kehangatan.

Minji berusaha untuk fokus pada momen itu, meninggalkan bayangan buruk yang tadi sempat menghantuinya di supermarket. Hanni berhasil membuat Minji merasa aman dan nyaman.

                               ——

Minji telah kembali ke apartemennya. Hanni mengantarnya pulang karena esok hari Hanni harus kembali bekerja.

Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul sembilan malam. Masih terlalu awal untuk tidur, pikir Minji sembari melirik jam itu.

Ia berjalan menuju dapur, cahaya lampu yang hangat menyinari setiap langkahnya. Dia mengambil gelas dari lemari, mengisinya dengan air dingin dari dispenser. Namun, ketika ia hendak menyesap air itu, terdengar ketukan di pintu yang membuatnya terhenti.

Minji melirik ke arah ruang tamu. Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih mendesak. Ia meletakkan gelasnya di meja dapur, berjalan perlahan menuju pintu dengan rasa penasaran dan sedikit was-was.

Ketika Minji membuka pintu sedikit, dia melihat seorang gadis muda dengan wajah asing berdiri di sana. Gadis itu tampak canggung, matanya bersinar dengan rasa penasaran.

"Minji!" seru gadis itu dengan suara penuh harap.

Minji hanya membuka pintu separuh, memandang gadis itu dengan alis berkerut. "Sebentar," katanya singkat sebelum menutup pintu kembali.

Dia berjalan cepat menuju dinding yang dipenuhi foto-foto kenangan dam mencari petunjuk.

Matanya tertuju pada sebuah foto lama. Wajah gadis di foto itu sama dengan yang berdiri di depan pintu. Minji mengambilnya,

Hyein, sepupu.

lalu dia membalikkan dan membaca tulisan kecil di belakangnya. Setelah membaca itu, ia segera mengambil semua foto dari dinding dan menyimpannya ke dalam laci meja terdekat dengan sedikit gemetar.

Minji kembali ke pintu dan membukanya lebar. "Sepupu?" sapanya dengan senyum ragu. Wajah Hyein langsung cerah, ia melompat ke pelukan Minji.

Minji ragu sejenak, lalu membalas pelukan itu dengan canggung. Hyein akhirnya melepaskan pelukan, matanya berkaca-kaca. Minji memperhatikan Hyein sejenak, lalu mengangguk ke arah dalam. "Ayo masuk," ajaknya dengan lembut.

Hyein mengangguk, mengambil tasnya yang diletakkan di lantai, lalu melangkah masuk. Ia mengamati setiap sudut ruangan dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Ruangan itu terasa sempit dan sepi.

Minji mengikuti Hyein dari belakang, mempersilahkannya duduk di sofa. "Duduk dulu," ujarnya sambil duduk berhadapan dengan Hyein. Mereka berdua saling menatap, mencoba mengatasi keheningan yang sedikit canggung.

"Ji, aku ada kerjaan di sini, jadi sekalian ngunjungi kamu," jelas Hyein sambil tersenyum.

Minji mengangguk, menggoyangkan kakinya dengan gelisah, merasa bingung harus mengatakan apa. Hyein memperhatikan kegelisahan Minji, lalu membuka tasnya dan mengambil sebuah foto.

"Ini kita dulu," kata Hyein sambil menunjukkan foto mereka berdua di pantai. Wajah-wajah ceria itu seakan hidup kembali dalam ingatan Minji. Angin pantai, suara ombak, tawa mereka yang riang, semuanya terlintas dalam pikirannya.

Minji mengambil foto itu dengan hati-hati, mengamati setiap detailnya. Ia melirik Hyein, lalu kembali menatap foto tersebut.

Pikirannya tiba-tiba terasa berputar, Minji mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba tetap fokus. Hyein yang melihat perubahan di wajah Minji, dengan cepat mengambil kembali foto itu dan menyimpannya.

"Ji?" tanya Hyein khawatir, menepuk-nepuk pundak Minji dengan lembut. Minji diam sejenak, berusaha mengumpulkan pikirannya, lalu mengangguk dan tersenyum tipis pada Hyein.

                             ——

Minji terbangun dengan perasaan kaget dan kebingungan. Matanya masih sayup, ia melirik ke samping kasurnya yang berantakan.

Ada jejak samar di bantal dan selimut yang terlipat acak. Dia berusaha mengingat apakah ada seseorang yang tidur di sampingnya tadi malam.

Perlahan, ia duduk di tepi kasur, mengusap wajahnya untuk mengusir sisa kantuk. Minji mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar yang remang-remang.

Minji turun dari kasur, kakinya menyentuh lantai kayu yang dingin. Ia berjalan menuju ruang tengah, berharap menemukan sesuatu yang bisa memberi penjelasan.

Ruang tengah tampak sepi dan sunyi. Perabotan tertata rapi, kecuali satu hal yang membuat Minji terkejut. Dinding yang biasanya penuh dengan foto-foto kenangan kini kosong. Foto-foto itu hilang. Dia merasakan kepanikan mulai merayapi dirinya, jantungnya berdegup kencang.

Matanya menyipit, mencoba mengingat. Ia berlari kecil menuju sofa, membuka laci-laci dengan cemas. Tidak ada.

Minji berusaha keras untuk tetap tenang, tetapi kegelisahan tidak bisa tertahan. Minji meremas rambutnya, berusaha memaksa otaknya mengingat kejadian semalam.

Tidak ada yang dia ingat. Dengan cepat, ia bergegas mengambil jaketnya yang tergantung di dekat pintu. Ia meraih tas kamera dan catatan kecil yang biasa dibawanya.

Minji tahu ke mana ia harus pergi. Tanpa ragu, ia keluar dari apartemen dan menuju taman kanak-kanak tempat Hanni mengajar.
























Call To MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang