Nenek bilang, sejak aku lahir, Ibu selalu bekerja di rumah, sebagai penulis lepas untuk beberapa situs berita online dan majalah wanita. Aku anggap ini keistimewaan. Rumah selalu jadi tempat yang nyaman dan menyenangkan. Tiap pulang sekolah selalu ada makanan enak. Tiap akhir pekan selalu ada obrolan menyenangkan. Kalau libur panjang, kami bertiga (aku, Ibu, Nenek) jalan-jalan ke pantai.
Aku dan Ibu selalu bersama.
Teman-temanku kurang bisa mengerti di mana letak keistimewaannya. Entah kenapa mereka lebih suka main ke rumah yang nggak ada ibunya. Kalau kami ada kerja kelompok, rumahku nggak pernah jadi pilihan. "Nggak ah, nggak seru. Ibumu pasti di rumah, kan?" tolak mereka. Padahal, andai aja mereka coba sekali-sekali bertamu, mereka bakal mengerti kalau Ibu bisa bikin semua jadi lebih mudah. Bikin semua jadi lebih aman.
Kalau aja mereka ikut mendengarkan cerita-cerita yang Ibu lontarkan tiap kali kami makan camilan di pekarangan belakang, ikut membaca buku-buku yang Ibu suka, ikut mendengar lagu-lagu yang Ibu rekomendasikan, ikut menyimak film-film lama yang Ibu tonton saat masih sekolah, pasti mereka menyesal udah melewatkan banyak keseruan. Aku selalu betah mendengar Ibu bercerita, bahkan meskipun sampai larut malam. Ibu juga nggak pelit berbagi pendapat. Apa aja yang aku tanyakan, dia pasti jawab dengan senang.
Kecuali satu: tentang Ayah.
Sebenarnya aku nggak terlalu peduli meski aku nggak pernah bertemu dengan ayahku. Bagiku, Ibu sudah sangat cukup. Kami berdua nggak butuh orang lain untuk menjadi pelengkap (ralat: kecuali Nenek, apalagi setiap dia memasak sup jagung untuk sarapan). Jadi, meski aku nggak kenal ayahku dengan benar-benar, aku nggak mau banyak tanya. Sayangnya, ada aja waktu-waktu yang bikin aku terdesak. Misalnya, ketika guru di sekolah menyuruh kami menggambar pohon keluarga. Aku harus menuliskan nama keluarga ayah dan ibuku di salah satu cabang. Aku cuma tahu nama belakang ayahku. Sama dengan nama belakangku. Aku tahu nama itu dari kertas puisi yang terselip di album masa kecilku. Masalah lainnya, aku juga nggak tahu nama orang tua ayahku. Aneh sekali jika ada tiga bagan yang kutulis dengan nama Iskandar.
Waktu kutanya, Ibu terdiam lama, sampai Nenek mengusulkan saran brilian, "Tuliskan saja: Opa Iskandar dan Oma Iskandar."
Aku ikuti saran Nenek, walaupun aku nggak merasa seakrab itu memanggil mereka dengan sebutan Opa dan Oma. Tapi, nggak masalah. Yang penting tugas selesai. Kami bertiga lanjut menonton acara talk show. Aku bersandar di bahu Ibu, sampai jatuh terlelap di pangkuannya dan terbagun besok pagi dari tidur yang nyenyak.
***
Aku benci COVID-19. Ibu makin banyak kerjaan. Tapi, karena aku sering di rumah, aku jadi bisa lebih sering mengamatinya. Dulu Ibu menulis artikel dan berita kasual, sekarang dia juga menulis berita-berita rumit. Misalnya yang sekarang lagi Ibu kerjakan: kasus korupsi dan nepotisme di sebuah universitas.
Aku sering menumpang di meja kerja Ibu. Meja kerja tua yang ada di sudut kamarnya, berdampingan dengan rak buku yang dijadikan sekat. Di sana, kadang-kadang Ibu melakukan panggilan video dengan rekan atau narasumber. Jika pembicaraan mereka serius, aku terpaksa belajar di ruang tengah.
Aku kurang suka sendirian di kamar. Kamarku letaknya di depan, dekat ruang tamu. Isinya satu tempat tidur, lemari baju, dan meja belajar baru. Aku lebih suka tinggal di kamar Ibu. Jendelanya menghadap ke pekarangan belakang, tempat Nenek menanam banyak sayuran. Langit-langit kamar Ibu berplafon kayu tua. Sinar lampunya lebih temaram. Nggak seperti kamarku yang dibangun belakangan. Semuanya putih benderang, seperti ruang untuk pameran.
Suatu hari, saat peraturan pembatasan sosial sudah agak longgar, Ibu berencana pergi ke luar kota. Katanya ada narasumber yang harus diwawancara. Ini pertama kali dia benar-benar keluar rumah. Aku ingin ikut, tapi banyak berkas dan tes kesehatan yang harus dilengkapi untuk melakukan perjalanan jauh.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Mom Is Not Home (Hold)
Roman pour AdolescentsIbu Oina sedang dalam perjalanan dinas. Ibu Yana tenggelam dibawa arus laut. Ibu Taha kecanduan narkoba. Ibu Violeta mengungsi ke Vietnam. Ibu Nora hidup dalam angan-angan. Ibumu bagaimana? ---------- Sekelompok remaja merayakan ketiadaan ibu mereka...