01. MY LOVELY DOCTOR

24 3 0
                                    

  Starla sedang mengerjakan tulisannya di laptop, meski matanya masih sembab selepas menangis dua hari terakhir. Orang tua dan adik-adiknya juga baru saja diantar ke bandara tadi pagi. Meski dengan hati yang masih dongkol, dia juga tidak sejahat itu sampai tidak mengantarkan mereka. Apa pun yang terjadi, akan ku hadapi semuanya meski sambil nangis, mungkin begitu pikirnya.

     Dua hari dia menangis, merengek agar orang tuanya jangan pulang dulu. Namun memang nasib, orang tuanya kekeh bilang tidak bisa tinggal lebih lama dan harus segera kembali ke Aceh untuk mengurus bisnis rumah makan mereka yang memang menjadi tempat makan favorit banyak orang. Padahal, rencananya Starla ingin mereka bertemu dengan sang pujaan hati. Sudah pernah kenal sih, sudah pernah melakukan panggilan video juga. Tapi dulu statusnya dengan laki-laki itu masih sebagai sahabat, belum berani menunjukkan bibit asmara secara gamblang di depan orang tuanya. Yang namanya takdir memang tidak bisa ditebak, orang tuanya ngebet pulang cepat, dan laki-laki itu masih terlalu sibuk dengan pendidikan spesialisnya.

     Bayangkan saja, sejak lima tahun lalu, selama dia mengenyam pendidikan, hanya satu kali dia pernah pulang menyapa kampung halaman. Lalu ditambah lagi dia ditempatkan untuk bertugas di ibukota, dan sekarang sedang menempuh pendidikan strata dua, orang tuanya datang menjenguk beberapa hari. Mungkin sekitar satu minggu, itu pun waktu kebersamaannya sudah terpotong karena orang tuanya datang menjenguk sekaligus menemui kolega mereka di Bandung sana.

     Starla meraih pulpen berwarna merah muda yang keramat itu. Bagaimana tidak keramat? Setiap mengikuti tes, ujian apa lah, atau mengerjakan tugas-tugasnya, pulpen merah muda yang sudah usang ini lah yang membantunya mengerjakan itu semua. Dan satu hal lagi yang membuat pulpen ini keramat adalah, karena pulpen ini merupakan pemberian senior galak nan tampan saat pendidikannya dulu. Tertawa kecil, Starla mengingat-ingat lagi momen ketika dia kehilangan pulpen dan dimarahi oleh seniornya. Duh, merinding lagi dia mengingat momen itu. Dan yang mengejutkan adalah, tiba-tiba senior galak yang memerahinya datang keesokan harinya, memberikan pulpen ini. Dengan wajah datar dan kalimat singkat, membuat skeptis saja. Sempurna sudah, kejadian itu jadi pembicaraan hangat satu institut.

     Sampai sekarang, seniornya itu masih sering mengirimkan refill untuk pulpen itu. Lucu sekali. Sudah hampir setahun mereka tidak bertemu di kantor pusat karena Starla yang memilih untuk menempuh pendidikan strata dua dulu.

     Diliriknya jam digital di nakas sana, pukul 16.40, dia berseru tertahan. Belum shalat Ashar. Bisa-bisanya dia lupa. Segera berlari ke kamar mandi lantas berwudhu dan menunaikan kewajiban nomor satu dalam hidup itu. Sepuluh menit, begitu selesai menoleh ke kiri, salam, hujan lebat mengguyur kota. Dan tanpa melepas mukenanya terlebih dahulu, dia beringsut ke atas kasur lalu mengambil buku catatan kecil dan pulpen merah muda keramat tadi.

     Besok hari libur dimulai. Dia ingin sekali makan rendang tapi tidak bisa masak. Entah bagaimana memasak memang tidak terdaftar dalam server otaknya sejak dulu. Diraihnya dompetnya, memeriksa sisa uang jajan untuk bulan ini.
    
“Oh, masih cukup.”

     Memutar otak lagi, setelah dipikir-pikir, sepertinya sudah lama sekali sejak terakhir kali dia melukis. Bagus juga, pikirnya. Tangannya gesit menggurat tinta pulpen, menuliskan ‘melukis’ dalam rancangan jadwal kegiatannya selama libur ini.
    
“Dan udah dua bulan aku gak beli buku baru.”

     Maka membeli buku baru juga masuk ke dalam daftar kegiatan itu. Hei, hei, dia bukan gadis pecinta novel yang sangat fanatik seperti dulu lagi, buku yang dia maksud bukan novel, tapi buku sungguhan, buku-buku berisi soal dan pelajaran yang dirasa dapat membantunya. Tapi memang sesekali dia masih membaca novel sang dibelikan oleh, ekhm, si dia itu.

PARALYZEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang