Pukul 20.00 malam. Sunyi, agak gelap. Beberapa lampu jalan mati entah sejak kapan. Sinar bulan hanya mampu menerangi sebagian persimpangan. Tidak banyak orang yang lewat, membuat tempat itu sepi seperti di dunia lain. Seharusnya tak begitu malam untuk orang-orang masih beraktifitas. Malam itulah dimana seorang anak gadis berjalan sendirian di gang sepi. Ia menghela napas dan sedikit resah. Seharusnya ia telah di rumah, bukan di tempat seperti ini seorang diri.
Akhir-akhir ini Harian Kota memuat berita-berita yang menyeramkan. Penipuan, perampokan, bahkan sampai pembunuhan berantai dimuat diberita dalam satu waktu. Mungkin itulah yang membuat ayahnya belakangan ini sangat tegas soal jam pulang. Jika ponselnya masih aktif ia sangat yakin ayahnya akan meneleponnya setiap lima menit sekali. Ia jadi agak cemas, semoga ayahnya tidak membuat heboh kantor polisi dengan berita kehilangannya. Yah, karena ia tahu, ayahnya sangat posesif.
Entah ini mungkin malam sial baginya, karena ia merasakan firasat yang tidak enak. Keheningan malam yang membuatnya sedikit gelisah. Ia terus saja menepis kegelisahannya dengan berpikir positif.
SRAAK
Felyn berbalik. Jelas-jelas ia mendengar suara, tetapi matanya tak menemukan apapun. Seluruh tubuhnya tiba-tiba menggigil. Kegelisahan itu membuatnya menabrak sisi jalan dan menjatuhkan satu tong sampah hingga berserakan. Matanya memutar cemas, langkahnya berjalan mundur. Ia tidak pernah merasa segelisah ini.
SRAAK, BRUK
Suara itu semakin keras diiringi dengan jatuhnya sesuatu di depannya. Ia tidak bisa melihat dengan jelas. Persimpangan itu terlalu gelap karena dinding di sisinya lebih tinggi. Felyn mengijak tumpukan sampah dari tong yang ditabraknya. Bagian tumitnya menendang sedikit sebuah tongkat bisbol. Tongkat itu sudah patah di bagian ujung pegangannya, tetapi tetap dapat digunakan untuk perlawanan.
Felyn segera mengambil tongkat bisbol itu. Ia memasang kuda-kuda dengan posisi memukul. Seumur hidupnya ia tidak pernah berkelahi, jadi ia pun ragu dengan kemampuannya.Di kegelapan perlahan itu tiba-tiba muncul seekor kucing berwarna hitam. Kucing itu dengan tenang berjalan mendekatinya. Kegelisahannya sedikit mereda. Ia menjatuhkan tongkat bisbol di tangannya dan merunduk agar lebih dekat dengan kucing itu. Ia suka binatang, terlebih kucing.
BRUK
Suara itu terdengar lagi, masih di tempat yang sama. Pandangan Felyn teralihkan sementara ke sumber suara, kemudian ia kembali melihat kucing itu. Jarak pandangnya dengan kucing kurang dari satu meter. Kucing di depannya menatap Felyn dengan mata bulatnya. Mata berwarna hijau terang dengan pupil lebar itu seakan menghujamnya. Felyn berdiri, tubuhnya kembali menggigil. Firasatnya mengatakan ia harus segera menjauh dari kucing itu.
Kucing itu tidak bergerak sedikitpun sementara Felyn semakin mundur. Seketika ia teringat dengan berita yang belakangan ini beredar di kotanya. Tentang pembunuhan berantai yang sampai saat ini belum menemukan titik terang. Mayat tergeletak di ujung gang atau taman yang sepi dengan bekas luka yang cukup parah. Tubuh korban terpotong kasar hingga bagian dalamnya tercerai burai. Sampai saat ini belum ditemukan senjata yang digunakan untuk pembunuhan itu, karena bekas luka yang tidak wajar. Bekas seperti cabikan hewan buas.
"Energi yang besar, aura yang kuat. Tapi sepertinya tubuhnya lemah."
Kucing itu bicara. Rahangnya bergerak. Suara yang ditimbulkan bahkan gelak tawa berasal dari mulutnya. Felyn semakin panik, ia kembali mengambil tongkat bisbol yang ia jatuhkan.
"Jika aku makan jiwanya apa aku akan lepas dari kutukan ini?"
Kucing itu kembali tertawa. Suaranya mirip pria paruh baya dengan nada rendah dan serak. Ini bukan mimpi, ia yakin. Ia dapat membedakan mimpi karena ia belakangan sering lucid dream.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glowingdors - Book 1 [REVISI]
FantasyFelyn Zellen, seorang gadis dengan kehidupan normal, harus terjebak oleh kejadian-kejadian tidak wajar yang membuat hidupnya berubah drastis. Namun, ia sama sekali tidak menyesal mengenal Glowingdors, sekolah yang terdengar hanya mitos benar-benar...