1. Macet dan Kecelakaan

11 1 0
                                    

Pagi itu, hari sedang tidak cerah. Mendung bergelayut mesra di langit kota Jember. Ditambah jalanan yang macet dipenuhi pengendara dengan beragam jenis kendaraan dan keperluannya.

Meribeth terjebak macet di Jalan Karimata, saat hendak menuju Universitas Jember, tempatnya berkuliah. Jam digital di dashboard mobilnya menunjukkan pukul tujuh tepat. "Tahu gitu aku naik motor aja." Gerutuannya datang terlambat.

Sekitar setengah jam lalu sebelum berangkat, Meribeth sudah diingatkan oleh neneknya. "Ini sudah kesiangan, Beth. Pakai motor saja."

"Eyang, Beth butuh pakai mobil buat bawa barang pesenan temen yang sudah order. Kalau pakai motor tuh gak efektif." Meribeth selalu agak susah dibilangi kalau menyangkut bisnis. Selain kuliah di jurusan Ekonomi, ia juga sambi bisnis jualan barang secara daring maupun luring.

"Ya sudah, cepetan," kata Irawati, sang nenek. "Keburu macet."

Mengingat obrolan singkat dengan batu-batu besar di antaranya, Meribeth jadi kesal sendiri pada dirinya sendiri.

Sementara itu di rumah.

Irawati sedang memasak untuk menu hari itu, ketika melihat Helen keluar kamar dengan memakai pakaian untuk ke kantor.

"Beth sudah berangkat, Mah?" tanya Helen sambil berjalan ke meja makan.

"Sudah, Nduk," jawab Irawati. Ia membawakan segelas jamu kesehatan yang terbuat dari campuran jahe, lemon, kunyit, dan madu. Setiap pagi, semua orang di rumah itu mengonsumsinya untuk menambah stamina. Ia meletakkan jamu itu di meja, di samping piring Helen yang sudah terisi secentong nasi goreng. Lalu ia duduk di hadapan Helen. "Helen..."

Kalau sang mama sudah duduk anteng begini, tandanya ada hal penting yang mau dibicarakan.

"Ya, Ma?" Helen siap mendengarkan.

"Usiamu hampir kepala empat, dan Meribeth butuh figur seorang ayah," mulai Irawati.

Sebenarnya Helen tahu ke arah mana pembicaraan ini. Ia hanya membiarkannya mengalir untuk didengarkan.

"Apa kamu gak kepingin punya pendamping hidup lagi?" Pertanyaan itu bukan pertama kalinya terlontar dari mulut seorang ibu seperti Irawati, yang menginginkan kebahagiaan putrinya.

"Ma, bukannya Helen gak mau, tapi belum ada yang mau aja sama Helen." Helena tersenyum. "Aku ini janda muda dengan anak pra-dewasa. Gak mudah mendapatkan pria yang bersedia menerima apa adanya."

*

Meribeth hampir tiba di jalan masuk kampus, ketika melihat ada kecelakaan motor di depan. Beberapa orang menghentikan mobilnya.

"Mbak, minta tolong bawa korban ke rumah sakit!" seru seorang bapak.

Awalnya, Meribeth jelas enggan. Dirinya bisa telat masuk kelas. Tapi, insting kemanusiaannya tidak bisa menolak. Ia menurunkan kaca jendela mobilnya. "Baik, Pak. Taruh di jok belakang. Tapi Bapaknya ikut juga yah, biar saya gak dikira abis aniaya dia."

"Baik, Mbak," kata pria tersebut.

Orang-orang memasukkan korban kecelakaan yang merupakan seorang siswi SMA ke jok belakang. Bapak tersebut juga ikut.

Aneh, tiba-tiba kemacetan terurai, arus lalu lintas makin lengang saat Meribeth membawa korban tersebut ke IGD Rumah Sakit Siloam.

Meribeth minta nomor ponsel pria itu buat jaga-jaga jika ditanyai petugas.

Siswi SMA itu mengalami luka di kepala dan memar di tangan serta kakinya. Ia segera mendapatkan pertolongan medis yang tepat.

Sambil menunggu gadis itu ditangani, Meribeth menghubungi sahabatnya, Silvana. "Eh, absenin gue dong. Bakal telat ngampus, nih."

Mama, Aku Cinta DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang